Pertambangan
Penggalan kalimat itu diucapkan Lampio (60 thn), salah seorang tokoh masyarakat desa Mosolo, Kecamatan Wawonii Tenggara, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara (Sultra). Penuturan Lampio itu spontan diucapkannya ketika ditanya wartawan Media Sultra, kalau seandainya tanah desa Mosolo dieksploitasi oleh kaum berduit untuk kepentingan bisnis nikel.
Mosolo,adalah sebuah desa kecil yang terisolir dengan jumlah penduduk sekitar 270 KK. Sebuah daerah yang bisa dikatakan masih tertinggal dengan segenap keterbatasan. Warga di sini sehari-harinya mengandalkan penerangan tenaga surya yang hanya bisa dimanfaatkan pada tiga buah bola mata lampu. Untuk mencapai desa itu hanya bisa dilewati melalui jalur laut dengan menggunakan perahu kantinting atau speed boat carteran. Itupun pada bulan Mei sampai Agustus (Musim Timur). Gelombang cukup tinggi dan berbahaya karena berada pada lutan lepas, laut Banda.
Desa ini pernah menjadi desa percontohan tingkat nasional pada tahun 1992 untuk ketegori lomba kebersihan dan pembangunan. Desa Mosolo memiliki tanah yang subur. Hampir seluruh warga di desa ini menjadi petani. Hasil perkebunan yang paling menonjol dan hasilnya cukup melimpah adalah Cengkeh, Jamu Mete dan Kelapa. Satu pohon Cengkeh bisa menghasilkan 10 hingga 20 kilogram cengkeh kering jenis super.
“Dalam satu kali panen bisa menghasilkan sampai Rp.50 juta, tergantung harga cengkeh dipasaran, belum lagi untuk jambu mete ataupun kelapa,” kata La Ode Abdi, mantan kepala desa Mosolo.
Bandingkan dengan penghasilan warga yang bekerja pada perusahaan tambang yang hanya memperoleh gaji Rp.1,2 juta per bulan. Jauh lebih kecil jika dibandingkan hasil perkebunan mereka. Warga Mosolo khawatir jika tambang beraktivitas produksi tanaman perkebunan mereka menurun bahkan mati. Sementara tambang hanya sementara dan jangka waktunya juga singkat.
Belajar dari Pengalaman
Kekhawatiran masyarakat desa Mosolo terhadap tambang karena beberapa warganya yang pernah merantau punya pengalaman dan catatan buruk soal aktivitas pertambangan di pulau Gebe, Maluku Utara.
Pulau Gebe adalah sebuah pulau yang hancur akibat pengelohan tambang nikel yang tidak ramah lingkungan. Itu sebabnya Lampio bersama ratusan warga lainnya di desa Mosolo menentang dan menolak kehadiran investor tambang karena takut kalau wilayah kelola pertanian mereka tergusur oleh perusahaan. Selain itu, ketersediaan air bersih dan pangan bakal mengancam kehidupan mereka.
“Kami tidak mau Mosolo menjadi seperti pulau Gebe yang sampai air lautnya menjadi merah dan tanahnya sudah tidak bisa ditanami apapun. Mau jadi apa kita ini, jika Mosolo sudah seperti itu,sedangkan kami semuanya hanya petani yang menggantungkan diri dari berkebun, “ ujar Lampio dengan suara lantang.
Kalimat menentang itu dilontarkan Lampio karena desa mereka kini terancam tergusur akibat kegiatan eksplorasi nikel oleh PT.Bumi Konawe Mining. Perusahaan itu memiliki wilayah konsesi seluas 7 ribu hektar, yang sebagian besar masuk dalam wilayah desa Mosolo. Padahal 50 persen desa Mosolo adalah lahan produkti untuk tanaman pertanian dan perkebunan seperti Jagung, Kacang Kedelai, Ubi Kayu, Jagung palawija, Cengkeh, jambu Mete dan kelapa.
Selain hilangnya sebagian wilayah kelola masyarakat, ketersediaan air bersih dan banjir akibat kerusakan pada daerah resapan air kini menjadi ancaman yang menakutkan bagi warga Mosolo.
La Ode Abdi mengatakan, warga Mosolo menolak kehadiran investor tambang karena secara ekonomi tidak mengutungkan buat warga. Pada umumnya warga tak bisa bekerja pada perusahaan karena sulit menyesuaikan pada pekerjaan tambang yang menurut mereka adala pekerjaan baru yang sulit untuk dilakukan.
“Kami menolak tambang karena khawatir jikalau kelak sumber mata air mati. Lalu bagaimana dengan kebun kami. Karena kami tahu semakin banyak menanam maka semakin banyak rejeki. Kebanyakan masyarakat Mosolo yang tidak mengerti dengan pertambangan pada akhirnya hanya sebagai buruh pabrik, yang kalau dihitung-hitung hasilnya tidak sebanding dengan hasil dari perkebunan kami sendiri,” kata La Ode Abdi yang 18 tahun menjadi kepala desa Mosolo.
Penolakan warga atas kehadiran investor tambang dilakukan dengan aksi demontrasi. Bahkan aksi demo penolakan ini telah dilakukan warga Mosolo sejak Agustus 2008. Tapi warga dalam posisi sulit karena Pemkab Konawe sudah terlanjur memberikan izin KP kepada investor tanpa ada pemberitahuan atau sosialisasi lebih awal kepada warga.
“Posisi kami sulit karena investor itu membawa surat izin resmi tembusan dari bupati Konawe, namun saya selaku pemerintah desa harus mementingkan kepentingan dan aspirasi masyarakat. Karena dampak yang ditimbulkan akan dirasakan oleh warga termasuk saya sendiri, “ ujar Sahyuddin, sekretaris desa Mosolo.
Sosialisas baru dilakukan ketika warga sudah ribut memprotes eksplorasi karena dilakukan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Eksplorasi dilakukan pada areal hutan yang berjarak 3 kilometer dari desa Mosolo sejak Januari hingga Juli 2009, dengan jarak titik eksplorasi berdiameter 100 sampai 200 meter. Untuk penggalian lubang sebagai bahan penyelidikan, warga digaji Rp.50 ribu per matabor. Hal itu dikatakan Basri, warga Mosolo yang diangkat menjadi Humas PT.Bumi Konawe Mining.
“Pengeboran dilakukan berdiameter 8X8 meter dan kami menghindari jangan sampai merusak tanaman warga, kalaupun ada walau hanya lecet pasti kami lakukan ganti rugi,” ujar Basri yang mengaku menerima upah Rp.1,2 dari perusahaan.
Sikap penolakan warga Mosolo sebaiknya menjadi contoh bagi warga lainnya di wilayah konsesi pertambangan. Pemerintah harus jeli memberikan izin kepada investor dan melibatkan warga setempat. Meski dengan tingkat pendidikan yang rendah, namun mereka cukup paham dampak yang ditimbulkan dari aktivitas pertambangan, seperti rusaknya bentangan alam yang akan dirasakan selamanya, padahal mereka semua bergantung pada kebaikan alam.
Bagi Sahyuddin, ancaman banjir dan longsor hanya sebagian kecil dari dampak kerusakan lingkungan yang akan terjadi. “Cukup pulau Gebe saja yang menjadi rusak, jangan sampai hal yang sama terjadi di Mosolo. Harus dipahami lebih mendalam manfaat dan mudaratnya itu sendiri,” (Oleh Merlyn-Rustam)
Sabtu, 19 Desember 2009
Antara Kesejahteraan dan Penderitaan
Tak banyak yang berubah setelah kurang lebih dua tahun aktivitas pertambangan emas di kabupaten Bombana berlangsung. Nyaris tak ada perubahan nasib masyarakat setempat. Sebaliknya yang terjadi secara signifikan adalah perubahan bentang alam, konflik tanah, kriminal, merebaknya penyakit kulit dan tingginya biaya hidup yang harus dipikul oleh masyarakat.
Bahkan dampak penambangan emas kini mulai menggeser mata pencaharian tetap warga setempat. Aktivitas pertambangan emas yang memerlukan suplai air dalam jumlah besar, saat ini telah mengorbankan sumber-sumber pendapatan dan mata pencaharian masyarakat seperti pertanian, usaha tambak ikan bandeng, kepiting dan udang.
Krisis air akibat keringnya sungai Langkowala yang menjadi sumber air irigasi sudah tidak mampu mengairi 511 hektar sawah yang berada di dua kecamatan yakni kecamatan Lantari Jaya dan Rarowatu Utara membuat masyarakat resah. Belum lagi pencemaran air akibat penggunaan cairan merkuri. Kekeringan terjadi akibat penyumbatan aliran sungai oleh salah satu Kuasa Pertambangan (KP).
Dahulu sebelum adanya aktivitas pertambangan, petani didua kecamatan tersebut bisa menghasilkan produksi beras di areal 11 ribu hektar sawah sebanyak 3-4 ton gabah kering giling. Pertanian Bombana yang dulu sempat menjadi lumbung padi dan daerah pengembangan ternak sapi di Sultra, saat ini tak bisa diharapkan lagi.
Pada tahun 2008, Bombana mengalami surplus beras sebanyak 500 ton,sedangkan pada tahun 2009 ini dipastikan menurun drastis akibat suplai produksi di dua kecamatan tersebut gagal panen, bahkan sama sekali tidak ada produksi beras.
Kurman, salah seorang anggota kelompok tani di Desa Lantari menuturkan, pada tahun 2007 lalu ia dan 14 kelompok tani lainnya, perhektarnya bisa menghasilkan 95 hingga 250 kwintal gabah kering giling.
“Biasanya, 5 sampai 6 hektar sawah bisa menghasilkan 250 karung atau setara dengan 40 juta per satu kali panen. Namun sejak bulan November 2008 lalu tidak ada lagi produksi yang dikarenakan irigasi dari bendungan Langkowala sudah tidak berfungsi lagi,” katanya.
Hal tersebut dibenarkan oleh kepala Dinas Pertanian Bombana, Sirajuddin. Ia mengakui pada tahun ini target partanian Bombana turun 30 persen dari yang ditargetkan.
Selain untuk pertanian aliran irigasi bendungan langkowala mengaliri juga usaha pertambakan ikan bandeng dan udang yang diusahakan oleh masayarakat yang berada di kecamatan Lantari Jaya seperti di desa Anugerah, Rarepua, dan Rarongkeu dengan luas arel tambak 700 hektar lebih. Usaha tambak cukup menjanjikan, dalam empat hektar tambak bisa menghasilkan 2.000 hingga 5.000 ekor ikan bandeng yang jika dirupiahkan menjadi Rp.3 juta.
Tapi, para pengusaha tambak kini mulai resah setelah ditemukannya kandungan merkuri pada sisa air di sungai Langkowala oleh hasil uji laboratorium Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Unhalu, beberapa waktu lalu.
Minim Hasil
Sekretaris Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Bombana Hernawaty mengatakan, pendapatan asli daerah ( PAD) yang berasal dari sektor pertambangan hingga September 2009 baru mencapai 1,5 % atau 923 juta, dari Rp.62 miliar yang ditargetkan. Khusus hasil tambang emas baru mencapai Rp.522 juta.
Hasil yang mengecewakan jika dibandingkan dengan banyaknya sektor lain yang dirugikan oleh adanya aktivitas pertambangan. Banyaknya sawah yang kering, petani kehilangan mata pencariannya, dan ancaman banjir bercampur air yang sudah tercemar mercury mengancam petani dan usaha tambak yang berada di sekitar aliran sungai Langkowala dan Wumbubangka.
Izin Kuasa Pertambangan (KP) emas dengan mudah diterbitkan oleh pemerintah Kabupaten Bombana tanpa harus melalui kajian yang mendalam dan memikirkan dampaknya. Begitu pula warga dengan leluasa berebut lahan galian emas tanpa memperdulikan pemilik tanah dan kerusakan lingkungan.
Menurut aktivis WWF – Kendari, Hasrul Kokoh, dalam kegiatan pemurnian emasnya diperlukan setidaknya 100 liter air untuk 1 gram emas. Dengan kandungan emas yang diperkirakan oleh pemerintah sebanyak satu juta ton, bisa dibayangkan berapa miliar liter air yang diperlukan untuk emas sebanyak itu, dan yang menjadi pertanyaannya dari mana sumber air itu akan diperoleh, sedangkan untuk saat ini dampak lingkungan yang ditimbulkan sudah sedemikian besarnya.
“Kita bisa membandingkan nilai ekonomis yang didapatkan jikalau keberadaan sumber air tetap terjaga keberadaannya. Mengambil contoh pemanfaatan sumber air yang ada di kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW), berdasarkan hasil penelitian Indra Putri dkk pada tahun 2005 nilai ekonomis untuk pemanfaatan air di TNRAW mencapai Rp.363.994.765/ tahun,” ujarnya.
Dan khusus sebagai penyedia air TNRAW juga menjadi sumber air dari PDAM didesa Atari Pinganggosi Kolaka.
Menanggapi kerusakan ini, pihak DPRD Bombana telah melakukan rapat dengar pendapat dengan sejumlah SKPD yang berada di lingkup pemkab Bombana sekaligus untuk melihat langsung hasil pengujian FPIK Unhalu tentang pencemaran mercuri.
Dalam hearing ini, Dinas Pertambangan Bombana yang diwakilkan oleh kasi pertambangan umum, Rajman mengatakan selama ini dinas pertambangan dibiarkan berjalan sendiri untuk mengambil tanggung jawab sendiri, sementara dampak yang ditimbulkan adalah tanggung jawab semua pihak.
Namun anggota dewan dari Partai Gerindra Laode Usman Sandiri mengatakan, semestinya sebelum mengeluarkan izin KP, pihak Dinas pertambangan Bombana sudah harus melakukan pengawasn dan penelitian dalam pengeluaran izin pertambangan agar hal hal yang terkait dengan kerusakan lingkungan sudah bisa diantisipasi.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kebersihan, Pertamanan dan Pemakaman Kabupaten Bombana, Laode Muh.Rusdin, setiap 6 bulan tim dari Dinas KLH Bombana melakukan pemantauan wajib di areal tambang. Terkait kerusakan lingkungan yang terjadi, KLH akan melakukan penelitian kembali AMDAL yang diterbitkan oleh pemegang izin KP, termasuk perbaikan alur sungai, perbaikan vegetasi, dan pengontrolan AMDAL yang lebih ketat.
Dalam hearing ini disepakati pembentukan tim penelitian lanjutan yang melibatkan segenap stakeholder lintas sektoral agar hasilnya lebih valid dan dapat dipertanggungjawabkan, diperlukan pembentukan badan khusus untuk berbicara tentang moratorium pertambangan emas, audit lingkungan, penegakan hukum yang terkait kepemilikan lahan dan melakukan penataan lingkungan yang lebih baik.
Jika pengelolaan tambang emas Bombana terus dilakukan secara eksploitatif maka Bombana akan dihadapkan pada banyak permasalahan seperti krisis air, krisis pangan, krisis sosial, krisis agraria, rendahnya kualitas kesehatan sera ancaman penyakit terkait dengan pencemaran mercuri bagi masyarakat sekitar kawasan tambang khususnya dan masyarakat Sultra pada umumnya. (Merlyn & Rustam)
Bahkan dampak penambangan emas kini mulai menggeser mata pencaharian tetap warga setempat. Aktivitas pertambangan emas yang memerlukan suplai air dalam jumlah besar, saat ini telah mengorbankan sumber-sumber pendapatan dan mata pencaharian masyarakat seperti pertanian, usaha tambak ikan bandeng, kepiting dan udang.
Krisis air akibat keringnya sungai Langkowala yang menjadi sumber air irigasi sudah tidak mampu mengairi 511 hektar sawah yang berada di dua kecamatan yakni kecamatan Lantari Jaya dan Rarowatu Utara membuat masyarakat resah. Belum lagi pencemaran air akibat penggunaan cairan merkuri. Kekeringan terjadi akibat penyumbatan aliran sungai oleh salah satu Kuasa Pertambangan (KP).
Dahulu sebelum adanya aktivitas pertambangan, petani didua kecamatan tersebut bisa menghasilkan produksi beras di areal 11 ribu hektar sawah sebanyak 3-4 ton gabah kering giling. Pertanian Bombana yang dulu sempat menjadi lumbung padi dan daerah pengembangan ternak sapi di Sultra, saat ini tak bisa diharapkan lagi.
Pada tahun 2008, Bombana mengalami surplus beras sebanyak 500 ton,sedangkan pada tahun 2009 ini dipastikan menurun drastis akibat suplai produksi di dua kecamatan tersebut gagal panen, bahkan sama sekali tidak ada produksi beras.
Kurman, salah seorang anggota kelompok tani di Desa Lantari menuturkan, pada tahun 2007 lalu ia dan 14 kelompok tani lainnya, perhektarnya bisa menghasilkan 95 hingga 250 kwintal gabah kering giling.
“Biasanya, 5 sampai 6 hektar sawah bisa menghasilkan 250 karung atau setara dengan 40 juta per satu kali panen. Namun sejak bulan November 2008 lalu tidak ada lagi produksi yang dikarenakan irigasi dari bendungan Langkowala sudah tidak berfungsi lagi,” katanya.
Hal tersebut dibenarkan oleh kepala Dinas Pertanian Bombana, Sirajuddin. Ia mengakui pada tahun ini target partanian Bombana turun 30 persen dari yang ditargetkan.
Selain untuk pertanian aliran irigasi bendungan langkowala mengaliri juga usaha pertambakan ikan bandeng dan udang yang diusahakan oleh masayarakat yang berada di kecamatan Lantari Jaya seperti di desa Anugerah, Rarepua, dan Rarongkeu dengan luas arel tambak 700 hektar lebih. Usaha tambak cukup menjanjikan, dalam empat hektar tambak bisa menghasilkan 2.000 hingga 5.000 ekor ikan bandeng yang jika dirupiahkan menjadi Rp.3 juta.
Tapi, para pengusaha tambak kini mulai resah setelah ditemukannya kandungan merkuri pada sisa air di sungai Langkowala oleh hasil uji laboratorium Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Unhalu, beberapa waktu lalu.
Minim Hasil
Sekretaris Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Bombana Hernawaty mengatakan, pendapatan asli daerah ( PAD) yang berasal dari sektor pertambangan hingga September 2009 baru mencapai 1,5 % atau 923 juta, dari Rp.62 miliar yang ditargetkan. Khusus hasil tambang emas baru mencapai Rp.522 juta.
Hasil yang mengecewakan jika dibandingkan dengan banyaknya sektor lain yang dirugikan oleh adanya aktivitas pertambangan. Banyaknya sawah yang kering, petani kehilangan mata pencariannya, dan ancaman banjir bercampur air yang sudah tercemar mercury mengancam petani dan usaha tambak yang berada di sekitar aliran sungai Langkowala dan Wumbubangka.
Izin Kuasa Pertambangan (KP) emas dengan mudah diterbitkan oleh pemerintah Kabupaten Bombana tanpa harus melalui kajian yang mendalam dan memikirkan dampaknya. Begitu pula warga dengan leluasa berebut lahan galian emas tanpa memperdulikan pemilik tanah dan kerusakan lingkungan.
Menurut aktivis WWF – Kendari, Hasrul Kokoh, dalam kegiatan pemurnian emasnya diperlukan setidaknya 100 liter air untuk 1 gram emas. Dengan kandungan emas yang diperkirakan oleh pemerintah sebanyak satu juta ton, bisa dibayangkan berapa miliar liter air yang diperlukan untuk emas sebanyak itu, dan yang menjadi pertanyaannya dari mana sumber air itu akan diperoleh, sedangkan untuk saat ini dampak lingkungan yang ditimbulkan sudah sedemikian besarnya.
“Kita bisa membandingkan nilai ekonomis yang didapatkan jikalau keberadaan sumber air tetap terjaga keberadaannya. Mengambil contoh pemanfaatan sumber air yang ada di kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW), berdasarkan hasil penelitian Indra Putri dkk pada tahun 2005 nilai ekonomis untuk pemanfaatan air di TNRAW mencapai Rp.363.994.765/ tahun,” ujarnya.
Dan khusus sebagai penyedia air TNRAW juga menjadi sumber air dari PDAM didesa Atari Pinganggosi Kolaka.
Menanggapi kerusakan ini, pihak DPRD Bombana telah melakukan rapat dengar pendapat dengan sejumlah SKPD yang berada di lingkup pemkab Bombana sekaligus untuk melihat langsung hasil pengujian FPIK Unhalu tentang pencemaran mercuri.
Dalam hearing ini, Dinas Pertambangan Bombana yang diwakilkan oleh kasi pertambangan umum, Rajman mengatakan selama ini dinas pertambangan dibiarkan berjalan sendiri untuk mengambil tanggung jawab sendiri, sementara dampak yang ditimbulkan adalah tanggung jawab semua pihak.
Namun anggota dewan dari Partai Gerindra Laode Usman Sandiri mengatakan, semestinya sebelum mengeluarkan izin KP, pihak Dinas pertambangan Bombana sudah harus melakukan pengawasn dan penelitian dalam pengeluaran izin pertambangan agar hal hal yang terkait dengan kerusakan lingkungan sudah bisa diantisipasi.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kebersihan, Pertamanan dan Pemakaman Kabupaten Bombana, Laode Muh.Rusdin, setiap 6 bulan tim dari Dinas KLH Bombana melakukan pemantauan wajib di areal tambang. Terkait kerusakan lingkungan yang terjadi, KLH akan melakukan penelitian kembali AMDAL yang diterbitkan oleh pemegang izin KP, termasuk perbaikan alur sungai, perbaikan vegetasi, dan pengontrolan AMDAL yang lebih ketat.
Dalam hearing ini disepakati pembentukan tim penelitian lanjutan yang melibatkan segenap stakeholder lintas sektoral agar hasilnya lebih valid dan dapat dipertanggungjawabkan, diperlukan pembentukan badan khusus untuk berbicara tentang moratorium pertambangan emas, audit lingkungan, penegakan hukum yang terkait kepemilikan lahan dan melakukan penataan lingkungan yang lebih baik.
Jika pengelolaan tambang emas Bombana terus dilakukan secara eksploitatif maka Bombana akan dihadapkan pada banyak permasalahan seperti krisis air, krisis pangan, krisis sosial, krisis agraria, rendahnya kualitas kesehatan sera ancaman penyakit terkait dengan pencemaran mercuri bagi masyarakat sekitar kawasan tambang khususnya dan masyarakat Sultra pada umumnya. (Merlyn & Rustam)
Selasa, 08 Desember 2009
Penyakit Kulit pun Merebak
Oleh Rustam dan Merlyn
Kerusakan lingkungan yang cukup parah akibat akitvitas pertambangan emas di kabupaten Bombana yang tak terkendali, kini telah berdampak luas pada kesehatan masyarakat di sekitar wilayah pertambangan. Seiring dimulainya aktivitas pertambangan 2008 lalu, penyakit pun mulai merebak yang menjangkiti warga terutama pendulang tradisional.
Kondisi ini semakin diperparah dengan adanya penguanaan logam berat merkury oleh sejumlah pendulang tradional. Pengunaan mercury yang jikalau kemudian terjadi akumulasi pada air dan seterusnya digunakan oleh masyarakat pada kurun waktu tertentu dampaknya sangat berbahaya. Hypertensi, kanker kulit, kanker darah yang dapat ditularkan pada generasi selanjutnya merupakan salah satu dari sekian banyak bahaya yang ditimbulkannya.
Gejala tertularnya warga dari cairan merkuri, kini mulai terlihat pada sejumlah warga yang berada di sekitar bendungan Langkowala. Sebagian besar kulit warga di sini terlihat berbintik-bintik kemerahan akibat menggunakan sisa air di bendungan Langkowala untuk kebutuhan mandi dan mencuci.
Hasil penelitian Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Unhalu beberapa waktu lalu, ditemukan kandungan mercuri pada bendungan Langkowala dan daerah sekitarnya hingga 0,9 Mg/ ltr. Hasil ini menunjukkan tingginya kader merkuri hingga melebih ambang batas normal yang dapat ditolerir.
Muhiddin (31), warga sekaligus pendulang menuturkan saat ini ia dan sekitar 100 orang warga lainnya tidak bisa berlama-lama mandi di bendungan Lankowala karena bisa menimbulkan gatal dan kulit memerah. Sebagai orang awam, Muhidin tak banyak tahu soal penyakit. Tapi ia tahu kalau menggunakan merkuri dapat menimbulkan alergi kulit.
”Mercuri itu kalau dipakai harus berhati-hati karena jika terjadi kontak langsung bisa menimbulkan gatal-gatal dan kemerahan dikulit. Saya pernah mengalaminya, tapi cukup minum obat seperti Ampisilin dan Tetra biasanya alerginya sembuh, ” ujar Muhiddin.
Tapi tak ada pilihan lain untuk mendapatkan air bersih. Ia pun hanya bisa pasrah dengan kondisi ini. ”Harus bagaimana lagi, hanya itulah satu-satunya air yan bisa digunakan saat ini,” katanya.
Penyakit Tren
Penyakit alergi kulit ternyata sudah menjadi tren dan masuk dalam 10 penyakit berbahaya sejak 2008. Pada umumnya, warga yang terkena penyakit kulit berada pada sekitar areal pertambangan di kecamaatan Lantari Jaya dan Rarowatu Utara.
Hal itu bisa dilihat dari melonjaknya angka penderita alergi yang terdata di UPTD Puskesmas Lomba Kasih kecamatan Lantari Jaya. Berdasarkan data dari Puskesmas setempat, pada tahun 2008 lalu warga yang datang berobat karena alergi penyakit kulit 316 orang. Padahal ditahun 2007 hanya berkisar 50 kasus saja.
Untuk 2009, Pusekesmas setempat belum merekap seluruh data. Namun kepala Pusekesma Lomba Kasih Abdul Wahap memastikan terjadi peningkatan kasus penyakit kulit. Ia memperkirakan sekitar 400 lebih. Peningkatan ini seiring kondisi lingkungan yang kian parah.
”Dulu kami pernah membuka posko kesehatan di sekitar lokasi penambangan, tapi untuk sekarang sudah tidak bisa dilanjutkan lagi, mengingat tingkat keselamatan dan keamanan dari tim medis terancaman akibat banyaknya lubang-lubang tikus yang ditinggalkan oleh para pendulang,” katanya.
Tak hanya penyakit kulit, Pusekesmas setempat juga menemukan penyakit hipertensi, Inspeksi Saluran Pernapasa Atas (ISPA), Diare dan kerusakan pada sistim otot dan jaringan yang cukup tinggi. Pada tahun 2008, tercatat ada 290 kasus untuk penderita penyakit Hypertensi, penyakit pada sistem otot dan jaringan pengikat sebanyak 732 kasus, ISPA 711 kasus dan Diare 357 kasus.
Khusus untuk penyakit Diare, kata Abdul Wahab, tingkat kesehatan masyarakat yang ada di areal pertambangan sudah sangat memprihatinkan akibat komsumsi air yang tidak memenuhi standar kesehatan.
”Stok air bersih yang biasanya diambil dari sumur bor bekas lubang tikus yang ditinggalkan, sudah tidak layak untuk digunakan. Air yang dikatakan bersih itu tidak lebih dari genangan air yang sudah bercampur aduk dengan kotoran dan sampah,” tandasnya.
Pada awal dibukanya pertambangan emas, tim dari Dinas Kesehatan Provinsi rutin melakukan penyuluhan dan pemeriksaan kesehatan terhadap warga, tapi sepanjang tahun 2009 ini, sudah tidak pernah dilakukan lagi.
Namun lonjakan dari penyakit alergi yang terjadi saat ini abdul wahab mengatakan untuk sementara dia belum bisa menghubungkan dampak dari mercury dengan penyakit alergi karena saat ini mereka belum ada kapasitas dan kemampuan untuk menentukan hubungannya. Namun ia mengakui bahwa segala sesuatu yang berlebihan pasti mempunyai pengaruh kepada manusia.
Mensikapi masalah tersebut, anggota dewan dari partai Gerindra Laode Usman Sandiri mengatakan, bahwa ancaman dari penggunaan mercuri adalah salah satu bukti bahwa lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Pertambangan Bombana di areal pertambangan.
”Semestinya yang harus disalahkan bukan penambang liar ataupun para investor yang datang mencari uang di Bombana, melainkan pemerintah daerah yang sejak awal tidak melakukan pengawasan secara lebih baik dan ketat kepada para pendulang ataupun perusahaan pertambangan,” katanya.
Menurut dia, penggunaan merkuri harus dihentikan karena dapat membahayakan bagi kesehatan masyarakat. Ia menilai, Pemda telah ceroboh dengan membiarkan penggunaan merkuri dan pengerusakan lingkungan. Kondisi ini akan mempengaruhi kehidupan bagi generasi selanjutnya.
La Ode Usman Sandiri meminta kepada Pemda dapat mempertanggung jawabkan kinerjanya atas berbagai kasus sosial dan lingkungan yang terjadi. Pemda tak boleh membela diri dan menyatakan tidak salah. ”Bayangkan saja jikalau anak keturunan menderita penyakit merkuri, bagaimana masa depan mereka kelak,” ujar Usman. (***)
Kerusakan lingkungan yang cukup parah akibat akitvitas pertambangan emas di kabupaten Bombana yang tak terkendali, kini telah berdampak luas pada kesehatan masyarakat di sekitar wilayah pertambangan. Seiring dimulainya aktivitas pertambangan 2008 lalu, penyakit pun mulai merebak yang menjangkiti warga terutama pendulang tradisional.
Kondisi ini semakin diperparah dengan adanya penguanaan logam berat merkury oleh sejumlah pendulang tradional. Pengunaan mercury yang jikalau kemudian terjadi akumulasi pada air dan seterusnya digunakan oleh masyarakat pada kurun waktu tertentu dampaknya sangat berbahaya. Hypertensi, kanker kulit, kanker darah yang dapat ditularkan pada generasi selanjutnya merupakan salah satu dari sekian banyak bahaya yang ditimbulkannya.
Gejala tertularnya warga dari cairan merkuri, kini mulai terlihat pada sejumlah warga yang berada di sekitar bendungan Langkowala. Sebagian besar kulit warga di sini terlihat berbintik-bintik kemerahan akibat menggunakan sisa air di bendungan Langkowala untuk kebutuhan mandi dan mencuci.
Hasil penelitian Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Unhalu beberapa waktu lalu, ditemukan kandungan mercuri pada bendungan Langkowala dan daerah sekitarnya hingga 0,9 Mg/ ltr. Hasil ini menunjukkan tingginya kader merkuri hingga melebih ambang batas normal yang dapat ditolerir.
Muhiddin (31), warga sekaligus pendulang menuturkan saat ini ia dan sekitar 100 orang warga lainnya tidak bisa berlama-lama mandi di bendungan Lankowala karena bisa menimbulkan gatal dan kulit memerah. Sebagai orang awam, Muhidin tak banyak tahu soal penyakit. Tapi ia tahu kalau menggunakan merkuri dapat menimbulkan alergi kulit.
”Mercuri itu kalau dipakai harus berhati-hati karena jika terjadi kontak langsung bisa menimbulkan gatal-gatal dan kemerahan dikulit. Saya pernah mengalaminya, tapi cukup minum obat seperti Ampisilin dan Tetra biasanya alerginya sembuh, ” ujar Muhiddin.
Tapi tak ada pilihan lain untuk mendapatkan air bersih. Ia pun hanya bisa pasrah dengan kondisi ini. ”Harus bagaimana lagi, hanya itulah satu-satunya air yan bisa digunakan saat ini,” katanya.
Penyakit Tren
Penyakit alergi kulit ternyata sudah menjadi tren dan masuk dalam 10 penyakit berbahaya sejak 2008. Pada umumnya, warga yang terkena penyakit kulit berada pada sekitar areal pertambangan di kecamaatan Lantari Jaya dan Rarowatu Utara.
Hal itu bisa dilihat dari melonjaknya angka penderita alergi yang terdata di UPTD Puskesmas Lomba Kasih kecamatan Lantari Jaya. Berdasarkan data dari Puskesmas setempat, pada tahun 2008 lalu warga yang datang berobat karena alergi penyakit kulit 316 orang. Padahal ditahun 2007 hanya berkisar 50 kasus saja.
Untuk 2009, Pusekesmas setempat belum merekap seluruh data. Namun kepala Pusekesma Lomba Kasih Abdul Wahap memastikan terjadi peningkatan kasus penyakit kulit. Ia memperkirakan sekitar 400 lebih. Peningkatan ini seiring kondisi lingkungan yang kian parah.
”Dulu kami pernah membuka posko kesehatan di sekitar lokasi penambangan, tapi untuk sekarang sudah tidak bisa dilanjutkan lagi, mengingat tingkat keselamatan dan keamanan dari tim medis terancaman akibat banyaknya lubang-lubang tikus yang ditinggalkan oleh para pendulang,” katanya.
Tak hanya penyakit kulit, Pusekesmas setempat juga menemukan penyakit hipertensi, Inspeksi Saluran Pernapasa Atas (ISPA), Diare dan kerusakan pada sistim otot dan jaringan yang cukup tinggi. Pada tahun 2008, tercatat ada 290 kasus untuk penderita penyakit Hypertensi, penyakit pada sistem otot dan jaringan pengikat sebanyak 732 kasus, ISPA 711 kasus dan Diare 357 kasus.
Khusus untuk penyakit Diare, kata Abdul Wahab, tingkat kesehatan masyarakat yang ada di areal pertambangan sudah sangat memprihatinkan akibat komsumsi air yang tidak memenuhi standar kesehatan.
”Stok air bersih yang biasanya diambil dari sumur bor bekas lubang tikus yang ditinggalkan, sudah tidak layak untuk digunakan. Air yang dikatakan bersih itu tidak lebih dari genangan air yang sudah bercampur aduk dengan kotoran dan sampah,” tandasnya.
Pada awal dibukanya pertambangan emas, tim dari Dinas Kesehatan Provinsi rutin melakukan penyuluhan dan pemeriksaan kesehatan terhadap warga, tapi sepanjang tahun 2009 ini, sudah tidak pernah dilakukan lagi.
Namun lonjakan dari penyakit alergi yang terjadi saat ini abdul wahab mengatakan untuk sementara dia belum bisa menghubungkan dampak dari mercury dengan penyakit alergi karena saat ini mereka belum ada kapasitas dan kemampuan untuk menentukan hubungannya. Namun ia mengakui bahwa segala sesuatu yang berlebihan pasti mempunyai pengaruh kepada manusia.
Mensikapi masalah tersebut, anggota dewan dari partai Gerindra Laode Usman Sandiri mengatakan, bahwa ancaman dari penggunaan mercuri adalah salah satu bukti bahwa lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Pertambangan Bombana di areal pertambangan.
”Semestinya yang harus disalahkan bukan penambang liar ataupun para investor yang datang mencari uang di Bombana, melainkan pemerintah daerah yang sejak awal tidak melakukan pengawasan secara lebih baik dan ketat kepada para pendulang ataupun perusahaan pertambangan,” katanya.
Menurut dia, penggunaan merkuri harus dihentikan karena dapat membahayakan bagi kesehatan masyarakat. Ia menilai, Pemda telah ceroboh dengan membiarkan penggunaan merkuri dan pengerusakan lingkungan. Kondisi ini akan mempengaruhi kehidupan bagi generasi selanjutnya.
La Ode Usman Sandiri meminta kepada Pemda dapat mempertanggung jawabkan kinerjanya atas berbagai kasus sosial dan lingkungan yang terjadi. Pemda tak boleh membela diri dan menyatakan tidak salah. ”Bayangkan saja jikalau anak keturunan menderita penyakit merkuri, bagaimana masa depan mereka kelak,” ujar Usman. (***)
KPUD Konsel Butuh Rp 15 Milyar Selenggarakan Pilkada
Rustam
Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kabupaten Konawe Selatan mengajukan anggaran Pilkada 2010 sebesar Rp.15 Milyar. Ketua KPUD Konsel, Ahmadi, di Andoolo,Senin(8/12) mengatakan, membengkaknya jumlah anggaran penyelenggaraan Pilkada kali ini dikarenakan bertambahnya jumlah desa dan Kecamatan di Konsel.
“Kalau bertambah jumlah desa dan kecamatan kan otomatis petugas penyelenggara juga pasti bertambah. Dan yang paling banyak memakan anggaran itu adalah pembayaran honor penyelenggara” kata Ahmadi.
Dari Rp.15 Milyar, menurut Ahmadi kurang lebih 55 persennya diperuntukkan membayar honor petugas. Dan 30 persennya dialokasikan untuk logistik. Itupun diakuinya, jika terjadi pemilihan dua putaran maka diprediksi kebutuhan anggaran kurang lebih Rp.25 Milyar.
“Yah ini juga kan kita masih belum pasti disetujui. Tapi kita tetap bertahan harus Rp.15 Milyar karena hitungan kami ini sudah dipres,” kata Ahmadi lagi.
Sebagaimana yang diketahui, penyelenggaraan Pilkada lima tahun yang lalu KPUD hanya menghabiskan biaya kurang lebih Rp.7 Milyar.
“Itukan dulu, jumlah desa dulu masih sekitar dua ratusan. Sekarang ini setelah pemekaran jumlah desanya sudah 366 dan 22 Kecamatan,” lanjut Ahmadi. (***)
Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kabupaten Konawe Selatan mengajukan anggaran Pilkada 2010 sebesar Rp.15 Milyar. Ketua KPUD Konsel, Ahmadi, di Andoolo,Senin(8/12) mengatakan, membengkaknya jumlah anggaran penyelenggaraan Pilkada kali ini dikarenakan bertambahnya jumlah desa dan Kecamatan di Konsel.
“Kalau bertambah jumlah desa dan kecamatan kan otomatis petugas penyelenggara juga pasti bertambah. Dan yang paling banyak memakan anggaran itu adalah pembayaran honor penyelenggara” kata Ahmadi.
Dari Rp.15 Milyar, menurut Ahmadi kurang lebih 55 persennya diperuntukkan membayar honor petugas. Dan 30 persennya dialokasikan untuk logistik. Itupun diakuinya, jika terjadi pemilihan dua putaran maka diprediksi kebutuhan anggaran kurang lebih Rp.25 Milyar.
“Yah ini juga kan kita masih belum pasti disetujui. Tapi kita tetap bertahan harus Rp.15 Milyar karena hitungan kami ini sudah dipres,” kata Ahmadi lagi.
Sebagaimana yang diketahui, penyelenggaraan Pilkada lima tahun yang lalu KPUD hanya menghabiskan biaya kurang lebih Rp.7 Milyar.
“Itukan dulu, jumlah desa dulu masih sekitar dua ratusan. Sekarang ini setelah pemekaran jumlah desanya sudah 366 dan 22 Kecamatan,” lanjut Ahmadi. (***)
Kamis, 03 Desember 2009
Antara Kesejahteraan dan Penderitaan
Antara Kesejahteraan dan Penderitaan
Tak banyak yang berubah setelah kurang lebih dua tahun aktivitas pertambangan emas di kabupaten Bombana berlangsung. Nyaris tak ada perubahan nasib masyarakat setempat. Sebaliknya yang terjadi secara signifikan adalah perubahan bentang alam, konflik tanah, kriminal, merebaknya penyakit kulit dan tingginya biaya hidup yang harus dipikul oleh masyarakat.
Oleh Merlyn & Rustam
Bahkan dampak penambangan emas kini mulai menggeser mata pencaharian tetap warga setempat. Aktivitas pertambangan emas yang memerlukan suplai air dalam jumlah besar, saat ini telah mengorbankan sumber-sumber pendapatan dan mata pencaharian masyarakat seperti pertanian, usaha tambak ikan bandeng, kepiting dan udang.
Krisis air akibat keringnya sungai Langkowala yang menjadi sumber air irigasi sudah tidak mampu mengairi 511 hektar sawah yang berada di dua kecamatan yakni kecamatan Lantari Jaya dan Rarowatu Utara membuat masyarakat resah. Belum lagi pencemaran air akibat penggunaan cairan merkuri. Kekeringan terjadi akibat penyumbatan aliran sungai oleh salah satu Kuasa Pertambangan (KP).
Dahulu sebelum adanya aktivitas pertambangan, petani didua kecamatan tersebut bisa menghasilkan produksi beras di areal 11 ribu hektar sawah sebanyak 3-4 ton gabah kering giling. Pertanian Bombana yang dulu sempat menjadi lumbung padi dan daerah pengembangan ternak sapi di Sultra, saat ini tak bisa diharapkan lagi.
Pada tahun 2008, Bombana mengalami surplus beras sebanyak 500 ton, sedangkan pada tahun 2009 ini dipastikan menurun drastis akibat suplai produksi di dua kecamatan tersebut gagal panen, bahkan sama sekali tidak ada produksi beras.
Kurman, salah seorang anggota kelompok tani di Desa Lantari menuturkan, pada tahun 2007 lalu ia dan 14 kelompok tani lainnya, perhektarnya bisa menghasilkan 95 hingga 250 kwintal gabah kering giling.
“Biasanya, 5 sampai 6 hektar sawah bisa menghasilkan 250 karung atau setara dengan 40 juta per satu kali panen. Namun sejak bulan November 2008 lalu tidak ada lagi produksi yang dikarenakan irigasi dari bendungan Langkowala sudah tidak berfungsi lagi,” katanya.
Hal tersebut dibenarkan oleh kepala Dinas Pertanian Bombana, Sirajuddin. Ia mengakui pada tahun ini target partanian Bombana turun 30 persen dari yang ditargetkan.
Selain untuk pertanian aliran irigasi bendungan langkowala mengaliri juga usaha pertambakan ikan bandeng dan udang yang diusahakan oleh masayarakat yang berada di kecamatan Lantari Jaya seperti di desa Anugerah, Rarepua, dan Rarongkeu dengan luas arel tambak 700 hektar lebih. Usaha tambak cukup menjanjikan, dalam empat hektar tambak bisa menghasilkan 2.000 hingga 5.000 ekor ikan bandeng yang jika dirupiahkan menjadi Rp.3 juta.
Tapi, para pengusaha tambak kini mulai resah setelah ditemukannya kandungan merkuri pada sisa air di sungai Langkowala oleh hasil uji laboratorium Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Unhalu, beberapa waktu lalu.
Minim Hasil
Sekretaris Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Bombana Hernawaty mengatakan, pendapatan asli daerah ( PAD) yang berasal dari sektor pertambangan hingga September 2009 baru mencapai 1,5 % atau 923 juta, dari Rp.62 miliar yang ditargetkan. Khusus hasil tambang emas baru mencapai Rp.522 juta.
Hasil yang mengecewakan jika dibandingkan dengan banyaknya sektor lain yang dirugikan oleh adanya aktivitas pertambangan. Banyaknya sawah yang kering, petani kehilangan mata pencariannya, dan ancaman banjir bercampur air yang sudah tercemar mercury mengancam petani dan usaha tambak yang berada di sekitar aliran sungai Langkowala dan Wumbubangka.
Izin Kuasa Pertambangan (KP) emas dengan mudah diterbitkan oleh pemerintah Kabupaten Bombana tanpa harus melalui kajian yang mendalam dan memikirkan dampaknya. Begitu pula warga dengan leluasa berebut lahan galian emas tanpa memperdulikan pemilik tanah dan kerusakan lingkungan.
Menurut aktivis WWF – Kendari, Hasrul Kokoh, dalam kegiatan pemurnian emasnya diperlukan setidaknya 100 liter air untuk 1 gram emas. Dengan kandungan emas yang diperkirakan oleh pemerintah sebanyak satu juta ton, bisa dibayangkan berapa miliar liter air yang diperlukan untuk emas sebanyak itu, dan yang menjadi pertanyaannya dari mana sumber air itu akan diperoleh, sedangkan untuk saat ini dampak lingkungan yang ditimbulkan sudah sedemikian besarnya.
“Kita bisa membandingkan nilai ekonomis yang didapatkan jikalau keberadaan sumber air tetap terjaga keberadaannya. Mengambil contoh pemanfaatan sumber air yang ada di kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW), berdasarkan hasil penelitian Indra Putri dkk pada tahun 2005 nilai ekonomis untuk pemanfaatan air di TNRAW mencapai Rp.363.994.765/ tahun,” ujarnya.
Dan khusus sebagai penyedia air TNRAW juga menjadi sumber air dari PDAM didesa Atari Pinganggosi Kolaka.
Menanggapi kerusakan ini, pihak DPRD Bombana telah melakukan rapat dengar pendapat dengan sejumlah SKPD yang berada di lingkup pemkab Bombana sekaligus untuk melihat langsung hasil pengujian FPIK Unhalu tentang pencemaran mercuri.
Dalam hearing ini, Dinas Pertambangan Bombana yang diwakilkan oleh kasi pertambangan umum, Rajman mengatakan selama ini dinas pertambangan dibiarkan berjalan sendiri untuk mengambil tanggung jawab sendiri, sementara dampak yang ditimbulkan adalah tanggung jawab semua pihak.
Namun anggota dewan dari Partai Gerindra Laode Usman Sandiri mengatakan, semestinya sebelum mengeluarkan izin KP, pihak Dinas pertambangan Bombana sudah harus melakukan pengawasn dan penelitian dalam pengeluaran izin pertambangan agar hal hal yang terkait dengan kerusakan lingkungan sudah bisa diantisipasi.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kebersihan, Pertamanan dan Pemakaman Kabupaten Bombana, Laode Muh.Rusdin, setiap 6 bulan tim dari Dinas KLH Bombana melakukan pemantauan wajib di areal tambang. Terkait kerusakan lingkungan yang terjadi, KLH akan melakukan penelitian kembali AMDAL yang diterbitkan oleh pemegang izin KP, termasuk perbaikan alur sungai, perbaikan vegetasi, dan pengontrolan AMDAL yang lebih ketat.
Dalam hearing ini disepakati pembentukan tim penelitian lanjutan yang melibatkan segenap stakeholder lintas sektoral agar hasilnya lebih valid dan dapat dipertanggungjawabkan, diperlukan pembentukan badan khusus untuk berbicara tentang moratorium pertambangan emas, audit lingkungan, penegakan hukum yang terkait kepemilikan lahan dan melakukan penataan lingkungan yang lebih baik.
Jika pengelolaan tambang emas Bombana terus dilakukan secara eksploitatif maka Bombana akan dihadapkan pada banyak permasalahan seperti krisis air, krisis pangan, krisis sosial, krisis agraria, rendahnya kualitas kesehatan sera ancaman penyakit terkait dengan pencemaran mercuri bagi masyarakat sekitar kawasan tambang khususnya dan masyarakat Sultra pada umumnya. (***)
Tak banyak yang berubah setelah kurang lebih dua tahun aktivitas pertambangan emas di kabupaten Bombana berlangsung. Nyaris tak ada perubahan nasib masyarakat setempat. Sebaliknya yang terjadi secara signifikan adalah perubahan bentang alam, konflik tanah, kriminal, merebaknya penyakit kulit dan tingginya biaya hidup yang harus dipikul oleh masyarakat.
Oleh Merlyn & Rustam
Bahkan dampak penambangan emas kini mulai menggeser mata pencaharian tetap warga setempat. Aktivitas pertambangan emas yang memerlukan suplai air dalam jumlah besar, saat ini telah mengorbankan sumber-sumber pendapatan dan mata pencaharian masyarakat seperti pertanian, usaha tambak ikan bandeng, kepiting dan udang.
Krisis air akibat keringnya sungai Langkowala yang menjadi sumber air irigasi sudah tidak mampu mengairi 511 hektar sawah yang berada di dua kecamatan yakni kecamatan Lantari Jaya dan Rarowatu Utara membuat masyarakat resah. Belum lagi pencemaran air akibat penggunaan cairan merkuri. Kekeringan terjadi akibat penyumbatan aliran sungai oleh salah satu Kuasa Pertambangan (KP).
Dahulu sebelum adanya aktivitas pertambangan, petani didua kecamatan tersebut bisa menghasilkan produksi beras di areal 11 ribu hektar sawah sebanyak 3-4 ton gabah kering giling. Pertanian Bombana yang dulu sempat menjadi lumbung padi dan daerah pengembangan ternak sapi di Sultra, saat ini tak bisa diharapkan lagi.
Pada tahun 2008, Bombana mengalami surplus beras sebanyak 500 ton, sedangkan pada tahun 2009 ini dipastikan menurun drastis akibat suplai produksi di dua kecamatan tersebut gagal panen, bahkan sama sekali tidak ada produksi beras.
Kurman, salah seorang anggota kelompok tani di Desa Lantari menuturkan, pada tahun 2007 lalu ia dan 14 kelompok tani lainnya, perhektarnya bisa menghasilkan 95 hingga 250 kwintal gabah kering giling.
“Biasanya, 5 sampai 6 hektar sawah bisa menghasilkan 250 karung atau setara dengan 40 juta per satu kali panen. Namun sejak bulan November 2008 lalu tidak ada lagi produksi yang dikarenakan irigasi dari bendungan Langkowala sudah tidak berfungsi lagi,” katanya.
Hal tersebut dibenarkan oleh kepala Dinas Pertanian Bombana, Sirajuddin. Ia mengakui pada tahun ini target partanian Bombana turun 30 persen dari yang ditargetkan.
Selain untuk pertanian aliran irigasi bendungan langkowala mengaliri juga usaha pertambakan ikan bandeng dan udang yang diusahakan oleh masayarakat yang berada di kecamatan Lantari Jaya seperti di desa Anugerah, Rarepua, dan Rarongkeu dengan luas arel tambak 700 hektar lebih. Usaha tambak cukup menjanjikan, dalam empat hektar tambak bisa menghasilkan 2.000 hingga 5.000 ekor ikan bandeng yang jika dirupiahkan menjadi Rp.3 juta.
Tapi, para pengusaha tambak kini mulai resah setelah ditemukannya kandungan merkuri pada sisa air di sungai Langkowala oleh hasil uji laboratorium Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Unhalu, beberapa waktu lalu.
Minim Hasil
Sekretaris Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Bombana Hernawaty mengatakan, pendapatan asli daerah ( PAD) yang berasal dari sektor pertambangan hingga September 2009 baru mencapai 1,5 % atau 923 juta, dari Rp.62 miliar yang ditargetkan. Khusus hasil tambang emas baru mencapai Rp.522 juta.
Hasil yang mengecewakan jika dibandingkan dengan banyaknya sektor lain yang dirugikan oleh adanya aktivitas pertambangan. Banyaknya sawah yang kering, petani kehilangan mata pencariannya, dan ancaman banjir bercampur air yang sudah tercemar mercury mengancam petani dan usaha tambak yang berada di sekitar aliran sungai Langkowala dan Wumbubangka.
Izin Kuasa Pertambangan (KP) emas dengan mudah diterbitkan oleh pemerintah Kabupaten Bombana tanpa harus melalui kajian yang mendalam dan memikirkan dampaknya. Begitu pula warga dengan leluasa berebut lahan galian emas tanpa memperdulikan pemilik tanah dan kerusakan lingkungan.
Menurut aktivis WWF – Kendari, Hasrul Kokoh, dalam kegiatan pemurnian emasnya diperlukan setidaknya 100 liter air untuk 1 gram emas. Dengan kandungan emas yang diperkirakan oleh pemerintah sebanyak satu juta ton, bisa dibayangkan berapa miliar liter air yang diperlukan untuk emas sebanyak itu, dan yang menjadi pertanyaannya dari mana sumber air itu akan diperoleh, sedangkan untuk saat ini dampak lingkungan yang ditimbulkan sudah sedemikian besarnya.
“Kita bisa membandingkan nilai ekonomis yang didapatkan jikalau keberadaan sumber air tetap terjaga keberadaannya. Mengambil contoh pemanfaatan sumber air yang ada di kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW), berdasarkan hasil penelitian Indra Putri dkk pada tahun 2005 nilai ekonomis untuk pemanfaatan air di TNRAW mencapai Rp.363.994.765/ tahun,” ujarnya.
Dan khusus sebagai penyedia air TNRAW juga menjadi sumber air dari PDAM didesa Atari Pinganggosi Kolaka.
Menanggapi kerusakan ini, pihak DPRD Bombana telah melakukan rapat dengar pendapat dengan sejumlah SKPD yang berada di lingkup pemkab Bombana sekaligus untuk melihat langsung hasil pengujian FPIK Unhalu tentang pencemaran mercuri.
Dalam hearing ini, Dinas Pertambangan Bombana yang diwakilkan oleh kasi pertambangan umum, Rajman mengatakan selama ini dinas pertambangan dibiarkan berjalan sendiri untuk mengambil tanggung jawab sendiri, sementara dampak yang ditimbulkan adalah tanggung jawab semua pihak.
Namun anggota dewan dari Partai Gerindra Laode Usman Sandiri mengatakan, semestinya sebelum mengeluarkan izin KP, pihak Dinas pertambangan Bombana sudah harus melakukan pengawasn dan penelitian dalam pengeluaran izin pertambangan agar hal hal yang terkait dengan kerusakan lingkungan sudah bisa diantisipasi.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kebersihan, Pertamanan dan Pemakaman Kabupaten Bombana, Laode Muh.Rusdin, setiap 6 bulan tim dari Dinas KLH Bombana melakukan pemantauan wajib di areal tambang. Terkait kerusakan lingkungan yang terjadi, KLH akan melakukan penelitian kembali AMDAL yang diterbitkan oleh pemegang izin KP, termasuk perbaikan alur sungai, perbaikan vegetasi, dan pengontrolan AMDAL yang lebih ketat.
Dalam hearing ini disepakati pembentukan tim penelitian lanjutan yang melibatkan segenap stakeholder lintas sektoral agar hasilnya lebih valid dan dapat dipertanggungjawabkan, diperlukan pembentukan badan khusus untuk berbicara tentang moratorium pertambangan emas, audit lingkungan, penegakan hukum yang terkait kepemilikan lahan dan melakukan penataan lingkungan yang lebih baik.
Jika pengelolaan tambang emas Bombana terus dilakukan secara eksploitatif maka Bombana akan dihadapkan pada banyak permasalahan seperti krisis air, krisis pangan, krisis sosial, krisis agraria, rendahnya kualitas kesehatan sera ancaman penyakit terkait dengan pencemaran mercuri bagi masyarakat sekitar kawasan tambang khususnya dan masyarakat Sultra pada umumnya. (***)
Kamis, 19 November 2009
Izin KP Tumbuh Bak Jamur di Musim Hujan
OLeh Rustam
Nafsu pemerintah daerah mengejar pendapatan daerah dari sektor pertambangan semakin menggila. Hal itu tercermin dari jumlah izin Kuasa Pertambangan (KP) yang dikelurkan oleh 10 kepala daerah, minus kota Kendari dan kabupaten Wakatobi yang jumlahnya mencapai 278 izin KP sepanjang 2004 hingga 2008.
Jumlah tersebut dapat diibaratkan jamur yang tumbuh di musim hujan. Setiap tahun para bupati khususnya di delapan kabupaten seakan berlomba-lomba menerbitkan izin KP. Data Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Provinsi Sultra, daerah yang paling terbanyak menerbitkan izin KP kepada investor adalah kabupaten Konawe 75 KP, Konawe Utara 52 KP dan Buton 46 KP. Menyusul daerah lainnya Konawe Selalatan 16 KP, Kolaka Utara 18 KP, Buton Utara 15 KP, Bombana 14 KP, Kolaka 11 KP, Muna dan kota Baubua masing-masing 1 izin KP. Khusus kabupaten Buton sebagian izinnya adalah untuk pertambangan aspal.
Pertumbuhan izin KP yang terus meningkat dalam kurun waktu yang singkat itu akibat berlakunya otonomi daerah sejak 2004 yang memberikan kewenangan kepada para kepala daerah untuk pengelolaan sumberdaya alamnya. Bak gayung bersambut, para kepala daerah tidak menyia-nyiakan hak otonom yang diberikan oleh pusat. Sayangnya banyak kepala daerah yang gagal mengurus daerahnya akibat kebijakan yang ceroboh, termasuk timbulnya permasalahan pada pengelolaan sumberdaya alam yang justru menimbulkan konflik.
Ada pula para bupati/walikota yang membangkan terhadap atasannya dalam hal ini gubenur dan Mendagri. Para bupati mengklaim memiliki kewenangan pengelolaan sumberdaya alam di daerahnya sehingga tidak perlu dilaporkan atau diintervensi oleh gubernur. Hal itu terjadi di beberapa daerah di Sultra yang belakangan mulai dicairkan oleh gubernur Nur Alam.
Pengagas dan pakar otonomi daerah Ryas Rasyd dalam suatu kunjungnnya di kota Kendari belum lama ini mengatakan banyaknya ketimpangan yang terjadi di daerah akibat kurangnya pengawasan dan kontrol pemerintah pusat terhadap kebijakan di daerah. Ia meminta pemerintah pusat tidak terburu-buru menyetujui usulan pemekaran. Pemerintah terlebih dahulu harus melakukan kajian dan evaluasi secara menyeluruh terhadap daearh yang telah dimerkan termasuk yang akan dimekarkan.
”Harusnya pemerintah pusat jangan melepas begitu saja daerah yang telah dimekarkan, tapi perlu ada pengawasan, kontrol dan pembinaan secara terus-menerus sehingga para kepala daerah juga tidak seenaknya menjalankan pemerintahan dan membuat kebijakan yang merugikan daerah dan rakyatnya,” kata Ryas Rasyd saat itu.
Permasalahan
Banyaknya izin KP yang dikeluarkan oleh para bupati ternyata tidak diikuti naiknya kesejahteraan masyarakat atau berkurangnya angka kemiskinan di daerah secara signifikan. Sebaliknya masyarakat harus menerima dan menanggung kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas pertambangan. Data terbaru yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik Provinsi Sultra, penurunan angka kemiskinan saat ini hanya sekitar 1 persen lebih.
Bekum optimalnya penerimaan dari sektor tambang disebabkan masih banyaknya permasalah dan kendala yang dihadapi pemilik izin KP. Hasil kajian dan telaah masalah pertambangan yang dilakukan oleh Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral Sultra menemukan sejumlah masalah di daerah, antara lain belum adanya regulasi yang mengatur tentang pertambangan umum, banyaknya izin pertambangan yang berada pada kawasan hutan, belum adanya izin pinjam pakai sebagian KP, izin yang tidak sesuai regulasi, kurangnya koordinasi antara pemerintah kabupaten dan Provinsi dan minimnya kontribusi perusahaan pertambangan terhadap pembangunan di daerah.
Ini belum termasuk kasus tumpang tindih lahan yang jumlahnya cukup banyak dan menyebar dihampir semua daerah yang memiliki kawasan pertambangan, dan dokumen pengelolaan lingkungan yang terkesan asal-asalan serta turunnya harga nikel yang memicu sebagian besar investor tambang gulung tikar.
”Permasalahan ini muncul akibat pemerintah di kabupaten tidak pernah melakukan koordinasi dengan kami sebelumnya. Kita berharap banyak yang diperoleh dari sektor pertambangan, tapi kenyataannya kita justru memperoleh bagian yang sangat kecil dibandingkan pemerintah pusat,” kata Hakku Wahab, Kadis ESDM Sultra saat menghadiri worksop lingkungan yang digelar AJI Kendari, akhir pekan lalu.
Sebelumnya gubernur meminta kepada sejumlah bupati agar segera menertibkan KP yang bermasalah. Bahkan ia pernah mengancam akan membekukan 75 KP di Konawe dan Konawe Utara akibat tumpang tindih lahan. (***)
Statistik Kuasa Pertambangan di Sultra 2004-2008
No. Kabupaten 2004 2005 2006 2007 2008
1. Bombana 0 0 0 14 14
2. Buton 5 12 17 5 11
3. Buton Utara 0 0 0 2 13
4. Baubau 0 0 0 1 0
5. Kolaka 0 0 0 11 0
6. Kolaka Utara 0 0 0 7 11
7. Konawe 0 1 4 58 12
8. Konawe Utara 0 0 0 50 2
9. Konawe Selatan 0 0 1 3 13
10. Muna 0 0 1 0 0
Sumber:Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Sultra
Nafsu pemerintah daerah mengejar pendapatan daerah dari sektor pertambangan semakin menggila. Hal itu tercermin dari jumlah izin Kuasa Pertambangan (KP) yang dikelurkan oleh 10 kepala daerah, minus kota Kendari dan kabupaten Wakatobi yang jumlahnya mencapai 278 izin KP sepanjang 2004 hingga 2008.
Jumlah tersebut dapat diibaratkan jamur yang tumbuh di musim hujan. Setiap tahun para bupati khususnya di delapan kabupaten seakan berlomba-lomba menerbitkan izin KP. Data Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Provinsi Sultra, daerah yang paling terbanyak menerbitkan izin KP kepada investor adalah kabupaten Konawe 75 KP, Konawe Utara 52 KP dan Buton 46 KP. Menyusul daerah lainnya Konawe Selalatan 16 KP, Kolaka Utara 18 KP, Buton Utara 15 KP, Bombana 14 KP, Kolaka 11 KP, Muna dan kota Baubua masing-masing 1 izin KP. Khusus kabupaten Buton sebagian izinnya adalah untuk pertambangan aspal.
Pertumbuhan izin KP yang terus meningkat dalam kurun waktu yang singkat itu akibat berlakunya otonomi daerah sejak 2004 yang memberikan kewenangan kepada para kepala daerah untuk pengelolaan sumberdaya alamnya. Bak gayung bersambut, para kepala daerah tidak menyia-nyiakan hak otonom yang diberikan oleh pusat. Sayangnya banyak kepala daerah yang gagal mengurus daerahnya akibat kebijakan yang ceroboh, termasuk timbulnya permasalahan pada pengelolaan sumberdaya alam yang justru menimbulkan konflik.
Ada pula para bupati/walikota yang membangkan terhadap atasannya dalam hal ini gubenur dan Mendagri. Para bupati mengklaim memiliki kewenangan pengelolaan sumberdaya alam di daerahnya sehingga tidak perlu dilaporkan atau diintervensi oleh gubernur. Hal itu terjadi di beberapa daerah di Sultra yang belakangan mulai dicairkan oleh gubernur Nur Alam.
Pengagas dan pakar otonomi daerah Ryas Rasyd dalam suatu kunjungnnya di kota Kendari belum lama ini mengatakan banyaknya ketimpangan yang terjadi di daerah akibat kurangnya pengawasan dan kontrol pemerintah pusat terhadap kebijakan di daerah. Ia meminta pemerintah pusat tidak terburu-buru menyetujui usulan pemekaran. Pemerintah terlebih dahulu harus melakukan kajian dan evaluasi secara menyeluruh terhadap daearh yang telah dimerkan termasuk yang akan dimekarkan.
”Harusnya pemerintah pusat jangan melepas begitu saja daerah yang telah dimekarkan, tapi perlu ada pengawasan, kontrol dan pembinaan secara terus-menerus sehingga para kepala daerah juga tidak seenaknya menjalankan pemerintahan dan membuat kebijakan yang merugikan daerah dan rakyatnya,” kata Ryas Rasyd saat itu.
Permasalahan
Banyaknya izin KP yang dikeluarkan oleh para bupati ternyata tidak diikuti naiknya kesejahteraan masyarakat atau berkurangnya angka kemiskinan di daerah secara signifikan. Sebaliknya masyarakat harus menerima dan menanggung kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas pertambangan. Data terbaru yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik Provinsi Sultra, penurunan angka kemiskinan saat ini hanya sekitar 1 persen lebih.
Bekum optimalnya penerimaan dari sektor tambang disebabkan masih banyaknya permasalah dan kendala yang dihadapi pemilik izin KP. Hasil kajian dan telaah masalah pertambangan yang dilakukan oleh Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral Sultra menemukan sejumlah masalah di daerah, antara lain belum adanya regulasi yang mengatur tentang pertambangan umum, banyaknya izin pertambangan yang berada pada kawasan hutan, belum adanya izin pinjam pakai sebagian KP, izin yang tidak sesuai regulasi, kurangnya koordinasi antara pemerintah kabupaten dan Provinsi dan minimnya kontribusi perusahaan pertambangan terhadap pembangunan di daerah.
Ini belum termasuk kasus tumpang tindih lahan yang jumlahnya cukup banyak dan menyebar dihampir semua daerah yang memiliki kawasan pertambangan, dan dokumen pengelolaan lingkungan yang terkesan asal-asalan serta turunnya harga nikel yang memicu sebagian besar investor tambang gulung tikar.
”Permasalahan ini muncul akibat pemerintah di kabupaten tidak pernah melakukan koordinasi dengan kami sebelumnya. Kita berharap banyak yang diperoleh dari sektor pertambangan, tapi kenyataannya kita justru memperoleh bagian yang sangat kecil dibandingkan pemerintah pusat,” kata Hakku Wahab, Kadis ESDM Sultra saat menghadiri worksop lingkungan yang digelar AJI Kendari, akhir pekan lalu.
Sebelumnya gubernur meminta kepada sejumlah bupati agar segera menertibkan KP yang bermasalah. Bahkan ia pernah mengancam akan membekukan 75 KP di Konawe dan Konawe Utara akibat tumpang tindih lahan. (***)
Statistik Kuasa Pertambangan di Sultra 2004-2008
No. Kabupaten 2004 2005 2006 2007 2008
1. Bombana 0 0 0 14 14
2. Buton 5 12 17 5 11
3. Buton Utara 0 0 0 2 13
4. Baubau 0 0 0 1 0
5. Kolaka 0 0 0 11 0
6. Kolaka Utara 0 0 0 7 11
7. Konawe 0 1 4 58 12
8. Konawe Utara 0 0 0 50 2
9. Konawe Selatan 0 0 1 3 13
10. Muna 0 0 1 0 0
Sumber:Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Sultra
Perolehan Suara Parpol dan Caleg DPRD Kendari Periode 2009-2014
Oleh Rustam
Sumber KPU
RINCIAN PEROLEHAN SUARA PARTAI POLITIK DAN CALON
ANGGOTA DPRD KAB./KOTA DAN SUARA TIDAK SAH DI KPU KAB./KOTA
( diisi berdasarkan formulir DA-1 DPRD KAB./KOTA )
KOTA : KOTA KENDARI
PROVINSI : SULAWESI TENGGARA
DAERAH PEMILIHAN DPRD KABUPATEN/KOTA : KOTA KENDARI IV
NAMA PARTAI, NOMOR DAN NAMA CALON ANGGOTA DPRD KAB/KOTA JUMLAH PINDAHAN KECAMATAN JUMLAH AKHIR /JUMLAH PINDAHAN
KAMBU POASIA ABELI
A 1 PARTAI HATI NURANI RAKYAT 25 38 49 112
B 1. H. Bachtiar Kenepulu 203 194 294 691
2. Ridawati 38 44 141 223
3. Iskandar Ali Samad, SP 33 12 11 56
4. Adriani Putri 6 8 6 20
5 0 0 0 0
6 Drs. Muhammad As'ad 0 0 0 0
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 305 296 501 1102
A 2 PARTAI KARYA PEDULI BANGSA 16 23 16 55
B 1. Nuddin, A.Md Pd 21 262 118 401
2 Murdan Mule, BSW 8 19 80 107
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 45 304 214 563
A 3 PARTAI PENGUSAHA DAN PEKERJA INDONESIA 4 11 3 18
B 1. Andi Syaifuddin 31 253 19 303
2 H. Bachtiar Kadir, SH 39 21 1 61
3 Hasriani Irwan 1 7 1 9
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 75 292 24 391
A 4 PARTAI PEDULI RAKYAT NASIONAL 2 14 5 21
B 1. Ir. Agus Salim Taufik IS. 34 44 34 112
2. Abu Tahir 2 4 5 11
3 Sitti Hasni 3 2 9 14
4 Haris Abdullah 4 7 14 25
5 La Ode Musali 6 5 9 20
6 Mejeiling Tahang, S.Ag 25 15 0 40
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 76 91 76 243
A 5 PARTAI GERAKAN INDONESIA RAYA 12 15 28 55
B 1. M. Zaid Kimi, A.Md 481 154 87 722
2. Achmad 35 123 15 173
3. Rosmiati 15 29 23 67
4. 0 0 0 0
5. M. Jamil S. 9 3 1 13
6. Wa Ode. Rahzia Yani L.H. 12 1 3 16
7 Muhammad Irfan, S.Pd 0 3 1 4
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 564 328 158 1050
A 6 PARTAI BARISAN NASIONAL 5 7 5 17
B 1. Maoliddin, S.Pd 208 28 30 266
2 Drs. Ilham Ahmad 34 118 32 184
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 247 153 67 467
A 7 PARTAI KEADILAN DAN PERSATUAN INDONESIA 2 4 6 12
B 1. Hj. Kartina Ditu 141 49 129 319
2. Herman Susilo 94 45 3 142
3 Jamil, S.Pd 3 0 2 5
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 240 98 140 478
A 8 PARTAI KEADILAN SEJAHTERA 101 70 25 196
B 1. M. Jufri, SE 267 89 60 416
2. Hj. Rostina Tarimane 502 44 54 600
3. Wa Ode Sari Amaliyah, S.Pd 67 19 43 129
4. Muh. Safri 8 36 268 312
5. Bahrun 198 22 23 243
6. Dra. Asira 8 8 218 234
7. Kadir 9 12 189 210
8. Zulfikar Putra, SH 18 67 14 99
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 1178 367 894 2439
A 9 PARTAI AMANAT NASIONAL 31 53 48 132
B 1. Abdul Razak, SP 79 412 814 1305
2. Yambi 44 153 10 207
3. Hj. Rosmaladewi Pidani, SE 71 365 247 683
4. Andi Razak, A.Md 37 94 33 164
5. H. Rus’an Shaleh, A.Md 132 158 128 418
6. Suswati 16 14 11 41
7. Dra. Hasanah 40 82 45 167
8. Hernina Pangestu Purba, SP 3 5 3 11
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 453 1336 1339 3128
A 10 PARTAI PERJUANGAN INDONESIA BARU 3 0 0 3
B 1. Mansyur B. 104 16 12 132
2. Jamsir Mbesu, SH 34 27 1 62
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 141 43 13 197
A 11 PARTAI KEDAULATAN 3 10 6 19
B 1 Drs. La Ode Usman Sungku 192 158 120 470
2 Haidir Astom, A.Md 63 13 2 78
3 Sri Hartini Lindo, S.Si 1 0 2 3
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 259 181 130 570
A 12 PARTAI PERSATUAN DAERAH 1 8 13 22
B 1. Sutarman Pallatce, SE 15 95 89 199
2 Lisnawati, S.Sos 2 2 0 4
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 18 105 102 225
A 13 PARTAI KEBANGKITAN BANGSA 3 6 8 17
B 1. Rahmat Suam 15 89 55 159
2. Alimuddin 7 30 256 293
3. Ridwan Rani 2 50 2 54
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 27 175 321 523
A 14 PARTAI PEMUDA INDONESIA 1 1 1 3
B 1. Andri Darmawan 124 17 2 143
2. Timartin Gito, A.Md 2 19 2 23
3 Ali Jais 2 0 2 4
4 Junaid Hasyim 4 34 1 39
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 133 71 8 212
A 15 PARTAI NASIONAL INDONESIA MARHAENISME 1 1 0 2
B 1. L.M. Salih Hanan, S.Pd 300 31 15 346
2 Rusman, S.Sos 18 11 8 37
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 319 43 23 385
A 16 PARTAI DEMOKRASI PEMBARUAN 5 10 19 34
B 1. Simon Takaendengan, S.Tp 163 66 190 419
2. Jaenuddin, SE 1 19 8 28
3. Mery Chandra 5 3 0 8
4. Andi Afiruddin, S.Pd 39 4 2 45
5. Saibar 0 1 1 2
6 Juhri Sarita 0 1 7 8
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 213 104 227 544
A 17 PARTAI KARYA PERJUANGAN 3 6 2 11
B 1. Doly Rinjaya, SE 11 32 22 65
2. Jaenuddin, SE 0 0 0 0
3 Harnoni, S.Ag 49 15 18 82
4 L.M. Junaim, S.Km 0 4 0 4
5 Nurhasana, S.Sos 0 0 0 0
6 A. Gustianan Mallo 2 0 1 3
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 65 57 43 165
A 18 PARTAI MATAHARI BANGSA 1 3 1 5
B 1. Nur Alvi Sahri, SE 9 16 2 27
2 Surianti 15 2 158 175
3 Munira 1 2 1 4
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 26 23 162 211
A 19 PARTAI PENEGAK DEMOKRASI INDONESIA 5 14 7 26
B 1. Suhadi 237 455 214 906
2 Muljono 11 16 2 29
3 Ir. Hj. Hartati Husni 9 90 92 191
4 LD. Zulfakara, SE 2 5 3 10
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 264 580 318 1162
A 20 PARTAI DEMOKRASI KEBANGSAAN 22 5 7 34
B 1. La Ode Alimusabaq B., SP 22 23 42 87
2 Nurliana 4 2 2 8
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 48 30 51 129
A 21 PARTAI REPUBLIKA NUSANTARA 2 10 4 16
B 1. Syukur, S.Pd 22 245 30 297
2. Aco Rahman Ismail 13 20 33 66
3. Sartika 2 0 1 3
4. Drs. M. Asnar 14 26 86 126
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 53 301 154 508
A 22 PARTAI PELOPOR 7 3 9 19
B 1. Edy Sofyan 8 49 55 112
2. Al Imran 160 12 1 173
3 Emi 0 4 6 10
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 175 68 71 314
A 23 PARTAI GOLONGAN KARYA 62 73 37 172
B 1. Zainuddin Monggilo, S.Pd 100 135 58 293
2. Pamasona 17 54 50 121
3. Drs. Basran Tadjuddin 10 86 62 158
4. Sarnia, SP 9 58 7 74
5. M. Aminuddin Silondae 89 175 54 318
6. Raniyati 6 13 8 27
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 293 594 276 1163
A 24 PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN 13 25 30 68
B 1. Drs. Muhammad Kasim 125 268 655 1048
2. Hj. Rusiawati Abunawas, SE 320 456 876 1652
3. Sakina Ahmad, SE 224 23 17 264
4. Drs. Abduyl Azis Teba 66 20 4 90
5. Drs. Abdul Munir 0 6 5 11
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 748 798 1587 3133
A 25 PARTAI DAMAI SEJAHTERA 13 2 2 17
B 1. Abd. Hamid Sokodang 13 7 13 33
2 Winner Agustinus Siregar, SH 37 47 3 87
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 63 56 18 137
A 26 PARTAI NASIONAL BENTENG KERAKYATAN INDONESIA 0 1 1 2
B 1. La Ode Murfain Ndibane 13 5 3 21
2. Sulaiman 2 1 5 8
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 15 7 9 31
A 27 PARTAI BULAN BINTANG 11 7 23 41
B 1. Hamili, SP 75 62 362 499
2. Waia 3 2 7 12
3. Firman Syah Amrin, SE 24 88 88 200
4. Ir. Haslipa 8 3 3 14
5. Rahmawati Nusi, S.Pd 5 9 6 20
6. Rais Gone, S.Kom 10 14 0 24
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 136 185 489 810
A 28 PARTAI DEMOKRASI INDONESIA PERJUANGAN 10 25 6 41
B 1. Siti Munadarma 103 336 67 506
2. Sulhir Taherong 1 13 9 23
3. Abdul Latif 8 2 23 33
4. Arni Haruna 32 6 5 43
5. La Ode Muh. Amir, SH 12 15 8 35
6 Zurisman Zakaria, S.Sos 3 16 2 21
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 169 413 120 702
A 29 PARTAI BINTANG REFORMASI 3 7 21 31
B 1. KH. La Ode Arqam Ali, BA 20 32 343 395
2. Yudhi Hariyanto 120 127 24 271
3. Hania, S.Ag 9 4 3 16
4 La Ode Amin Amane, SE 46 27 6 79
5 Muhammad Yunus 6 4 136 146
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 204 201 533 938
A 30 PARTAI PATRIOT 5 17 4 26
B 1. Irwan Sukma 122 516 108 746
2. Suparman 7 11 40 58
3. Erliyanti 1 2 3 6
4 Salman 2 3 1 6
5 Amran Kasim 6 10 4 20
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 143 559 160 862
A 31 PARTAI DEMOKRAT 238 250 157 645
B 1. Ir. Ilham Hamra 192 457 611 1260
2. Ali Rahman, S.Sos 617 319 130 1066
3. Intisari Zulkurnia 80 466 128 674
4. Nur Aisyah Rauf, SE 55 44 31 130
5. Abdul Madjid 111 48 5 164
6. St. Marhaeni 148 11 5 164
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B)1441 1595 1067 4103
A 32 PARTAI KASIH DEMOKRASI INDONESIA 9 7 3 19
B 1. Tandibayang, SH 75 108 29 212
2. Siti Badriyah 1 9 0 10
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 85 124 32 241
A 33 PARTAI INDONESIA SEJAHTERA 3 2 10 15
B 1. Hasril 35 26 836 897
2. Jufriadi 42 8 11 61
3 Hj. Nurbaya 0 0 32 32
4 Andi Rahim Syamsul 1 1 17 19
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 81 37 906 1024
A 34 PARTAI KEBANGKITAN NASIONAL ULAMA 11 6 1 18
B 1. Irwan Syamsuddin Herman, SE 439 71 40 550
2. Asmawiya 0 8 11 19
3. Idi Sutaji, S.Si 92 13 15 120
4. Iskandar, A.Md, ST 4 2 0 6
5 La Oli Malatih 14 2 51 67
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 560 102 118 780
A 41 PARTAI MERDEKA 1 2 5 8
B 1. Indrawati 21 1 50 72
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 22 3 55 80
A 42 PARTAI PERSATUAN NAHDLATUL UMMAH INDONESIA 1 3 5 9
B 1. Widiya Y. Saidin 28 88 15 131
2. Kusmawati 1 16 3 20
3. Armawanto, S.Th.I 8 5 4 17
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 38 112 27 177
A 43 PARTAI SARIKAT INDONESIA 2 1 0 3
B 1. Rosmiati Sahrun 119 12 1 132
2 Muh. Sarif 4 1 0 5
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 125 14 1 140
A 44 PARTAI BURUH 1 4 19 24
B 1. Hasanuddin, S.Pd 141 74 66 281
2. Sitti Hidjrana 1 1 3 5
3. Asriani 9 0 2 11
4. Munaria 3 0 4 7
5. Nani Saranani, S.Pd 9 4 5 18
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B)164 83 99 346
A. JUMLAH SUARA SAH CALON 9211 9929 10533 29673
B. JUMLAH SUARA TIDAK SAH CALON 329 420 684 1433
9,211 9,929 10,533
329 420 684
9,540 10,349 11,217
Sumber KPU
RINCIAN PEROLEHAN SUARA PARTAI POLITIK DAN CALON
ANGGOTA DPRD KAB./KOTA DAN SUARA TIDAK SAH DI KPU KAB./KOTA
( diisi berdasarkan formulir DA-1 DPRD KAB./KOTA )
KOTA : KOTA KENDARI
PROVINSI : SULAWESI TENGGARA
DAERAH PEMILIHAN DPRD KABUPATEN/KOTA : KOTA KENDARI IV
NAMA PARTAI, NOMOR DAN NAMA CALON ANGGOTA DPRD KAB/KOTA JUMLAH PINDAHAN KECAMATAN JUMLAH AKHIR /JUMLAH PINDAHAN
KAMBU POASIA ABELI
A 1 PARTAI HATI NURANI RAKYAT 25 38 49 112
B 1. H. Bachtiar Kenepulu 203 194 294 691
2. Ridawati 38 44 141 223
3. Iskandar Ali Samad, SP 33 12 11 56
4. Adriani Putri 6 8 6 20
5 0 0 0 0
6 Drs. Muhammad As'ad 0 0 0 0
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 305 296 501 1102
A 2 PARTAI KARYA PEDULI BANGSA 16 23 16 55
B 1. Nuddin, A.Md Pd 21 262 118 401
2 Murdan Mule, BSW 8 19 80 107
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 45 304 214 563
A 3 PARTAI PENGUSAHA DAN PEKERJA INDONESIA 4 11 3 18
B 1. Andi Syaifuddin 31 253 19 303
2 H. Bachtiar Kadir, SH 39 21 1 61
3 Hasriani Irwan 1 7 1 9
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 75 292 24 391
A 4 PARTAI PEDULI RAKYAT NASIONAL 2 14 5 21
B 1. Ir. Agus Salim Taufik IS. 34 44 34 112
2. Abu Tahir 2 4 5 11
3 Sitti Hasni 3 2 9 14
4 Haris Abdullah 4 7 14 25
5 La Ode Musali 6 5 9 20
6 Mejeiling Tahang, S.Ag 25 15 0 40
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 76 91 76 243
A 5 PARTAI GERAKAN INDONESIA RAYA 12 15 28 55
B 1. M. Zaid Kimi, A.Md 481 154 87 722
2. Achmad 35 123 15 173
3. Rosmiati 15 29 23 67
4. 0 0 0 0
5. M. Jamil S. 9 3 1 13
6. Wa Ode. Rahzia Yani L.H. 12 1 3 16
7 Muhammad Irfan, S.Pd 0 3 1 4
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 564 328 158 1050
A 6 PARTAI BARISAN NASIONAL 5 7 5 17
B 1. Maoliddin, S.Pd 208 28 30 266
2 Drs. Ilham Ahmad 34 118 32 184
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 247 153 67 467
A 7 PARTAI KEADILAN DAN PERSATUAN INDONESIA 2 4 6 12
B 1. Hj. Kartina Ditu 141 49 129 319
2. Herman Susilo 94 45 3 142
3 Jamil, S.Pd 3 0 2 5
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 240 98 140 478
A 8 PARTAI KEADILAN SEJAHTERA 101 70 25 196
B 1. M. Jufri, SE 267 89 60 416
2. Hj. Rostina Tarimane 502 44 54 600
3. Wa Ode Sari Amaliyah, S.Pd 67 19 43 129
4. Muh. Safri 8 36 268 312
5. Bahrun 198 22 23 243
6. Dra. Asira 8 8 218 234
7. Kadir 9 12 189 210
8. Zulfikar Putra, SH 18 67 14 99
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 1178 367 894 2439
A 9 PARTAI AMANAT NASIONAL 31 53 48 132
B 1. Abdul Razak, SP 79 412 814 1305
2. Yambi 44 153 10 207
3. Hj. Rosmaladewi Pidani, SE 71 365 247 683
4. Andi Razak, A.Md 37 94 33 164
5. H. Rus’an Shaleh, A.Md 132 158 128 418
6. Suswati 16 14 11 41
7. Dra. Hasanah 40 82 45 167
8. Hernina Pangestu Purba, SP 3 5 3 11
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 453 1336 1339 3128
A 10 PARTAI PERJUANGAN INDONESIA BARU 3 0 0 3
B 1. Mansyur B. 104 16 12 132
2. Jamsir Mbesu, SH 34 27 1 62
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 141 43 13 197
A 11 PARTAI KEDAULATAN 3 10 6 19
B 1 Drs. La Ode Usman Sungku 192 158 120 470
2 Haidir Astom, A.Md 63 13 2 78
3 Sri Hartini Lindo, S.Si 1 0 2 3
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 259 181 130 570
A 12 PARTAI PERSATUAN DAERAH 1 8 13 22
B 1. Sutarman Pallatce, SE 15 95 89 199
2 Lisnawati, S.Sos 2 2 0 4
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 18 105 102 225
A 13 PARTAI KEBANGKITAN BANGSA 3 6 8 17
B 1. Rahmat Suam 15 89 55 159
2. Alimuddin 7 30 256 293
3. Ridwan Rani 2 50 2 54
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 27 175 321 523
A 14 PARTAI PEMUDA INDONESIA 1 1 1 3
B 1. Andri Darmawan 124 17 2 143
2. Timartin Gito, A.Md 2 19 2 23
3 Ali Jais 2 0 2 4
4 Junaid Hasyim 4 34 1 39
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 133 71 8 212
A 15 PARTAI NASIONAL INDONESIA MARHAENISME 1 1 0 2
B 1. L.M. Salih Hanan, S.Pd 300 31 15 346
2 Rusman, S.Sos 18 11 8 37
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 319 43 23 385
A 16 PARTAI DEMOKRASI PEMBARUAN 5 10 19 34
B 1. Simon Takaendengan, S.Tp 163 66 190 419
2. Jaenuddin, SE 1 19 8 28
3. Mery Chandra 5 3 0 8
4. Andi Afiruddin, S.Pd 39 4 2 45
5. Saibar 0 1 1 2
6 Juhri Sarita 0 1 7 8
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 213 104 227 544
A 17 PARTAI KARYA PERJUANGAN 3 6 2 11
B 1. Doly Rinjaya, SE 11 32 22 65
2. Jaenuddin, SE 0 0 0 0
3 Harnoni, S.Ag 49 15 18 82
4 L.M. Junaim, S.Km 0 4 0 4
5 Nurhasana, S.Sos 0 0 0 0
6 A. Gustianan Mallo 2 0 1 3
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 65 57 43 165
A 18 PARTAI MATAHARI BANGSA 1 3 1 5
B 1. Nur Alvi Sahri, SE 9 16 2 27
2 Surianti 15 2 158 175
3 Munira 1 2 1 4
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 26 23 162 211
A 19 PARTAI PENEGAK DEMOKRASI INDONESIA 5 14 7 26
B 1. Suhadi 237 455 214 906
2 Muljono 11 16 2 29
3 Ir. Hj. Hartati Husni 9 90 92 191
4 LD. Zulfakara, SE 2 5 3 10
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 264 580 318 1162
A 20 PARTAI DEMOKRASI KEBANGSAAN 22 5 7 34
B 1. La Ode Alimusabaq B., SP 22 23 42 87
2 Nurliana 4 2 2 8
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 48 30 51 129
A 21 PARTAI REPUBLIKA NUSANTARA 2 10 4 16
B 1. Syukur, S.Pd 22 245 30 297
2. Aco Rahman Ismail 13 20 33 66
3. Sartika 2 0 1 3
4. Drs. M. Asnar 14 26 86 126
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 53 301 154 508
A 22 PARTAI PELOPOR 7 3 9 19
B 1. Edy Sofyan 8 49 55 112
2. Al Imran 160 12 1 173
3 Emi 0 4 6 10
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 175 68 71 314
A 23 PARTAI GOLONGAN KARYA 62 73 37 172
B 1. Zainuddin Monggilo, S.Pd 100 135 58 293
2. Pamasona 17 54 50 121
3. Drs. Basran Tadjuddin 10 86 62 158
4. Sarnia, SP 9 58 7 74
5. M. Aminuddin Silondae 89 175 54 318
6. Raniyati 6 13 8 27
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 293 594 276 1163
A 24 PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN 13 25 30 68
B 1. Drs. Muhammad Kasim 125 268 655 1048
2. Hj. Rusiawati Abunawas, SE 320 456 876 1652
3. Sakina Ahmad, SE 224 23 17 264
4. Drs. Abduyl Azis Teba 66 20 4 90
5. Drs. Abdul Munir 0 6 5 11
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 748 798 1587 3133
A 25 PARTAI DAMAI SEJAHTERA 13 2 2 17
B 1. Abd. Hamid Sokodang 13 7 13 33
2 Winner Agustinus Siregar, SH 37 47 3 87
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 63 56 18 137
A 26 PARTAI NASIONAL BENTENG KERAKYATAN INDONESIA 0 1 1 2
B 1. La Ode Murfain Ndibane 13 5 3 21
2. Sulaiman 2 1 5 8
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 15 7 9 31
A 27 PARTAI BULAN BINTANG 11 7 23 41
B 1. Hamili, SP 75 62 362 499
2. Waia 3 2 7 12
3. Firman Syah Amrin, SE 24 88 88 200
4. Ir. Haslipa 8 3 3 14
5. Rahmawati Nusi, S.Pd 5 9 6 20
6. Rais Gone, S.Kom 10 14 0 24
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 136 185 489 810
A 28 PARTAI DEMOKRASI INDONESIA PERJUANGAN 10 25 6 41
B 1. Siti Munadarma 103 336 67 506
2. Sulhir Taherong 1 13 9 23
3. Abdul Latif 8 2 23 33
4. Arni Haruna 32 6 5 43
5. La Ode Muh. Amir, SH 12 15 8 35
6 Zurisman Zakaria, S.Sos 3 16 2 21
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 169 413 120 702
A 29 PARTAI BINTANG REFORMASI 3 7 21 31
B 1. KH. La Ode Arqam Ali, BA 20 32 343 395
2. Yudhi Hariyanto 120 127 24 271
3. Hania, S.Ag 9 4 3 16
4 La Ode Amin Amane, SE 46 27 6 79
5 Muhammad Yunus 6 4 136 146
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 204 201 533 938
A 30 PARTAI PATRIOT 5 17 4 26
B 1. Irwan Sukma 122 516 108 746
2. Suparman 7 11 40 58
3. Erliyanti 1 2 3 6
4 Salman 2 3 1 6
5 Amran Kasim 6 10 4 20
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 143 559 160 862
A 31 PARTAI DEMOKRAT 238 250 157 645
B 1. Ir. Ilham Hamra 192 457 611 1260
2. Ali Rahman, S.Sos 617 319 130 1066
3. Intisari Zulkurnia 80 466 128 674
4. Nur Aisyah Rauf, SE 55 44 31 130
5. Abdul Madjid 111 48 5 164
6. St. Marhaeni 148 11 5 164
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B)1441 1595 1067 4103
A 32 PARTAI KASIH DEMOKRASI INDONESIA 9 7 3 19
B 1. Tandibayang, SH 75 108 29 212
2. Siti Badriyah 1 9 0 10
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 85 124 32 241
A 33 PARTAI INDONESIA SEJAHTERA 3 2 10 15
B 1. Hasril 35 26 836 897
2. Jufriadi 42 8 11 61
3 Hj. Nurbaya 0 0 32 32
4 Andi Rahim Syamsul 1 1 17 19
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 81 37 906 1024
A 34 PARTAI KEBANGKITAN NASIONAL ULAMA 11 6 1 18
B 1. Irwan Syamsuddin Herman, SE 439 71 40 550
2. Asmawiya 0 8 11 19
3. Idi Sutaji, S.Si 92 13 15 120
4. Iskandar, A.Md, ST 4 2 0 6
5 La Oli Malatih 14 2 51 67
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 560 102 118 780
A 41 PARTAI MERDEKA 1 2 5 8
B 1. Indrawati 21 1 50 72
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 22 3 55 80
A 42 PARTAI PERSATUAN NAHDLATUL UMMAH INDONESIA 1 3 5 9
B 1. Widiya Y. Saidin 28 88 15 131
2. Kusmawati 1 16 3 20
3. Armawanto, S.Th.I 8 5 4 17
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 38 112 27 177
A 43 PARTAI SARIKAT INDONESIA 2 1 0 3
B 1. Rosmiati Sahrun 119 12 1 132
2 Muh. Sarif 4 1 0 5
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B) 125 14 1 140
A 44 PARTAI BURUH 1 4 19 24
B 1. Hasanuddin, S.Pd 141 74 66 281
2. Sitti Hidjrana 1 1 3 5
3. Asriani 9 0 2 11
4. Munaria 3 0 4 7
5. Nani Saranani, S.Pd 9 4 5 18
JUMLAH PEROLEHAN SUARA (A + B)164 83 99 346
A. JUMLAH SUARA SAH CALON 9211 9929 10533 29673
B. JUMLAH SUARA TIDAK SAH CALON 329 420 684 1433
9,211 9,929 10,533
329 420 684
9,540 10,349 11,217
Rabu, 18 November 2009
Kawasan Konservasi pun Dijarah
Oleh Rustam
Cukong kayu rupanya tak puas mengarap habis hutan Sulawesi Tenggara. Sejumlah kawasan konservasi dan hutang lindung yang banyak menyimpan keanekaragaman hayati dan fauna yang bernilai ekonomi tinggi pun dibabat habis. Hutan gundul, tanah tandus dan sumber air mengering adalah dampak yang dihasilkan dari keserakahan itu.
Sulawesi Tenggara merupakan salah satu daerah trpois di Indonesia yang memiliki kawasan hutan yang cukup luas yakni 2.600.137 hekatare atau 68,20% di luar kawasan laut seluas 1.507.000 hekatare. Dari luasan hutan tersebut, 281.302 hektare atau 7,36 % berada pada kawasan konservasi yaitu Taman Swaka Marga Satwa Batikolo, Amolengo dan Tanjung Peropa, di luar Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW) yang memiliki luas 105.194 ha.
Selebihnya berada pada kawasan hutan lindung 1.061,270 ha (27,75%), hutan produksi terbatas seluas 417,701 ha (10,92%), hutan produksi 627,741 ha (16,42%),dan untuk hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 212,123 ha atau 5,55%.
Namun keberadaan kawasan hutan konservasi itu kini semakin terancam dan perlahan menyusut akibat ulah masyarakat yang mengambil dan menebang pohon secara tidak terkendali. Mereka menjadi kaki tangan yang dijadikan sapi perah para cukong kayu yang ada di daerah ini. Warga dengan leluasa menjarah kawasan hutan di bawah pengawasan aparat kehutanan dan instansi terkait lainnya.
Lihat saja TN Rawa Aopa dan Tanjung Peropah, kedua kawasan konservasi yang amat penting itu, merupakan sumber penyangga kehidupan bagi masyarakat di sekitarnya, yang kini sebagian hutan perawannya hilang termasuk aneka satwa dan keanekaragaman hayati bernilai tinggi lenyap seketika. Ironisnya, TN Rawa Aopa yang memiliki kekuatan hukum UU dan diakui oleh dunia Internasional melalui Konvensi Ramsar atau Ramsar Convention, kini sebagian wilayahnya dicaplok warga dan membentuk unit pemukiman dan meluas menjadi desa.
Pemerintah Kabupaten Konawe Selatan pun justru melegitimasi pembentukan desa pemekaran di dalam kawasan TN Rawa Aopa melalui rancangan peraturan daerah (Perda) tentang pembentukan/pemekaran desa.
TN Rawa Aopa tersebar di empat kabupaten yaitu Bombana 43.35 % yang meliputi daerah Lantari, Aneka Marga, Mataosu, Konawe Selatan 45.35 % meliputi Angata, Benua,Kalembuu, Tinanggea, Kolaka 12.19 % meliputi Tirawuta, Loes, Ladongi, Lambandia,Tangketada dan Watubangga, serta Konawe 5.93 % meliputi Lambuya dan Puriala.105.194 ha.
Tak hanya itu, kota Kendari juga mengambil jasa ekonomi TN Rawa Aopa dengan memanfaatkan air sungai Pohara yang sebagian sumber PDAM kota Kendari yang mengalir dari genangan air Rawa Aopa.
Penjarahan
Hasil monitoring selama 2009 oleh Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Sultra, mencatat telah terjadi penjarahan pada tiga kawasan konservasi Taman Suaka Alam, diantanya, Suaka Marga Satwa Batikolo, Amolengo dan Tanjung Peropa.
Hal itu disebabkan akibat pemberian izin pemanfaatan kayu yang berdekatan dengan Taman Konservasi, yang mengakibatkan penjarahan melebar masuk dalam kawasan konservasi. Akibatnya, ratusan pohon yang dilindungi nyaris tak terlihat lagi.
Kepala Seksi Konservasi Wilayah II BKSDA Sultra, Sakrianto Djawie, mengatakan, pemberian izin yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan (Dishut) setempat kepada pemegang Izin tidak melibatkan BKSDA Sultra, terutama dalam melakukan Cruizing pohon sehingga para pemegang izin dalam melakukan penebangan pohon yang telah dicruizing masuk dalam kawasan konservasi.
“Dinas Kehutanan setempat mestinya melibatkan kami dalam melakukan crusing, agar para pemegang izin penebangan atau pemanfaatan kayu tidak masuk dalam kawasan konservasi. Karena kita ketahui bersama, hutan yang bisa dimanfaatkan kayunya saat ini tidak sebanyak seperti yang ada di kawasan konservasi,” katanya.
Menurut Sakrianto, kawasan konservasi hanya 10 persen dari total hutan di Sultra, sehingga kawasan konservasi tersebut sangat penting untuk dipertahankan. Kawasan konservasi memiliki fungsi sebagai tempat perlindungan satwa, sebagai reservoir atau daerah resapan, termasuk benteng terakhir suatu kawasan hutan untuk kelangsungan kehidupan yang lebih panjang.
Jika dibiarkan hal ini terjadi, akan berakibat buruk terhadap satwa yang ada didalamnya maupun masyarakat yang berada disekitarnya. Pasalnya hutan penyangga akan hilang dan akhirnya mengalami degradasi potesnsi maupun kawasannya.
”Yang 10 persen saja yang kita pertahakan, yang lainnya biarlah dijadikan hutan produksi atau dimanfaatkan. Karena kalau semuanya dimanfaatkan kita tinggal tunggu bencana yang akan datang,” ujarnya.
Tapi Pemda tak perlu menunggu lama, dua izin Kuasa Pertambangan (KP) yakni PT. Ganesa Delta Permata dan PT. Sultra Utama Nikel, telah dikeluarkan oleh pemerintah Bombana. Kedua perusahaan itu mengantongi izin eksplorasi emas, yang sebagian wilayah konsesinya masuk di kawasan TN Rawa Aopa.
PT. Ganesa Delta Permata memiliki luas konsesi 8.227 Ha yang terletak di kecamatan Rarowatu Utara blok hutan Labubu, dan bendungan Langkowala dsk Resort Langkowala, Bombana, sedang PT. Sultra Utama Nikel memiliki luas konsesi 2.344 Ha yang terletak di Rarowatu Utara blok hutan Morengke, Lasada, Tiabite dsk Resort Poleang Laea, Bombana.
Kepala TN Rawa Aopa Khalik mengakui kedua perusahaan itu masuk tanpa sepengetahuan mereka. Ia memkinta pemerintah daerah dapat meninjau kembali wilayah konsesi kedua perusahan tersebut.
“Terus terang saja kami tidak pernah diberitahu. Semestinya kalau sudah masuk dalam wilayah Balai Taman Nasional harusnya dikoordinasikan kepada kami,” ujarnya.
Ancaman
Tak hanya penjarahan hasil hutan dan pencaplokan kawasan konservasi, ancaman yang paling mengerikan saat ini adalah tambang. Program Pemerintah Provinsi Sultra yang ingin menjadikan daerah ini sebagai pusat pertambangan nasional, telah mengancam keberadaan sejumlah kawasan konservasi dan hutan lindung di Sultra.
Guna mendukung program itu, gubernur Sultra Nur Alam telah mengajukan pengusulan penurunan status sejumlah kawasan hutan lindung menjadi hutan produksi seluas 21 ribu ha lebih kepada pemerintah pusat. Nur Alam menilai, kawasan hutan lindung dan konservasi banyak menyimpan deposit nikel, sehingga perlu dieksploitasi.
“Hutan kita terlalu luas. Kita mau mengurangi hanya sebagian kecil saja, ini kan juga untuk kepentingan mensejahterakan masyarakat Sultra,” kata Nur Alam dalam setiap kesempatannya.
Namun rencana penurunan status hutan lindung itu, menuai protes oleh sejumlah aktivitas dan akademisi.Direkrut Eksekutif Walhi Sultra Hartono menilai penurunan status sejumlah kawasan hutan lindung merupakan keserakahan pemerintah. Pemerintah harus memperhatikan resiko lingkungan dan ekologi, sosial dan budaya masyarakat.
“Apakah tidak cukup wilayah pertambangan yang saat ini telah diolah oleh pemerintah yang diberikan kepada para investor tambang. Kalau katanya untuk kesejahteraan masyarakat, mana buktinya, masyarakat jutsru tak pernah merasakan bahkan hanya menjadi obyek penderita dari kebijakan pemerintah yang tidak populis,” kata Hartono.
Hartono meminta kepada pemerintah pusat agar tidak menyetujui usulan tersebut. Pemerintah pusat harus jeli melihat kondisi rill yang akan terjadi nanti.
Rektor Unhalu Usman Rianse pada penandanganan MoU dengan pihak TN Rawa Aopa pada Februari lalu, mengatakan keberadaan TNRAW perlu disikapi dengan netral. Menurutnya, secara ekonomi ataupun kekayaan alam seperti tambang, hasil hutan yang ada di dalam taman nasional seharusnya diberi nilai nol. Sebab nilai nol ini merupakan strategi pengembangan taman nasional berbasis sosial budaya.
"Dalam Taman Nasional bersimbiosis-mutualisme. Apabila kayu di dalam Taman Nasional hilang, maka seluruh hasil alam yang berada di dalamnya akan lenyap juga. Mempertahankan Taman Nasional bukan berarti mempertahankan uang, melainkan untuk masa depan. Sebab kesalahan sekarang bisa jadi bahaya masa datang, sehingga jangan menyederhanakan masalah yang ada didepan kita," tukasnya.
Unhalu sepakat menjadikan TN Rawa Aopa sebagai “laboratorium” penelitian bagi mahasiswa dan dosen Fakultas MIPA dan jurusan ilmu kehutanan Unhalu. (***)
Cukong kayu rupanya tak puas mengarap habis hutan Sulawesi Tenggara. Sejumlah kawasan konservasi dan hutang lindung yang banyak menyimpan keanekaragaman hayati dan fauna yang bernilai ekonomi tinggi pun dibabat habis. Hutan gundul, tanah tandus dan sumber air mengering adalah dampak yang dihasilkan dari keserakahan itu.
Sulawesi Tenggara merupakan salah satu daerah trpois di Indonesia yang memiliki kawasan hutan yang cukup luas yakni 2.600.137 hekatare atau 68,20% di luar kawasan laut seluas 1.507.000 hekatare. Dari luasan hutan tersebut, 281.302 hektare atau 7,36 % berada pada kawasan konservasi yaitu Taman Swaka Marga Satwa Batikolo, Amolengo dan Tanjung Peropa, di luar Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW) yang memiliki luas 105.194 ha.
Selebihnya berada pada kawasan hutan lindung 1.061,270 ha (27,75%), hutan produksi terbatas seluas 417,701 ha (10,92%), hutan produksi 627,741 ha (16,42%),dan untuk hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 212,123 ha atau 5,55%.
Namun keberadaan kawasan hutan konservasi itu kini semakin terancam dan perlahan menyusut akibat ulah masyarakat yang mengambil dan menebang pohon secara tidak terkendali. Mereka menjadi kaki tangan yang dijadikan sapi perah para cukong kayu yang ada di daerah ini. Warga dengan leluasa menjarah kawasan hutan di bawah pengawasan aparat kehutanan dan instansi terkait lainnya.
Lihat saja TN Rawa Aopa dan Tanjung Peropah, kedua kawasan konservasi yang amat penting itu, merupakan sumber penyangga kehidupan bagi masyarakat di sekitarnya, yang kini sebagian hutan perawannya hilang termasuk aneka satwa dan keanekaragaman hayati bernilai tinggi lenyap seketika. Ironisnya, TN Rawa Aopa yang memiliki kekuatan hukum UU dan diakui oleh dunia Internasional melalui Konvensi Ramsar atau Ramsar Convention, kini sebagian wilayahnya dicaplok warga dan membentuk unit pemukiman dan meluas menjadi desa.
Pemerintah Kabupaten Konawe Selatan pun justru melegitimasi pembentukan desa pemekaran di dalam kawasan TN Rawa Aopa melalui rancangan peraturan daerah (Perda) tentang pembentukan/pemekaran desa.
TN Rawa Aopa tersebar di empat kabupaten yaitu Bombana 43.35 % yang meliputi daerah Lantari, Aneka Marga, Mataosu, Konawe Selatan 45.35 % meliputi Angata, Benua,Kalembuu, Tinanggea, Kolaka 12.19 % meliputi Tirawuta, Loes, Ladongi, Lambandia,Tangketada dan Watubangga, serta Konawe 5.93 % meliputi Lambuya dan Puriala.105.194 ha.
Tak hanya itu, kota Kendari juga mengambil jasa ekonomi TN Rawa Aopa dengan memanfaatkan air sungai Pohara yang sebagian sumber PDAM kota Kendari yang mengalir dari genangan air Rawa Aopa.
Penjarahan
Hasil monitoring selama 2009 oleh Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Sultra, mencatat telah terjadi penjarahan pada tiga kawasan konservasi Taman Suaka Alam, diantanya, Suaka Marga Satwa Batikolo, Amolengo dan Tanjung Peropa.
Hal itu disebabkan akibat pemberian izin pemanfaatan kayu yang berdekatan dengan Taman Konservasi, yang mengakibatkan penjarahan melebar masuk dalam kawasan konservasi. Akibatnya, ratusan pohon yang dilindungi nyaris tak terlihat lagi.
Kepala Seksi Konservasi Wilayah II BKSDA Sultra, Sakrianto Djawie, mengatakan, pemberian izin yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan (Dishut) setempat kepada pemegang Izin tidak melibatkan BKSDA Sultra, terutama dalam melakukan Cruizing pohon sehingga para pemegang izin dalam melakukan penebangan pohon yang telah dicruizing masuk dalam kawasan konservasi.
“Dinas Kehutanan setempat mestinya melibatkan kami dalam melakukan crusing, agar para pemegang izin penebangan atau pemanfaatan kayu tidak masuk dalam kawasan konservasi. Karena kita ketahui bersama, hutan yang bisa dimanfaatkan kayunya saat ini tidak sebanyak seperti yang ada di kawasan konservasi,” katanya.
Menurut Sakrianto, kawasan konservasi hanya 10 persen dari total hutan di Sultra, sehingga kawasan konservasi tersebut sangat penting untuk dipertahankan. Kawasan konservasi memiliki fungsi sebagai tempat perlindungan satwa, sebagai reservoir atau daerah resapan, termasuk benteng terakhir suatu kawasan hutan untuk kelangsungan kehidupan yang lebih panjang.
Jika dibiarkan hal ini terjadi, akan berakibat buruk terhadap satwa yang ada didalamnya maupun masyarakat yang berada disekitarnya. Pasalnya hutan penyangga akan hilang dan akhirnya mengalami degradasi potesnsi maupun kawasannya.
”Yang 10 persen saja yang kita pertahakan, yang lainnya biarlah dijadikan hutan produksi atau dimanfaatkan. Karena kalau semuanya dimanfaatkan kita tinggal tunggu bencana yang akan datang,” ujarnya.
Tapi Pemda tak perlu menunggu lama, dua izin Kuasa Pertambangan (KP) yakni PT. Ganesa Delta Permata dan PT. Sultra Utama Nikel, telah dikeluarkan oleh pemerintah Bombana. Kedua perusahaan itu mengantongi izin eksplorasi emas, yang sebagian wilayah konsesinya masuk di kawasan TN Rawa Aopa.
PT. Ganesa Delta Permata memiliki luas konsesi 8.227 Ha yang terletak di kecamatan Rarowatu Utara blok hutan Labubu, dan bendungan Langkowala dsk Resort Langkowala, Bombana, sedang PT. Sultra Utama Nikel memiliki luas konsesi 2.344 Ha yang terletak di Rarowatu Utara blok hutan Morengke, Lasada, Tiabite dsk Resort Poleang Laea, Bombana.
Kepala TN Rawa Aopa Khalik mengakui kedua perusahaan itu masuk tanpa sepengetahuan mereka. Ia memkinta pemerintah daerah dapat meninjau kembali wilayah konsesi kedua perusahan tersebut.
“Terus terang saja kami tidak pernah diberitahu. Semestinya kalau sudah masuk dalam wilayah Balai Taman Nasional harusnya dikoordinasikan kepada kami,” ujarnya.
Ancaman
Tak hanya penjarahan hasil hutan dan pencaplokan kawasan konservasi, ancaman yang paling mengerikan saat ini adalah tambang. Program Pemerintah Provinsi Sultra yang ingin menjadikan daerah ini sebagai pusat pertambangan nasional, telah mengancam keberadaan sejumlah kawasan konservasi dan hutan lindung di Sultra.
Guna mendukung program itu, gubernur Sultra Nur Alam telah mengajukan pengusulan penurunan status sejumlah kawasan hutan lindung menjadi hutan produksi seluas 21 ribu ha lebih kepada pemerintah pusat. Nur Alam menilai, kawasan hutan lindung dan konservasi banyak menyimpan deposit nikel, sehingga perlu dieksploitasi.
“Hutan kita terlalu luas. Kita mau mengurangi hanya sebagian kecil saja, ini kan juga untuk kepentingan mensejahterakan masyarakat Sultra,” kata Nur Alam dalam setiap kesempatannya.
Namun rencana penurunan status hutan lindung itu, menuai protes oleh sejumlah aktivitas dan akademisi.Direkrut Eksekutif Walhi Sultra Hartono menilai penurunan status sejumlah kawasan hutan lindung merupakan keserakahan pemerintah. Pemerintah harus memperhatikan resiko lingkungan dan ekologi, sosial dan budaya masyarakat.
“Apakah tidak cukup wilayah pertambangan yang saat ini telah diolah oleh pemerintah yang diberikan kepada para investor tambang. Kalau katanya untuk kesejahteraan masyarakat, mana buktinya, masyarakat jutsru tak pernah merasakan bahkan hanya menjadi obyek penderita dari kebijakan pemerintah yang tidak populis,” kata Hartono.
Hartono meminta kepada pemerintah pusat agar tidak menyetujui usulan tersebut. Pemerintah pusat harus jeli melihat kondisi rill yang akan terjadi nanti.
Rektor Unhalu Usman Rianse pada penandanganan MoU dengan pihak TN Rawa Aopa pada Februari lalu, mengatakan keberadaan TNRAW perlu disikapi dengan netral. Menurutnya, secara ekonomi ataupun kekayaan alam seperti tambang, hasil hutan yang ada di dalam taman nasional seharusnya diberi nilai nol. Sebab nilai nol ini merupakan strategi pengembangan taman nasional berbasis sosial budaya.
"Dalam Taman Nasional bersimbiosis-mutualisme. Apabila kayu di dalam Taman Nasional hilang, maka seluruh hasil alam yang berada di dalamnya akan lenyap juga. Mempertahankan Taman Nasional bukan berarti mempertahankan uang, melainkan untuk masa depan. Sebab kesalahan sekarang bisa jadi bahaya masa datang, sehingga jangan menyederhanakan masalah yang ada didepan kita," tukasnya.
Unhalu sepakat menjadikan TN Rawa Aopa sebagai “laboratorium” penelitian bagi mahasiswa dan dosen Fakultas MIPA dan jurusan ilmu kehutanan Unhalu. (***)
Merkuri, Momok yang Menakutkan di Bombana
Oleh Rustam
Masih ingat kasus penyakit Minamata yang menjangkiti warga di sekitar teluk Buyat Manado, Sulawesi Utara. Kasus ini sempat menghebohkan Manado karena diributkan dan diprotes oleh sejumlah NGO lokal, nasional dan Intrnasional akibat meninggalnya bocah berusia 5 bulan.
Minamata adalah penyakit gangguan sistem syaraf pusat yang disebabkan oleh keracunan metil merkuri atau air raksa (Hg). Menurut para ahli, gejala yang timbul adalah gangguan syaraf sensori: paraesthesia, kepekaan menurun dan sulit menggerakkan jari tangan dan kaki, penglihatan menyempit, daya pendengaran menurun, serta rasa nyeri pada lengan dan paha. Gangguan syaraf motorik: lemah, sulit berdiri, mudah jatuh, ataksia, tremor, gerakan lambat dan sulit bicara. gangguan lain: gangguan mental, sakit kepala dan hipersalivasi.
Minamata adalah nama sebuah teluk dengan kota kecil di Jepang. Kota Nelayan menghadap ke laut Siranul, Jepang ini, menjadi terkenal ke seluruh dunia. Karena lebih dari 3 ribu warga kota ini pernah menderita penyakit yang diakibatkan pencemaran logam raksa atau merkuri. Kasus ini terjadi pada dekade 1950 an lalu. Lebih dari 100 orang meninggal dunia.
Kasus serupa kini mengancam masyarakat Bombana Sulawesi Tenggara (Sultra). Ribuan pendulang dan belasan ribu masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi pendulangan terancam menerima dampak penambangan emas akibat penggunaan cairan merkuri yang ditengarai banyak digunakan oleh pendulang tradisional untuk memisahkan butiran emas bercampur tanah.
Hasil penelitian pada uji laboratorium yang dilakukan FPIK Unhalu pada 26 Oktober sampai 2 Nopember 2009, ditemukan kandungan merkuri yang cukup tinggi hingga 0,09 Mg/liter, melebihi ambang batas normal yakni 0,003 mg/liter untuk biota dan 0,002 miligram /liter untuk keperluan sehari hari seperti air minum, ini sesuai yang ditetapkan bakumutu MKLH.
Pengambilan sample dilakukan pada 18 Oktober 2009 pada empat lokasi yang berbeda yaitu station I sungai Langkowala dengan kadar 0,07 Mg/liter, statiun II aliran sungai Langkowala dengan kadar 0,26 Mg/liter, station III sungai Wumbubangka dengan kadar 0,41 Mg/liter dan station IV bendungan Langkowala dengan kadar 0,9 Mg/liter.
Dosen FPIK Unhalu Emiarti.S.Pi.M.Si yang terlibat langsung dalam penelitian tersebut, mengatakan, berdasarkan hasil sampel air yang masih tersisa di aliran sungai Langkowala dan sungai Wumbubangka, kadar air raksa atau merkuri di dalam air sudah sampai pada 0.09.
Sedangkan C-organik ( unsur hara ) untuk station I, 0,309, station II 0,303, station III 0,325 dan station IV 0,302. “ Hasil ini menunjukan kenaikan 100 kali atau sudah masuk kategori yang sangat berat, “ ujar Emmiarti
Namun Kepala Sub Bagian Pertambangan Umum Dinas Pertambangan Bombana Radjman membantah hasil temuan tersebut. Menurut dia, pihaknya baru saja dua pekan lalu menurunkan staf mengambil sample untuk diteliti pada lokasi PT. Panca Logam, dan pihaknya tidak menemukan kandungan merkuri.
Dekan FPIK Prof.Dr.Ir. La Ode Muhammad Aslan mengatakan hasil ini merupakan hal yang sangat memprihatinkan, Karena merkuri sangat berbahaya bagi kehidupan. Karena bisa mengakibatkan berbagai penyakit seperti kanker darah dan penyakit ini akan berlangsung sampai beberapa generasi turunan.
“Ini bisa menjadi kasus nasional, alangkah baiknya kita melihat bersama-sama pertambangan secara berimbang, kita harus memiliki tanggung jawab peduli pada lingkungan, untuk apa masyarakat menjadi kaya tapi sakit-sakitan“ ujar Aslan.
Seperti yang diketahui aliran sungai Langkowala dan Wumbubangka dipakai oleh masyarakat untuk areal pertanian dan usaha tambak ikan bandeng dan udang di dua kecamatan yakni kecamatan Lantari Jaya dan Rarowatu Utara.
Menurut Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan (Walhi) Sultra Hartono, jika kandungan merkuri pada air di sungai Langkowala dan Wumbubangka, maka ada sekitar 5 ribu hektare pertanian padi dan 900 hektare tambak udang dan ikan akan terencam tercemar.
“Kita bisa bayangkan kalau ini terjadi, maka bisa jadi tragedi kemanusiaan seperti yang terjadi di Jepang dan Buyat akan terulang di Bombana. Pemerintah daerah harus serius menyikapi ini dan bila perlu hentikan dulu penambangan sebelum memakan korban jiwa,” katanya.
Bahaya Merkuri
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sultra Amin Yohannis Apt.DMM.M.Kes mengatakan, mengkonsumsi makanan yang telah terkontaminasi dengan logam berat seperti Merkuri atau air raksa, dapat mengakibatkan berbagai penyakit barbahaya seperti kanker darah, kanker kulit, kebutaan, keracunan sampai meninggal dunia.
“Gejala awal biasanya terjadi pusing, mual-mual, hilang kesadaran, luka pada kulit seperti borok, bengkak, benjolan. Kadang kala ada ditemukan penyakit yang tidak diketahui penyebabnya, itu bisa saja disebabkan oleh merkuri, “ ujar Amin.
Terkait dengan hasil penelitian dari FKIP Unhalu tentang kandungna merkuri yang telah melewati ambang batas, Amin menyatakan sejak pertama kali pertambangan emas ini dibuka pihak Dinas Kesehatan Sultra telah menurunkan tim untuk melakukan pemantauan dan penyuluhan terkait bahaya pengunaan merkuri.
“Kami melakukan pemantauan dan penyuluhan kepada para penambang terkait masalah mercury, karena jika mercuri larut dalam air, kemudian air ini masuk kedalam laut, hasil laut seperti ikan dan kerang-kerangan pasti akan terkontaminasi, kemudian kita mengkonsumsi itu sangat berdampak pada kesehatan,” ujar Amin.
Menurut dia, penanganan masalah merkuri harus dilakukan terpadu lintas sektoral dan lintas program, karena jikalau tidak diatasi penecemaran ini akan semakin meluas dan semakin berbahaya. Ini bisa terjadi karena pengawasan yang sangat lemah dari pihak-pihak terkait.
Hentikan Aktivitas
Sejak pertama kali diberitakan Media Sultra pada 4 Nopember lalu, telah menimbulkan kecemasan dan reaksi oleh pejabat. Salah satunya adalah gubernur Sultra Nur Alam. Pejabat yang pro tambang ini menyatakan akan menutup perusahaan tambang emas yang terbukti menggunakan cairan merkuri dalam melakukan usahanya.
“Sekarang kami minta hasil penelitian Unhalu diserahkan kepada pemerintah sebagai bahan acuan untuk merekomendasikan penutupan aktivitas bagi perusahaan yang terbukti menggunakan cairan merkuri,” katanya.
Anggota DPRD Bombana dari partai Demokrat, Sahrun Gaus, mengatakan, pihak DPRD Bombana akan melakukan investigasi lanjutan terkait dengan hasil uji laboratorium Unhalu, dan jika terbukti pencemaran itu disebabkan oleh pertambangan rakyat atau perusahaan pertambangan (KP), maka pihaknya akan meminta kepada pemerintah untuk menutup perusahaan tersebut.
“Kami baru mengetahui dari media massa, belum mengetahui secara pasti. Namun jika data itu valid maka ini adalah persoalan yang sangat krusial, pihak DPRD akan melakukan investigasi lanjutan karena ini harus jelas, siapa yang menggunakannya, apakah dari pendulang rakyat ataukah dari perusahaan yang memiliki izin kuasa pertambangan, “ ujar Sahrun yang dihubungi via telepon selulernya.
Lanjut Sahrun, jika terbukti perusahaan yang melakukan pelanggaran maka perusahaan tersebut akan dilihat kembali dokumen Amdal yang diterbitkan. Karena ini menyangkut lingkungan dan kehidupan masyarakat. “Jika terbukti pencemaran ini dilakukan oleh perusahaan, maka Amdal yang dibuat itu menipu,” tegas Sahrun. (***)
Masih ingat kasus penyakit Minamata yang menjangkiti warga di sekitar teluk Buyat Manado, Sulawesi Utara. Kasus ini sempat menghebohkan Manado karena diributkan dan diprotes oleh sejumlah NGO lokal, nasional dan Intrnasional akibat meninggalnya bocah berusia 5 bulan.
Minamata adalah penyakit gangguan sistem syaraf pusat yang disebabkan oleh keracunan metil merkuri atau air raksa (Hg). Menurut para ahli, gejala yang timbul adalah gangguan syaraf sensori: paraesthesia, kepekaan menurun dan sulit menggerakkan jari tangan dan kaki, penglihatan menyempit, daya pendengaran menurun, serta rasa nyeri pada lengan dan paha. Gangguan syaraf motorik: lemah, sulit berdiri, mudah jatuh, ataksia, tremor, gerakan lambat dan sulit bicara. gangguan lain: gangguan mental, sakit kepala dan hipersalivasi.
Minamata adalah nama sebuah teluk dengan kota kecil di Jepang. Kota Nelayan menghadap ke laut Siranul, Jepang ini, menjadi terkenal ke seluruh dunia. Karena lebih dari 3 ribu warga kota ini pernah menderita penyakit yang diakibatkan pencemaran logam raksa atau merkuri. Kasus ini terjadi pada dekade 1950 an lalu. Lebih dari 100 orang meninggal dunia.
Kasus serupa kini mengancam masyarakat Bombana Sulawesi Tenggara (Sultra). Ribuan pendulang dan belasan ribu masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi pendulangan terancam menerima dampak penambangan emas akibat penggunaan cairan merkuri yang ditengarai banyak digunakan oleh pendulang tradisional untuk memisahkan butiran emas bercampur tanah.
Hasil penelitian pada uji laboratorium yang dilakukan FPIK Unhalu pada 26 Oktober sampai 2 Nopember 2009, ditemukan kandungan merkuri yang cukup tinggi hingga 0,09 Mg/liter, melebihi ambang batas normal yakni 0,003 mg/liter untuk biota dan 0,002 miligram /liter untuk keperluan sehari hari seperti air minum, ini sesuai yang ditetapkan bakumutu MKLH.
Pengambilan sample dilakukan pada 18 Oktober 2009 pada empat lokasi yang berbeda yaitu station I sungai Langkowala dengan kadar 0,07 Mg/liter, statiun II aliran sungai Langkowala dengan kadar 0,26 Mg/liter, station III sungai Wumbubangka dengan kadar 0,41 Mg/liter dan station IV bendungan Langkowala dengan kadar 0,9 Mg/liter.
Dosen FPIK Unhalu Emiarti.S.Pi.M.Si yang terlibat langsung dalam penelitian tersebut, mengatakan, berdasarkan hasil sampel air yang masih tersisa di aliran sungai Langkowala dan sungai Wumbubangka, kadar air raksa atau merkuri di dalam air sudah sampai pada 0.09.
Sedangkan C-organik ( unsur hara ) untuk station I, 0,309, station II 0,303, station III 0,325 dan station IV 0,302. “ Hasil ini menunjukan kenaikan 100 kali atau sudah masuk kategori yang sangat berat, “ ujar Emmiarti
Namun Kepala Sub Bagian Pertambangan Umum Dinas Pertambangan Bombana Radjman membantah hasil temuan tersebut. Menurut dia, pihaknya baru saja dua pekan lalu menurunkan staf mengambil sample untuk diteliti pada lokasi PT. Panca Logam, dan pihaknya tidak menemukan kandungan merkuri.
Dekan FPIK Prof.Dr.Ir. La Ode Muhammad Aslan mengatakan hasil ini merupakan hal yang sangat memprihatinkan, Karena merkuri sangat berbahaya bagi kehidupan. Karena bisa mengakibatkan berbagai penyakit seperti kanker darah dan penyakit ini akan berlangsung sampai beberapa generasi turunan.
“Ini bisa menjadi kasus nasional, alangkah baiknya kita melihat bersama-sama pertambangan secara berimbang, kita harus memiliki tanggung jawab peduli pada lingkungan, untuk apa masyarakat menjadi kaya tapi sakit-sakitan“ ujar Aslan.
Seperti yang diketahui aliran sungai Langkowala dan Wumbubangka dipakai oleh masyarakat untuk areal pertanian dan usaha tambak ikan bandeng dan udang di dua kecamatan yakni kecamatan Lantari Jaya dan Rarowatu Utara.
Menurut Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan (Walhi) Sultra Hartono, jika kandungan merkuri pada air di sungai Langkowala dan Wumbubangka, maka ada sekitar 5 ribu hektare pertanian padi dan 900 hektare tambak udang dan ikan akan terencam tercemar.
“Kita bisa bayangkan kalau ini terjadi, maka bisa jadi tragedi kemanusiaan seperti yang terjadi di Jepang dan Buyat akan terulang di Bombana. Pemerintah daerah harus serius menyikapi ini dan bila perlu hentikan dulu penambangan sebelum memakan korban jiwa,” katanya.
Bahaya Merkuri
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sultra Amin Yohannis Apt.DMM.M.Kes mengatakan, mengkonsumsi makanan yang telah terkontaminasi dengan logam berat seperti Merkuri atau air raksa, dapat mengakibatkan berbagai penyakit barbahaya seperti kanker darah, kanker kulit, kebutaan, keracunan sampai meninggal dunia.
“Gejala awal biasanya terjadi pusing, mual-mual, hilang kesadaran, luka pada kulit seperti borok, bengkak, benjolan. Kadang kala ada ditemukan penyakit yang tidak diketahui penyebabnya, itu bisa saja disebabkan oleh merkuri, “ ujar Amin.
Terkait dengan hasil penelitian dari FKIP Unhalu tentang kandungna merkuri yang telah melewati ambang batas, Amin menyatakan sejak pertama kali pertambangan emas ini dibuka pihak Dinas Kesehatan Sultra telah menurunkan tim untuk melakukan pemantauan dan penyuluhan terkait bahaya pengunaan merkuri.
“Kami melakukan pemantauan dan penyuluhan kepada para penambang terkait masalah mercury, karena jika mercuri larut dalam air, kemudian air ini masuk kedalam laut, hasil laut seperti ikan dan kerang-kerangan pasti akan terkontaminasi, kemudian kita mengkonsumsi itu sangat berdampak pada kesehatan,” ujar Amin.
Menurut dia, penanganan masalah merkuri harus dilakukan terpadu lintas sektoral dan lintas program, karena jikalau tidak diatasi penecemaran ini akan semakin meluas dan semakin berbahaya. Ini bisa terjadi karena pengawasan yang sangat lemah dari pihak-pihak terkait.
Hentikan Aktivitas
Sejak pertama kali diberitakan Media Sultra pada 4 Nopember lalu, telah menimbulkan kecemasan dan reaksi oleh pejabat. Salah satunya adalah gubernur Sultra Nur Alam. Pejabat yang pro tambang ini menyatakan akan menutup perusahaan tambang emas yang terbukti menggunakan cairan merkuri dalam melakukan usahanya.
“Sekarang kami minta hasil penelitian Unhalu diserahkan kepada pemerintah sebagai bahan acuan untuk merekomendasikan penutupan aktivitas bagi perusahaan yang terbukti menggunakan cairan merkuri,” katanya.
Anggota DPRD Bombana dari partai Demokrat, Sahrun Gaus, mengatakan, pihak DPRD Bombana akan melakukan investigasi lanjutan terkait dengan hasil uji laboratorium Unhalu, dan jika terbukti pencemaran itu disebabkan oleh pertambangan rakyat atau perusahaan pertambangan (KP), maka pihaknya akan meminta kepada pemerintah untuk menutup perusahaan tersebut.
“Kami baru mengetahui dari media massa, belum mengetahui secara pasti. Namun jika data itu valid maka ini adalah persoalan yang sangat krusial, pihak DPRD akan melakukan investigasi lanjutan karena ini harus jelas, siapa yang menggunakannya, apakah dari pendulang rakyat ataukah dari perusahaan yang memiliki izin kuasa pertambangan, “ ujar Sahrun yang dihubungi via telepon selulernya.
Lanjut Sahrun, jika terbukti perusahaan yang melakukan pelanggaran maka perusahaan tersebut akan dilihat kembali dokumen Amdal yang diterbitkan. Karena ini menyangkut lingkungan dan kehidupan masyarakat. “Jika terbukti pencemaran ini dilakukan oleh perusahaan, maka Amdal yang dibuat itu menipu,” tegas Sahrun. (***)
Kamis, 05 November 2009
Primadona Tapi tidak Mensejahterakan
Oleh Rustam
Peruk bumi Sultra kaya akan kandungan tambang seperti nikel, emas, aspal, mangan dan bauksit. Pemerintah Provinsi Sultra memperkirakan nilai ekonomi potensi sumberdaya tambang Sultra seperti nikel dalam bentuk ore deposit sebanyak 97,4 miliar ton, aspal curah deposist 3,8 miliar dan emas diperkirakan mencapai 1,125 juta ton. Jika dirupiahkan melebihi Rp.300 trilun lebih.
Potensi tersebut tersebar pada kawasan hutan seluas 481.741,61 ha yang tersebar di seluruh wilayah kabupaten kota minus Wakatobi dan kota Kendari. Itulah sebabnyak Sultra menjadi incaran bagi banyak perusahan tambang, mulai kelas kakap hingga sekelas ‘ikan teri’. Dengan hitungan perkiraan tersebut, pemerintah melalui gagasan gubernur Nur Alam berkeinginan kuat menjadikan daerah bumi Anoa, julukan daerah Sultra sebagai pusat pertambangan nasional.
Upaya mencapai cita-cita itu, Pemprov Sultra akan melakukan revisi terhadap tata ruang. Dalam rencana tata ruang itu, Pemprov Sultra akan mengusulkan penurunan atau rasionalisasi sejumlah kawasan hutan lindung termasuk hutan koservasi ke pusat. “Hutan kita terlalu luas. Sementara yang kita manfaatkan sedikit sekali,” kata Nur Alam dalam setiap kesempatan ketika berbicara soal tambang.
Menurut Nur Alam, jika potensi tersebut digarap secara maksimal maka akan menurunkan angka kemiskinan dan tercapainya masyarakat yang sejahtera. Keiiginan Nur Alam tersebut sebagai salah satu upaya meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) pada sektor ini. Namun keinginan itu belum terwujud. Dari 10 kabupaten/kota yang memiliki kawasan pertambangan, tak satupun daerah yang mencapai target pendapatan, bahkan jauh dari yang diharapkan.
Pemerintah berdalih, tidak tercapainya target pada sektor pertambangan disebabkan anjloknya harga nikel di pasaran dunia. Selain itu, masih banyak Kuasa Pertambangan (KP) yang belum beroperasi.
Bahkan pendapatan pada sektor ini masih sangat kecil. Kalah dengan hasil dan kontribusi sektor pertanian dan perkebunan yang selama ini menjadi pekerjaan sebagian besar masyarakat Sultra. Tak ada angka pasti kontribusi kedua sektor tersebut yang selama ini menjadi andalan, namun hasil kajian ekonomi Sultra pada triwulan II yang dilakukan Kantor Bank Indonesia (KBI) Kendari beberapa waktu lalu, pertanian, perdagangan adalah pembentuk Pendapatan Demestik Ragional Bruto (PDRB) ekonomi Sultra saat ini.
Ditentang
Tapi upaya pemerintah menurunkan status sejumlah kawasan hutan lindung mendapat reaksi dan protes dari sejumlah aktivis lingkungan dan akademisi. Mereka menganggap penurunan status hutan lindung akan mengancam keberlangsungan ekosistem.
Direktur Eksekutif Walhi Sultra, Hartono, mengatakan dengan merusak ekossitem akan banyak aspek yang berubah seperti aspek social, akan banyak warga yang kehilangan pekerjaan dan beralih menjadi buruh akibat wilayah kelola masyarakat semakin berkurang.
Dari sisi lingkungan, semakin berkurangnya atau bahkan tidak ada lagi daerah penyangga air untuk mencegah kekeringan atau cadangan sumber air untuk jangka panjang. Kondisi terburuk adalah terjadinya banjir dan naiknya suhu akibat hilangka funsi hutan.
“Kami mengingatkan kepada pemerintah daerah agar tidak melakukan penurunan status pada kawasan hutan lindung. Jangan sampai alasan untuk mensejahterakan masyarakat tapi sebaliknya kemiskinan yang diperoleh,” katanya.
Ir. Utama Pangeran, pembantu dekan FPIK Unhalu dalam pandangannya mengatakan, kebijakan pemerintah daerah untuk mengelola sumber daya alam sebaiknya perpatokan pada pendekatan ekologi, jangan hanya mengedepankan pendekatan ekonomi.
“Saya melihat pemerintah hanya menghitung nilai ekonomi pada sumber daya alam yang akan dieksploitasi, tapi tidak menghitung secara keseluruh apa yang ada disekelilingnya, seperti jasa lingkungan, nilai sosial dan budaya dan beberapa nilai ekonomi lainnya,” ujarnya.
Kemiskinan
Tapi apa yang terjadi. Ditengah maraknya aktivitas tambang, gundulnya kawasan hutan, justru mendatangkan kemiskinan bagi warga terutama di sekitar wilayah pertambangan. Desa Tambea, kecamatan Kolaka adalah satu dari sekian banyak desa yang kini warganya hidup dengan kemiskinan. Padahal mereka tinggal tak jauh dari pabrik PT. Antam Tbk, kira-kira 3 kilo meter dari lokasi pabrik pemurnian nikel.
Kemiskinan itu harus dipikul oleh ribuan warga desa Tambea dan sekitarnya akibat pendapatan mereka dari hasil tangkapan ikan, budidaya teripang dan rumput laut menurun bahkan hilang akibat tercemarnya laut di sekitar mereka. Pencemaran itu berusumber dari cekdam Antam yang bobol pada beberapa tahun silam.
Ancaman kemiskinan kini juga menghantui masyarakat kelurahan Lambela, Donggala, kecamatan Kabaena Timur. Mayoritas nelayan dan petani rumput laut mulai meributkan kehadiran Kuasa Pertambangan PT. Billy, yang mulai melakukan eksploitasi pada 2008 lalu. Akibat aktivitas di atas pemukiman warga, pantai dan anak-anak sungai tercemar akibat lumpur berwarna kemerahan yang merebes.
Akibatnya warga protes berunjuk rasa di kantor PT. Billy. Kasus itu terjadi pada 2008. Yang tak kalah menderitanya saat ini adalah warga kecamatan Lantari Jaya dan Rarowatu Utara. Akibat akitvitas pertambangan emas sejak 2008 lalu, warga harus menanggung beban hidup yang cukup tinggi. Para petani di sini juga tak bisa menggarap sawahnya air bendungan dari Langkowala tehenti akibat dibendung oleh salah satu perusahaan tambang. (***)
Peruk bumi Sultra kaya akan kandungan tambang seperti nikel, emas, aspal, mangan dan bauksit. Pemerintah Provinsi Sultra memperkirakan nilai ekonomi potensi sumberdaya tambang Sultra seperti nikel dalam bentuk ore deposit sebanyak 97,4 miliar ton, aspal curah deposist 3,8 miliar dan emas diperkirakan mencapai 1,125 juta ton. Jika dirupiahkan melebihi Rp.300 trilun lebih.
Potensi tersebut tersebar pada kawasan hutan seluas 481.741,61 ha yang tersebar di seluruh wilayah kabupaten kota minus Wakatobi dan kota Kendari. Itulah sebabnyak Sultra menjadi incaran bagi banyak perusahan tambang, mulai kelas kakap hingga sekelas ‘ikan teri’. Dengan hitungan perkiraan tersebut, pemerintah melalui gagasan gubernur Nur Alam berkeinginan kuat menjadikan daerah bumi Anoa, julukan daerah Sultra sebagai pusat pertambangan nasional.
Upaya mencapai cita-cita itu, Pemprov Sultra akan melakukan revisi terhadap tata ruang. Dalam rencana tata ruang itu, Pemprov Sultra akan mengusulkan penurunan atau rasionalisasi sejumlah kawasan hutan lindung termasuk hutan koservasi ke pusat. “Hutan kita terlalu luas. Sementara yang kita manfaatkan sedikit sekali,” kata Nur Alam dalam setiap kesempatan ketika berbicara soal tambang.
Menurut Nur Alam, jika potensi tersebut digarap secara maksimal maka akan menurunkan angka kemiskinan dan tercapainya masyarakat yang sejahtera. Keiiginan Nur Alam tersebut sebagai salah satu upaya meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) pada sektor ini. Namun keinginan itu belum terwujud. Dari 10 kabupaten/kota yang memiliki kawasan pertambangan, tak satupun daerah yang mencapai target pendapatan, bahkan jauh dari yang diharapkan.
Pemerintah berdalih, tidak tercapainya target pada sektor pertambangan disebabkan anjloknya harga nikel di pasaran dunia. Selain itu, masih banyak Kuasa Pertambangan (KP) yang belum beroperasi.
Bahkan pendapatan pada sektor ini masih sangat kecil. Kalah dengan hasil dan kontribusi sektor pertanian dan perkebunan yang selama ini menjadi pekerjaan sebagian besar masyarakat Sultra. Tak ada angka pasti kontribusi kedua sektor tersebut yang selama ini menjadi andalan, namun hasil kajian ekonomi Sultra pada triwulan II yang dilakukan Kantor Bank Indonesia (KBI) Kendari beberapa waktu lalu, pertanian, perdagangan adalah pembentuk Pendapatan Demestik Ragional Bruto (PDRB) ekonomi Sultra saat ini.
Ditentang
Tapi upaya pemerintah menurunkan status sejumlah kawasan hutan lindung mendapat reaksi dan protes dari sejumlah aktivis lingkungan dan akademisi. Mereka menganggap penurunan status hutan lindung akan mengancam keberlangsungan ekosistem.
Direktur Eksekutif Walhi Sultra, Hartono, mengatakan dengan merusak ekossitem akan banyak aspek yang berubah seperti aspek social, akan banyak warga yang kehilangan pekerjaan dan beralih menjadi buruh akibat wilayah kelola masyarakat semakin berkurang.
Dari sisi lingkungan, semakin berkurangnya atau bahkan tidak ada lagi daerah penyangga air untuk mencegah kekeringan atau cadangan sumber air untuk jangka panjang. Kondisi terburuk adalah terjadinya banjir dan naiknya suhu akibat hilangka funsi hutan.
“Kami mengingatkan kepada pemerintah daerah agar tidak melakukan penurunan status pada kawasan hutan lindung. Jangan sampai alasan untuk mensejahterakan masyarakat tapi sebaliknya kemiskinan yang diperoleh,” katanya.
Ir. Utama Pangeran, pembantu dekan FPIK Unhalu dalam pandangannya mengatakan, kebijakan pemerintah daerah untuk mengelola sumber daya alam sebaiknya perpatokan pada pendekatan ekologi, jangan hanya mengedepankan pendekatan ekonomi.
“Saya melihat pemerintah hanya menghitung nilai ekonomi pada sumber daya alam yang akan dieksploitasi, tapi tidak menghitung secara keseluruh apa yang ada disekelilingnya, seperti jasa lingkungan, nilai sosial dan budaya dan beberapa nilai ekonomi lainnya,” ujarnya.
Kemiskinan
Tapi apa yang terjadi. Ditengah maraknya aktivitas tambang, gundulnya kawasan hutan, justru mendatangkan kemiskinan bagi warga terutama di sekitar wilayah pertambangan. Desa Tambea, kecamatan Kolaka adalah satu dari sekian banyak desa yang kini warganya hidup dengan kemiskinan. Padahal mereka tinggal tak jauh dari pabrik PT. Antam Tbk, kira-kira 3 kilo meter dari lokasi pabrik pemurnian nikel.
Kemiskinan itu harus dipikul oleh ribuan warga desa Tambea dan sekitarnya akibat pendapatan mereka dari hasil tangkapan ikan, budidaya teripang dan rumput laut menurun bahkan hilang akibat tercemarnya laut di sekitar mereka. Pencemaran itu berusumber dari cekdam Antam yang bobol pada beberapa tahun silam.
Ancaman kemiskinan kini juga menghantui masyarakat kelurahan Lambela, Donggala, kecamatan Kabaena Timur. Mayoritas nelayan dan petani rumput laut mulai meributkan kehadiran Kuasa Pertambangan PT. Billy, yang mulai melakukan eksploitasi pada 2008 lalu. Akibat aktivitas di atas pemukiman warga, pantai dan anak-anak sungai tercemar akibat lumpur berwarna kemerahan yang merebes.
Akibatnya warga protes berunjuk rasa di kantor PT. Billy. Kasus itu terjadi pada 2008. Yang tak kalah menderitanya saat ini adalah warga kecamatan Lantari Jaya dan Rarowatu Utara. Akibat akitvitas pertambangan emas sejak 2008 lalu, warga harus menanggung beban hidup yang cukup tinggi. Para petani di sini juga tak bisa menggarap sawahnya air bendungan dari Langkowala tehenti akibat dibendung oleh salah satu perusahaan tambang. (***)
Jumat, 30 Oktober 2009
Sultra Dilanda Kekeringan
Akibat musim panas yang berkepanjangan, seluruh wilayah di Sulawesi Tenggara (Sultra) mengalami kekeringan dan krisis air bersih. Dampak yang paling terasa adalah pada sektor pertanian pangan khususnya tanaman padi dan jagung.
Data Dinas Pertanian Provinsi dan sejumlah kabupaten di Sultra menyebutkan, jumlah sawah yang mengalami kekeringan hingga Oktober, khususnya pada sentra produksi beras yaitu Konawe, Kolaka, Konawe Selatan, Bombana dan Baubau sudah mencapai 17.040 ha. Wilayah yang mengalami kekeringan terparah terjadi di kabupaten Bombana. Dari 7.000 ha sawah di kecamatan Lantari Jaya dan Rarowatu Utara, sekitar 5.000 ha kering.
Sementara kabupaten Buton dan Konawe Utara dan Muna, hingga saat ini belum melaporkan jumlah sawah yang mengalami kekeringan. Areal persawahan yang kering diperkirakan mencapai puluhan ribu ha.
Akibat kekeringan ini, Sultra terancam mengimpor beras dari luar daerah dalam jumlah yang cukup besar. Dinas Pertanian Provinsi Sultra memperkirakan produksi padi tahun ini hanya berkisar 376.580 ton atau turun hingga 6 persen dibandingkan hasil prduksi 2008 yang mencapai 405.256 ton.Sedangkan tanaman jagung, diperkirakan menurun menjadi 69 ribu ton dari 93.064 ton, yang diramalkan Dinas Pertanian.
“Penurunan produksi padi banyak juga yang diakibatkan karena ada kurang lebih 2.008 hektar sawah yang puso , “ kata Akbar, Kabid Tanaman Pangan Dinas Pertanian Sultra, Selasa (27.10). Dari 2.008 sawah puso, terluas terjadi Konawe 1.151 ha, Kolaka 427 hektar, Konawe 425 hektar dan kota Kendari seluas 5 ha.
Krisis Air
Kekeringan juga berdampak pada ketersediaan air bersih. Hampir seluruh wilayah di Sultra mengalami krisis air bersih, seperti di kecamatan Soropia, Konawe, Poasia, kota Kendari, sebagian besar wilayah Bombana khususnya di kecamatan Lantari Jaya dan Rarowatu Utara. Akibat krisis ini, warga kesulitan memperoleh air bersih untuk kebutuhan air minum dan memasak. Kalaupun ada, warga harus rela menempuh 1 km untuk memperolehnya.
Hal ini dialami oleh sebagian besar warga di Soropia, “Kami terpaksa mengangkat air meskipun jauh dari rumah. Air dari pipa kadang mengalir tetapi sedikit airnya, itupun nanti mengalir pada saat tengah malam. Tapi juga tidak banyak dan sebgain tidak kebagian,” tutur Jannah, salah satu warga desa Sawapudu, Soropia.
Ada juga yang menggunakan air galon untuk minum dan memasak. Seperti yang dialami Haris, warga kelurahan Tobuuha, Kendari. Ia terpaksa menggunakan air gallon Karena sumur milikinya sudah lama kering. Untuk kebutuhan mandi dan mencuci, Haris dan warga lainnya masih menggunakan sisa-sisa air sumur yang airnya berwarna kekuning-kuningan.
Penurunan debit air yang cukup drastis di kota Kendari dan sekitarnya diakui oleh Kepala Seksi Air Tanah, Dinas Energi dan Sumber Daya Miniral Provinsi Sultra, Zulkarnaen. Menurut dia, penurunan debit air salah satunya dikarenakan kemarau panjang. Tetapi penyebab utamanya adalah akibat aktivitas penebangan hutan di sekitar hulu dan hilir sungai yang selama ini menjadi daerah penyangga atau resapan air. Akibatnya tanah tidak berfungsi lagi sebagai penyimpan dan penyerap air.
“Termasuk juga penambangan serta banyaknya sumur bor yang tidak beraturan. Semestinya jarak sumur diaatur, tapi ini tidak dilakukan,” katanya.
Sementara itu kepala Badan Metereologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Kendari, Addi Setiadi, memperkirakan sebagian besar wilayah Sultra akan terus mengalami kekeringan hingga Maret 2009. Jika ramalan cuaca itu tepat, jumlah sawah yang kering akan lebih besar. Begitu pula krisis air akan semakin parah. (Rustam)
Data Dinas Pertanian Provinsi dan sejumlah kabupaten di Sultra menyebutkan, jumlah sawah yang mengalami kekeringan hingga Oktober, khususnya pada sentra produksi beras yaitu Konawe, Kolaka, Konawe Selatan, Bombana dan Baubau sudah mencapai 17.040 ha. Wilayah yang mengalami kekeringan terparah terjadi di kabupaten Bombana. Dari 7.000 ha sawah di kecamatan Lantari Jaya dan Rarowatu Utara, sekitar 5.000 ha kering.
Sementara kabupaten Buton dan Konawe Utara dan Muna, hingga saat ini belum melaporkan jumlah sawah yang mengalami kekeringan. Areal persawahan yang kering diperkirakan mencapai puluhan ribu ha.
Akibat kekeringan ini, Sultra terancam mengimpor beras dari luar daerah dalam jumlah yang cukup besar. Dinas Pertanian Provinsi Sultra memperkirakan produksi padi tahun ini hanya berkisar 376.580 ton atau turun hingga 6 persen dibandingkan hasil prduksi 2008 yang mencapai 405.256 ton.Sedangkan tanaman jagung, diperkirakan menurun menjadi 69 ribu ton dari 93.064 ton, yang diramalkan Dinas Pertanian.
“Penurunan produksi padi banyak juga yang diakibatkan karena ada kurang lebih 2.008 hektar sawah yang puso , “ kata Akbar, Kabid Tanaman Pangan Dinas Pertanian Sultra, Selasa (27.10). Dari 2.008 sawah puso, terluas terjadi Konawe 1.151 ha, Kolaka 427 hektar, Konawe 425 hektar dan kota Kendari seluas 5 ha.
Krisis Air
Kekeringan juga berdampak pada ketersediaan air bersih. Hampir seluruh wilayah di Sultra mengalami krisis air bersih, seperti di kecamatan Soropia, Konawe, Poasia, kota Kendari, sebagian besar wilayah Bombana khususnya di kecamatan Lantari Jaya dan Rarowatu Utara. Akibat krisis ini, warga kesulitan memperoleh air bersih untuk kebutuhan air minum dan memasak. Kalaupun ada, warga harus rela menempuh 1 km untuk memperolehnya.
Hal ini dialami oleh sebagian besar warga di Soropia, “Kami terpaksa mengangkat air meskipun jauh dari rumah. Air dari pipa kadang mengalir tetapi sedikit airnya, itupun nanti mengalir pada saat tengah malam. Tapi juga tidak banyak dan sebgain tidak kebagian,” tutur Jannah, salah satu warga desa Sawapudu, Soropia.
Ada juga yang menggunakan air galon untuk minum dan memasak. Seperti yang dialami Haris, warga kelurahan Tobuuha, Kendari. Ia terpaksa menggunakan air gallon Karena sumur milikinya sudah lama kering. Untuk kebutuhan mandi dan mencuci, Haris dan warga lainnya masih menggunakan sisa-sisa air sumur yang airnya berwarna kekuning-kuningan.
Penurunan debit air yang cukup drastis di kota Kendari dan sekitarnya diakui oleh Kepala Seksi Air Tanah, Dinas Energi dan Sumber Daya Miniral Provinsi Sultra, Zulkarnaen. Menurut dia, penurunan debit air salah satunya dikarenakan kemarau panjang. Tetapi penyebab utamanya adalah akibat aktivitas penebangan hutan di sekitar hulu dan hilir sungai yang selama ini menjadi daerah penyangga atau resapan air. Akibatnya tanah tidak berfungsi lagi sebagai penyimpan dan penyerap air.
“Termasuk juga penambangan serta banyaknya sumur bor yang tidak beraturan. Semestinya jarak sumur diaatur, tapi ini tidak dilakukan,” katanya.
Sementara itu kepala Badan Metereologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Kendari, Addi Setiadi, memperkirakan sebagian besar wilayah Sultra akan terus mengalami kekeringan hingga Maret 2009. Jika ramalan cuaca itu tepat, jumlah sawah yang kering akan lebih besar. Begitu pula krisis air akan semakin parah. (Rustam)
Jumat, 23 Oktober 2009
Krisis Air di Tengah Mengkilapnya Emas Bombana
Ditemukannya emas Bombana pada pertengahan tahun 2008 telah membawah berkah bagi banyak orang. Tapi di tengah mengkilapnya emas yang konon kabarnya memiliki kadar 90 persen lebih, kedua tertinggi di dunia setelah Negara di Timur Tengah, timbulah kehancuran lingkungan, kriminal, penyakit dan tingginya biaya hidup yang harus dipikul oleh sebagian besar masyarakat Bombana.
Oleh Merlyn dan Rustam
Perjalanan dimulai, kami disambut dengan kondisi jalan yang rusak dan berdebu. Sepanjang mata memandang yang ada hanyalah sawah yang menguning, tanah kering dan ternak sapi yang mencari makan. Masyarakat lebih banyak berada di dalam rumah, karena hampir kami tidak melihat aktivitas pertanian seperti menggarap sawah yang dilakukan oleh warga.
Pasca penemuan logam mulia kurang lebih satu tahun itu, lubang-lubang mengaga dengan diameter yang cukup lebar dan dalam dapat dijumpai sepanjang areal pendulangan. Ada pula lubang kecil yang biasa disebut “lubang tikus”. Lubang kecil ini telah merenggut banyak nyawa pendulang.
Hadirnya sejumlah Kuasa Pertambangan (KP) semakin memperparah lingkungan. krisis air pun kini melanda sejumlah daerah di Bombana, seperti di kecamatan Lantari Jaya dan Rarowatu Utara. Ribuan hektar sawah di sini kering. Sumur bor yang selama ini dijadikan cadangan sumber air pada musim kemarau untuk mengairi sawah ataupun untuk kebutuhan sehari-hari, kini terancam kering.
Rusaknya sejumlah sungai di daerah itu, seperti yang terlihat di aliran sungai Langkowala, yang alirannya berbatasan langsung dengan daerah konservasi Tanam Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW), mungkin saat ini sudah tidak tepat lagi disebut sebagai sungai karena hampir tidak ada air lagi yang mengalir. Kalaupun ada, hanya sedikit sekali dibanding satu atau dua tahun terakhir. Sisa-sisa berwarna hijau bercampur lumpur.
Anna, salah seorang warga menuturkan, kali Langkowala sudah tujuh bulan terakhir ini tidak berair lagi, bahkan sumur bor yang sejak lima tahun lalu kerap dipakai sehari-hari saat ini airnya sudah kering. Untuk keperluan sehari-hari seperti mandi dan air minum, mereka terpksa membuat sumur bor baru yang letaknya disamping kali. Namun saat ini debit airnya semakin menipis.
Hal senada juga dikatakan warga Rarowatu Utara, Bachtiar. Ia mengaku telah tinggal selama 10 tahun di daerah itu. Kini Bachtiar memanfaatkan kali Langkowala untuk mengumpulkan kerikil untuk bangunan rumah. Ia menuturkan, sejak ada aktivitas penambangan di muara sungai ditambah lagi musim kemarau, sungai menjadi kering dan ratusan sawah beralih menjadi sawah tadah hujan.
Andi Thamrin, warga desa Rarongkewu, kecamatan Rarowatu Utara mengatakan sekitar 5.000 ha sawah gagal panen dikarenakan tidak ada air, dan ketika masalah ini dilaporkan kepada pemerintah setempat mulai dari kepala desa maupun camat tidak mendapatkan respon seperti yang diharapkan.
Hal yang ditakutkan oleh thamrin dan warga lainnya adalah jikalau musim hujan nanti tiba akan terjadi banjir karena banyak pohon yang ada dihulu sungai yang telah ditebang oleh para pendulang emas. “Bagaimana kami bisa mengairi sawah, sementara sungai Langkowala sudah ditangkal oleh perusahaan tambang,” ujarnya.
Bendungan Langkowala kini benar-benar kritis. Bendungan yang sebelumnya dimanfaatkan tiga desa di sekitarnya dan mengairi sekitar 7.000 ha areal persawahan, saat ini nyaris tidak memiliki air lagi. Yang ada hanya potongan-potongan cetakan tanah yang mirip kue lapis akibat kekeringan.
Mantan kepala Resort Langkowa TNRAW, Nasrun, yang telah bertugas selama 13 tahun di tempat ini mengatakan bendungan Langkowala dulu walaupun dilanda musim kemarau yang panjang seperti saat ini masih memiliki air yang banyak.
Akibat krisis air ini, banyak petani yang beralih profesi menjadi penjual disekitar areal pertambangan. Atni, seorang petani yang kini telah menjadi pedagang sembako, menurutkan semua para tani yang ada di sekitar SP 3 sudah meninggalkan sawahnya. “Kami terpaksa meninggalkan sawah karena tidak ada air untuk mengairi sawah kami,” katanya.
Abas Sedah dan mertuanya, Nurmiteh, warga transmigrasi yang asal Nusa Tenggara Barat, yang tinggal di SP 2 desa Langkoawala sejak 1982, menuturkan sebagian besar penduduk desa Langkowala sudah tidak lagi menjadi petani pengarap sawah. Untuk dapat bertahan hidup, ia dan mertuanya menjadi penggembala ternak dan berjualan arang.
“Kami punya sawah 2 ha, tapi karena air tidak ada terpaksa tidak bisa digarap. Sebenarnya kalau dulu bisa kita memanfaatkan sumur bor, tapi sekarang sudah susah dapat airnya, walaupun sudah digali 32 meter tetap saja sulit diteumkan mata air,” tuturnya.
Menurut dia, krisis air yang terjadi saat ini disebabkan aktivitas penambangn yang berada di sekitar muara sungai Langkowalah oleh PT. Panca Logam, salah perusahaan pemegang izin KP. Perusahaan tambang itu menangkal sungai dan menampung airnya untuk proses penjernihan emas. “Itu baru satu perusahaan, bagimana kalau masuk 13 perusahaan yang rencananya akan beroperasi di di atas, lama-lama seperti Mekkah kedua, panas terus, “ ujar Abas dengan nada tinggi.
Akibat krisis air, sempat menimbulkan pertengkaran dikalangan para tetani di desa Langkowala. Mereka meributkan untuk mendapatkan jatah air irigasi yang dilakukan secara bergilir. Tak hanya sawah, tanaman palawija di ladang pun kini terancam mati. “Terutama SP 2 yang paling gawat, kalau tidak diperhatikan mati saja kami di desa ini,” ujar Nurmiteh dengan rawut wajah sedih.
Nasib serupa juga dialami para pemilik tambak di desa Tunas Baru, Kecamatan Rarowatu Utara. Menurut kepala desa Baharuddin Tola, desanya yang hanya mengandalkan usaha tambak ikan bandeng sangat khawatir jika datangnya musim hujan kelak, disebabkan desanya yang berada di daerah dataran rendah akan menjadi limpahan air yang berasal dari sekitar areal pertambangan.
“Kalau banjir dating, maka kayu-kayu-an dan material lumpur bercampur kimia bisa menggagalkan panen ikan bandeng di desa kami,” katanya.
Barulah di desa Anugerah, kami menemukan petani yang sedang bersawah. Subiarti dan anaknya Yoyo Triantono mengatakan, padi yang sedang dikerjakannya saat ini bukanlah padi hasil dari tanah pertanian di desanya, melainkan dari tempat lain yang kebetulan cadangan air tanahnya masih ada.
Sama dengan dengan warga lainnya, Subiarti juga mengeluhkan aktivitas pertambangan setahun terakhir. Subiarti, mempunyai areal persawahaan 5 -6 ha bisa menghasilakan 250 karung atau setara dengan 40 juta sekali panen “Ini semua penyebabnya dari aktivitas pertambangan yang dilakukan perusahan. Mereka menangkal air sehingga kami tidak mendapatkan lagi aliran air dari sungai,” katanya.
“Dulu sebelum ada emas, air dari SP 9 ( sungai Langkowala) bisa mengalir sampai SP 1 atau SP 2, namun sejak ada panca Logam yang membendung sungai, air tidak sampai mengalir di sini, “ ujar Subiarti dengan rasa gundah.
Krisis air yang melanda di dua kecamatan yakni Lantari Jaya dan Rarowatu Utara membuat hasil pertanian di Bombana untuk tahun ini otomatis menurun drastic. Sebelum krisis air, hasil pertanian bisa mencapai 4 ton per ha. Pada tahun ini, di daerah ini terdapat 511 ha, dan yang terancam kekeringan ada seluas 475 ha.
Kadis pertanian Bombana Sirajuddin M, mengatakan selain musim kemarau, tidak berfungsinya bendungan Langkowala dikarena tidak ada air menjadi penyebab utama kekeringan. Ha ini bisa terjadi karena daerah tangkapan air bendungan langkowala berada di daerah pertambangan seperti SP-8 dan SP-9, tapi karena alur dari sungai Langkowala sudah dibelokan ke daerah pertambangan akhirnya alur air ini tidak berfungsi sehingga sentra-sentra pertanian menjadi kekeringan seperti sekarang.
“Kalau sudah seperti ini keadaannya, kedepannya terpaksa daerah pertanian di daerah Lantari Jaya dan Rarowatu Utara beralih menjadi pertanian tadah hujan,” ujarnya. (***)
Oleh Merlyn dan Rustam
Perjalanan dimulai, kami disambut dengan kondisi jalan yang rusak dan berdebu. Sepanjang mata memandang yang ada hanyalah sawah yang menguning, tanah kering dan ternak sapi yang mencari makan. Masyarakat lebih banyak berada di dalam rumah, karena hampir kami tidak melihat aktivitas pertanian seperti menggarap sawah yang dilakukan oleh warga.
Pasca penemuan logam mulia kurang lebih satu tahun itu, lubang-lubang mengaga dengan diameter yang cukup lebar dan dalam dapat dijumpai sepanjang areal pendulangan. Ada pula lubang kecil yang biasa disebut “lubang tikus”. Lubang kecil ini telah merenggut banyak nyawa pendulang.
Hadirnya sejumlah Kuasa Pertambangan (KP) semakin memperparah lingkungan. krisis air pun kini melanda sejumlah daerah di Bombana, seperti di kecamatan Lantari Jaya dan Rarowatu Utara. Ribuan hektar sawah di sini kering. Sumur bor yang selama ini dijadikan cadangan sumber air pada musim kemarau untuk mengairi sawah ataupun untuk kebutuhan sehari-hari, kini terancam kering.
Rusaknya sejumlah sungai di daerah itu, seperti yang terlihat di aliran sungai Langkowala, yang alirannya berbatasan langsung dengan daerah konservasi Tanam Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW), mungkin saat ini sudah tidak tepat lagi disebut sebagai sungai karena hampir tidak ada air lagi yang mengalir. Kalaupun ada, hanya sedikit sekali dibanding satu atau dua tahun terakhir. Sisa-sisa berwarna hijau bercampur lumpur.
Anna, salah seorang warga menuturkan, kali Langkowala sudah tujuh bulan terakhir ini tidak berair lagi, bahkan sumur bor yang sejak lima tahun lalu kerap dipakai sehari-hari saat ini airnya sudah kering. Untuk keperluan sehari-hari seperti mandi dan air minum, mereka terpksa membuat sumur bor baru yang letaknya disamping kali. Namun saat ini debit airnya semakin menipis.
Hal senada juga dikatakan warga Rarowatu Utara, Bachtiar. Ia mengaku telah tinggal selama 10 tahun di daerah itu. Kini Bachtiar memanfaatkan kali Langkowala untuk mengumpulkan kerikil untuk bangunan rumah. Ia menuturkan, sejak ada aktivitas penambangan di muara sungai ditambah lagi musim kemarau, sungai menjadi kering dan ratusan sawah beralih menjadi sawah tadah hujan.
Andi Thamrin, warga desa Rarongkewu, kecamatan Rarowatu Utara mengatakan sekitar 5.000 ha sawah gagal panen dikarenakan tidak ada air, dan ketika masalah ini dilaporkan kepada pemerintah setempat mulai dari kepala desa maupun camat tidak mendapatkan respon seperti yang diharapkan.
Hal yang ditakutkan oleh thamrin dan warga lainnya adalah jikalau musim hujan nanti tiba akan terjadi banjir karena banyak pohon yang ada dihulu sungai yang telah ditebang oleh para pendulang emas. “Bagaimana kami bisa mengairi sawah, sementara sungai Langkowala sudah ditangkal oleh perusahaan tambang,” ujarnya.
Bendungan Langkowala kini benar-benar kritis. Bendungan yang sebelumnya dimanfaatkan tiga desa di sekitarnya dan mengairi sekitar 7.000 ha areal persawahan, saat ini nyaris tidak memiliki air lagi. Yang ada hanya potongan-potongan cetakan tanah yang mirip kue lapis akibat kekeringan.
Mantan kepala Resort Langkowa TNRAW, Nasrun, yang telah bertugas selama 13 tahun di tempat ini mengatakan bendungan Langkowala dulu walaupun dilanda musim kemarau yang panjang seperti saat ini masih memiliki air yang banyak.
Akibat krisis air ini, banyak petani yang beralih profesi menjadi penjual disekitar areal pertambangan. Atni, seorang petani yang kini telah menjadi pedagang sembako, menurutkan semua para tani yang ada di sekitar SP 3 sudah meninggalkan sawahnya. “Kami terpaksa meninggalkan sawah karena tidak ada air untuk mengairi sawah kami,” katanya.
Abas Sedah dan mertuanya, Nurmiteh, warga transmigrasi yang asal Nusa Tenggara Barat, yang tinggal di SP 2 desa Langkoawala sejak 1982, menuturkan sebagian besar penduduk desa Langkowala sudah tidak lagi menjadi petani pengarap sawah. Untuk dapat bertahan hidup, ia dan mertuanya menjadi penggembala ternak dan berjualan arang.
“Kami punya sawah 2 ha, tapi karena air tidak ada terpaksa tidak bisa digarap. Sebenarnya kalau dulu bisa kita memanfaatkan sumur bor, tapi sekarang sudah susah dapat airnya, walaupun sudah digali 32 meter tetap saja sulit diteumkan mata air,” tuturnya.
Menurut dia, krisis air yang terjadi saat ini disebabkan aktivitas penambangn yang berada di sekitar muara sungai Langkowalah oleh PT. Panca Logam, salah perusahaan pemegang izin KP. Perusahaan tambang itu menangkal sungai dan menampung airnya untuk proses penjernihan emas. “Itu baru satu perusahaan, bagimana kalau masuk 13 perusahaan yang rencananya akan beroperasi di di atas, lama-lama seperti Mekkah kedua, panas terus, “ ujar Abas dengan nada tinggi.
Akibat krisis air, sempat menimbulkan pertengkaran dikalangan para tetani di desa Langkowala. Mereka meributkan untuk mendapatkan jatah air irigasi yang dilakukan secara bergilir. Tak hanya sawah, tanaman palawija di ladang pun kini terancam mati. “Terutama SP 2 yang paling gawat, kalau tidak diperhatikan mati saja kami di desa ini,” ujar Nurmiteh dengan rawut wajah sedih.
Nasib serupa juga dialami para pemilik tambak di desa Tunas Baru, Kecamatan Rarowatu Utara. Menurut kepala desa Baharuddin Tola, desanya yang hanya mengandalkan usaha tambak ikan bandeng sangat khawatir jika datangnya musim hujan kelak, disebabkan desanya yang berada di daerah dataran rendah akan menjadi limpahan air yang berasal dari sekitar areal pertambangan.
“Kalau banjir dating, maka kayu-kayu-an dan material lumpur bercampur kimia bisa menggagalkan panen ikan bandeng di desa kami,” katanya.
Barulah di desa Anugerah, kami menemukan petani yang sedang bersawah. Subiarti dan anaknya Yoyo Triantono mengatakan, padi yang sedang dikerjakannya saat ini bukanlah padi hasil dari tanah pertanian di desanya, melainkan dari tempat lain yang kebetulan cadangan air tanahnya masih ada.
Sama dengan dengan warga lainnya, Subiarti juga mengeluhkan aktivitas pertambangan setahun terakhir. Subiarti, mempunyai areal persawahaan 5 -6 ha bisa menghasilakan 250 karung atau setara dengan 40 juta sekali panen “Ini semua penyebabnya dari aktivitas pertambangan yang dilakukan perusahan. Mereka menangkal air sehingga kami tidak mendapatkan lagi aliran air dari sungai,” katanya.
“Dulu sebelum ada emas, air dari SP 9 ( sungai Langkowala) bisa mengalir sampai SP 1 atau SP 2, namun sejak ada panca Logam yang membendung sungai, air tidak sampai mengalir di sini, “ ujar Subiarti dengan rasa gundah.
Krisis air yang melanda di dua kecamatan yakni Lantari Jaya dan Rarowatu Utara membuat hasil pertanian di Bombana untuk tahun ini otomatis menurun drastic. Sebelum krisis air, hasil pertanian bisa mencapai 4 ton per ha. Pada tahun ini, di daerah ini terdapat 511 ha, dan yang terancam kekeringan ada seluas 475 ha.
Kadis pertanian Bombana Sirajuddin M, mengatakan selain musim kemarau, tidak berfungsinya bendungan Langkowala dikarena tidak ada air menjadi penyebab utama kekeringan. Ha ini bisa terjadi karena daerah tangkapan air bendungan langkowala berada di daerah pertambangan seperti SP-8 dan SP-9, tapi karena alur dari sungai Langkowala sudah dibelokan ke daerah pertambangan akhirnya alur air ini tidak berfungsi sehingga sentra-sentra pertanian menjadi kekeringan seperti sekarang.
“Kalau sudah seperti ini keadaannya, kedepannya terpaksa daerah pertanian di daerah Lantari Jaya dan Rarowatu Utara beralih menjadi pertanian tadah hujan,” ujarnya. (***)
Minggu, 22 Februari 2009
Sabtu, 21 Februari 2009
TNRAW Diplot sebagai Laboratorium Pendidikan
Oleh, Rustam
Universitas Haluoleo (Unhalu) mulai saat ini akan menjadikan Taman Nasional Rawa Aopa (TNRAW) sebagai "laboratorium" alam untuk penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan. Dengan demikian fungsi akan TNRAW sangat penting dan strategis bagi akademisi maupun mahasiswa Unhalu ke depan khususnya jurusan Kehutanan, Perikanan, Pertanian, sosial budaya dan Fakultas MIPA.
Untuk menjadikan sebagai pusat penelitian, pihak Unhalu telah sepakat menjaling kerjasama melalui penandatanganan Momerandum of Understanding (MoU) dengan pihak TNRAW. Penandatanan tersebut dilakukan antara Kepala Balai TNRAW, Ir Sri Winenang MM, bersama Rektor Universitas Haluoleo Prof. Dr Ir Usman Rianse MS, bertempat di Auditorium Unhalu, Jumat (20/2).
Usman Rianse mengatakan, keberadaan TNRAW perlu disikapi dengan netral. Menurutnya, secara ekonomi ataupun kekayaan alam seperti tambang, hasil hutan yang ada di dalam taman nasional seharusnya diberi nilai nol. Sebab nilai nol ini merupakan strategi pengembangan taman nasional berbasis sosial budaya.
"Dalam Taman Nasional bersimbiosis-mutualisme. Apabila kayu di dalam Taman Nasional hilang, maka seluruh hasil alam yang berada di dalamnya akan lenyap juga. Mempertahankan taman nasional bukan berarti mempertahankan uang, melainkan untuk masa depan. Sebab kesalahan sekarang bisa jadi bahaya masa datang, sehingga jangan menyederhanakan masalah yang ada didepan kita," jelas pengganti Mahmud Hamundu ini.
Menurut Usman Rianse, TNRAW tidak saja memiliki manfaat untuk penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan, tetapi lebih dari itu adalah penyangga daya serap air dan untuk menyelamatkan ekologi serta fauna endemik yang ada di dalamnya.
"Kami tidak dalam posisi membela Balai TNRAW atau pemerintah, tetapi anda bisa bayangkan kalau kawasan itu hutannya habis. Tentu ini menjadi ancaman untuk keselamatan lingkungan," ujarnya.
Sementara itu, Sri Winenang, mengatakan kerjasama tersebut merupakan payung hukum untuk melaksanakan kegiatan nyata di TNRAW. Sri Winenang menyadari merasa kekurangan sumber daya manusia untuk mengungkap apa sebenarnya isi dari taman nasional tersebut. Sehingga dengan adanya kerjasama dengan pihak Unhalu diharapkan akan menjadi referensi yang sangat penting bagi masyarakat dan pemerintah tentang Taman Nasional.
"Dengan dukungan yang diberikan Unhalu, sebagai universitas terkemuka di Sultra dibawa kepemimpinan Usman Rianse, dari segi politik kelembagaan TNRAW semakin kuat di tingkat nasional," jelas Sri Winenang. (*)
Universitas Haluoleo (Unhalu) mulai saat ini akan menjadikan Taman Nasional Rawa Aopa (TNRAW) sebagai "laboratorium" alam untuk penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan. Dengan demikian fungsi akan TNRAW sangat penting dan strategis bagi akademisi maupun mahasiswa Unhalu ke depan khususnya jurusan Kehutanan, Perikanan, Pertanian, sosial budaya dan Fakultas MIPA.
Untuk menjadikan sebagai pusat penelitian, pihak Unhalu telah sepakat menjaling kerjasama melalui penandatanganan Momerandum of Understanding (MoU) dengan pihak TNRAW. Penandatanan tersebut dilakukan antara Kepala Balai TNRAW, Ir Sri Winenang MM, bersama Rektor Universitas Haluoleo Prof. Dr Ir Usman Rianse MS, bertempat di Auditorium Unhalu, Jumat (20/2).
Usman Rianse mengatakan, keberadaan TNRAW perlu disikapi dengan netral. Menurutnya, secara ekonomi ataupun kekayaan alam seperti tambang, hasil hutan yang ada di dalam taman nasional seharusnya diberi nilai nol. Sebab nilai nol ini merupakan strategi pengembangan taman nasional berbasis sosial budaya.
"Dalam Taman Nasional bersimbiosis-mutualisme. Apabila kayu di dalam Taman Nasional hilang, maka seluruh hasil alam yang berada di dalamnya akan lenyap juga. Mempertahankan taman nasional bukan berarti mempertahankan uang, melainkan untuk masa depan. Sebab kesalahan sekarang bisa jadi bahaya masa datang, sehingga jangan menyederhanakan masalah yang ada didepan kita," jelas pengganti Mahmud Hamundu ini.
Menurut Usman Rianse, TNRAW tidak saja memiliki manfaat untuk penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan, tetapi lebih dari itu adalah penyangga daya serap air dan untuk menyelamatkan ekologi serta fauna endemik yang ada di dalamnya.
"Kami tidak dalam posisi membela Balai TNRAW atau pemerintah, tetapi anda bisa bayangkan kalau kawasan itu hutannya habis. Tentu ini menjadi ancaman untuk keselamatan lingkungan," ujarnya.
Sementara itu, Sri Winenang, mengatakan kerjasama tersebut merupakan payung hukum untuk melaksanakan kegiatan nyata di TNRAW. Sri Winenang menyadari merasa kekurangan sumber daya manusia untuk mengungkap apa sebenarnya isi dari taman nasional tersebut. Sehingga dengan adanya kerjasama dengan pihak Unhalu diharapkan akan menjadi referensi yang sangat penting bagi masyarakat dan pemerintah tentang Taman Nasional.
"Dengan dukungan yang diberikan Unhalu, sebagai universitas terkemuka di Sultra dibawa kepemimpinan Usman Rianse, dari segi politik kelembagaan TNRAW semakin kuat di tingkat nasional," jelas Sri Winenang. (*)
Jumat, 30 Januari 2009
Anggaran Pengadaan Logistik Pemilu di Sultra Dipangkas
Oleh, Rustam
Pengadaan logistik untuk kebutuhan pemilu 2009 di Sulawesi Tenggara (Sultra) yang semula dianggarkan Rp.15 miliar lebih ternyata dipangkas oleh KPU Pusat menjadi Rp.8 miliar lebih saja. Pengurangan anggaran itu dikarenakan adanya pengurangan volume dan jumlah kebutuhan.
Ketua KPUD Sultra Bosman mengatakan pengurangan volume dan jumlah kebutuhan logistik karena sebagian pengadaannya telah diambil alih oleh KPU pusat seperti pencetakan formulir seri C, D, DA, DB dan E untuk DPR-RI dan DPD-RI. KPUD Sultra tetap melakukan pencetakan formulir untuk kebutuhan DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
“Salah satu pengurangan pengadaan logistik adalah bilik suara. laporan awal ada 25.000 yang harus diadakan, namun setelah kami klarifikasi kembali ke daerah-daerah ternyata kita hanya kekurangan 19.841 bilik suara,” kata Bosman, Kamis (29/1).
Menurut Bosman, dengan berkurangnya anggaran, maka pengadaan logistik juga molor dari waktu yang ditetapkan oleh panitia lelang. Molornya pengadaan logistik tersebut juga disebabkan keterlambatan penyerahan DIPA dari KPU Pusat ke KPUD Sultra. Sementara proses pelelangan logistik seharusnya telah berakhir pekan lalu dan sudah dapat ditentukan pemenangnya.
“Sesuai jadwal kita semula, pendistribusian logistik sebenarnya berakhir 9 Maret. Tapi karena molor, maka pendistribusiannya kita undur hingga 24 Maret sudah harus didistribusikan ke seluruh kabupaten/kota,” tandasnya.
Sementara itu untuk kebutuhan logisitk pemilu yang akan didakan KPUD Sultra meliputi formulir C dan D, kotak suara, bilik suara, sampul, tanda pengenal KPPS, saksi, dan petugas keamanan TPS, gembok, kantong plastic, karet pengikat suara, tali, stiker nomor kotak suara, spidol, ballpoint dan alat-alat pemberi tanda pilihan.
Pengadaan logistik untuk kebutuhan pemilu 2009 di Sulawesi Tenggara (Sultra) yang semula dianggarkan Rp.15 miliar lebih ternyata dipangkas oleh KPU Pusat menjadi Rp.8 miliar lebih saja. Pengurangan anggaran itu dikarenakan adanya pengurangan volume dan jumlah kebutuhan.
Ketua KPUD Sultra Bosman mengatakan pengurangan volume dan jumlah kebutuhan logistik karena sebagian pengadaannya telah diambil alih oleh KPU pusat seperti pencetakan formulir seri C, D, DA, DB dan E untuk DPR-RI dan DPD-RI. KPUD Sultra tetap melakukan pencetakan formulir untuk kebutuhan DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
“Salah satu pengurangan pengadaan logistik adalah bilik suara. laporan awal ada 25.000 yang harus diadakan, namun setelah kami klarifikasi kembali ke daerah-daerah ternyata kita hanya kekurangan 19.841 bilik suara,” kata Bosman, Kamis (29/1).
Menurut Bosman, dengan berkurangnya anggaran, maka pengadaan logistik juga molor dari waktu yang ditetapkan oleh panitia lelang. Molornya pengadaan logistik tersebut juga disebabkan keterlambatan penyerahan DIPA dari KPU Pusat ke KPUD Sultra. Sementara proses pelelangan logistik seharusnya telah berakhir pekan lalu dan sudah dapat ditentukan pemenangnya.
“Sesuai jadwal kita semula, pendistribusian logistik sebenarnya berakhir 9 Maret. Tapi karena molor, maka pendistribusiannya kita undur hingga 24 Maret sudah harus didistribusikan ke seluruh kabupaten/kota,” tandasnya.
Sementara itu untuk kebutuhan logisitk pemilu yang akan didakan KPUD Sultra meliputi formulir C dan D, kotak suara, bilik suara, sampul, tanda pengenal KPPS, saksi, dan petugas keamanan TPS, gembok, kantong plastic, karet pengikat suara, tali, stiker nomor kotak suara, spidol, ballpoint dan alat-alat pemberi tanda pilihan.
Belasan Ton Biota Laut Dilindungi Disita Petugas
Oleh, Rustam
Petugas karantina ikan departemen Perikanan dan Kelautan Kendari bersama Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sultra, Rabu malam (28/1) berhasil mengagalkan pengiriman12 ton biota laut jenis kerang-kerangan (Crutacea) yang dilindungi. Biota laut tersebut selanjutnya disita oleh petugas.
Saat ditangkap, biota laut itu telah dimasukkan ke dalam kontainer dan hendak dinaikkan ke kapal kargo milik PT. Meratus. Rencananya crutacea itu akan di bawah ke Surabaya untuk di pasarkan.
Ada dua jenis Crutacea yang disita yaitu kepala kambing (Casis Cimuta) dan Triton (Charonia tritonis). Kedua jenis biota laut itu dilindungi berdasarkan UU nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi Sumber Daya Alam (SDA) dan SK Menteri nomor 12/kpts-11/97 tentang biota laut yang dilindungi. Bagi yang melanggar ketentuan tersebut dapat kenakan 5 tahun kurungan penjara dan denda maksimal Rp.1 miliar.
Kepala kambing dan triton memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi. Kedua jenis biota laut itu biasanya diolah menjadi industri untuk kebutuhan kosmetik, kancing baju dan beberapa kegunaan lainnya.
Pengawas karantina ikan Kendari, Tamrin, mengatakan penangkapan biota laut tersebut berkat adanya laporan dari masyarakat dan Polsek Soropia, Konawe. Laporan terserbut langsung ditindaklanjuti di pelabuhan Kendari dan berhasil ditemukan.
“Mereka mengaku dalam kontainer itu berisi rumput laut, tapi berkat adanya laporan masyarakat kami memeriksa dan ternyata setelah dibuka isinya kepala kambing. Sehingga kami terpaksa tidak memberikan izin pengangkutan,” katanya, kemarin (29/1).
Biota laut tersebut kini diamakan petugas BKSD sebagai barang bukti. Sementara pemilik, Jimi alias Jamal, kini masih dalam pemeriksaan oleh kepolisian.
Petugas karantina ikan departemen Perikanan dan Kelautan Kendari bersama Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sultra, Rabu malam (28/1) berhasil mengagalkan pengiriman12 ton biota laut jenis kerang-kerangan (Crutacea) yang dilindungi. Biota laut tersebut selanjutnya disita oleh petugas.
Saat ditangkap, biota laut itu telah dimasukkan ke dalam kontainer dan hendak dinaikkan ke kapal kargo milik PT. Meratus. Rencananya crutacea itu akan di bawah ke Surabaya untuk di pasarkan.
Ada dua jenis Crutacea yang disita yaitu kepala kambing (Casis Cimuta) dan Triton (Charonia tritonis). Kedua jenis biota laut itu dilindungi berdasarkan UU nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi Sumber Daya Alam (SDA) dan SK Menteri nomor 12/kpts-11/97 tentang biota laut yang dilindungi. Bagi yang melanggar ketentuan tersebut dapat kenakan 5 tahun kurungan penjara dan denda maksimal Rp.1 miliar.
Kepala kambing dan triton memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi. Kedua jenis biota laut itu biasanya diolah menjadi industri untuk kebutuhan kosmetik, kancing baju dan beberapa kegunaan lainnya.
Pengawas karantina ikan Kendari, Tamrin, mengatakan penangkapan biota laut tersebut berkat adanya laporan dari masyarakat dan Polsek Soropia, Konawe. Laporan terserbut langsung ditindaklanjuti di pelabuhan Kendari dan berhasil ditemukan.
“Mereka mengaku dalam kontainer itu berisi rumput laut, tapi berkat adanya laporan masyarakat kami memeriksa dan ternyata setelah dibuka isinya kepala kambing. Sehingga kami terpaksa tidak memberikan izin pengangkutan,” katanya, kemarin (29/1).
Biota laut tersebut kini diamakan petugas BKSD sebagai barang bukti. Sementara pemilik, Jimi alias Jamal, kini masih dalam pemeriksaan oleh kepolisian.
Penurunan Status Kawasan Ancam Keberlangsungan TNRAW
Oleh, Rustam
Rencana pemerintah Provinsi dan Pemda Konawe Selatan menurunkan status sebagian kawasan hutan lindung dan hutan konservasi di wilayah itu melalui rencana revisi tata ruang akan mengancam keberlangsungan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW). Jika ini jadi dilakukan maka berbagai flora dan fauna yang dilindungi selama belasan tahun akan punah.
Kepala Balai TNRAW Ir. Sri Winenang dalam sebuah diskusi dengan pihak akademisi Universitas Haluoleo (Unhalu, NGO dan wartawan, pekan lalu, mengatakan ancaman yang paling mengkhawatirkan saat ini adalah rencana Pemda memberikan izin pengelolaan tambang nikel kepada investor di dalam kawasan TNRAW. Selain itu kegiatan perambahan hutan di dalam kawasan oleh warga juga menjadi ancaman yang cukup serius. Beberapa tahun terakhir ini, tekanan terhadap kawasan TNRAW semakin tinggi.
Sri Winenang menjelaskan, penetapan kawasan TNRAW seluas 105.194 ha sejak tahun 1990 yang meliputi empat wilayah kabupaten yakni Konawe Selatan, Konawe, Kolaka dan Bombana merupakan kebijakan strategis terhadap perlindungan kawasan beserta potensinya. Karena kawasan ini memiliki fungsi perlindungan sistim penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati.
Kawasan ini memiliki manfaat dan tujuan yang sangat penting untuk penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Selain itu, kawasan TNRAW memiliki peranan antara lain perikanan, tata air pertanian, dan bahkan dukungan terhadap suplay kebutuhan air minum sampai ke kota Kendari yang memiliki hulu air di rawa Aopa serta hutan Mangrove sepanjang kurang lebih 24 km sebagai habitat jenis kepiting, udang dan lai-lain.
“Kita berharap Unhalu dan semua pihak yang peduli dengan lingkungan dapat memberikan masukan kepada kami demi keberlangsungan TNRAW,” katanya.
Menurut Sri Winenang, keberadaan Unhalu sebagai lembaga pendidikan di Sultra sangat penting terutama dalam menjembantangi, memberikan pencerahan dan pertimbangan lingkungan dalam rencana pembangunan daerah ke depan.
Pihak Unhalu yang dihadiri sejumlah akademisinya antara lain Ir. Sapril, ketua jurusan Kehutanan dan DR. Marsuki Iswandi, dosen Pertanian Unhalu, menyatakan dukungan dan komitmennya membantu Balai TNRAW, terutama memberikan kajian-kajian saintik. Unhalu yang selama ini telah memanfaatkan kawasan TNRAW sebagai pusat penelitian mahasiswa Biologi sangat penting untuk dipertahankan.
Namun beberapa masukan kepada pihak Balai TNRAW yang selama ini menjadi kelemahan adalah data base. Pihak akademisi Unhalu dan LSM Lepmil menyarankan perlunya data base terbaru untuk mengetahui seberapa besar potensi yang dimilki TNRAW.
“Kita belum bisa berargumentasi apakah kawasan TNRAW perlu dipertahankan atau tidak, kalau data base kita saja tidak ada. Jangan sampai kita mati-matian mempertahankan status kawasan sementara potensinya sudah tidak ada,” kata Harun, dari Lepmil Kendari.
Rencana pemerintah Provinsi dan Pemda Konawe Selatan menurunkan status sebagian kawasan hutan lindung dan hutan konservasi di wilayah itu melalui rencana revisi tata ruang akan mengancam keberlangsungan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW). Jika ini jadi dilakukan maka berbagai flora dan fauna yang dilindungi selama belasan tahun akan punah.
Kepala Balai TNRAW Ir. Sri Winenang dalam sebuah diskusi dengan pihak akademisi Universitas Haluoleo (Unhalu, NGO dan wartawan, pekan lalu, mengatakan ancaman yang paling mengkhawatirkan saat ini adalah rencana Pemda memberikan izin pengelolaan tambang nikel kepada investor di dalam kawasan TNRAW. Selain itu kegiatan perambahan hutan di dalam kawasan oleh warga juga menjadi ancaman yang cukup serius. Beberapa tahun terakhir ini, tekanan terhadap kawasan TNRAW semakin tinggi.
Sri Winenang menjelaskan, penetapan kawasan TNRAW seluas 105.194 ha sejak tahun 1990 yang meliputi empat wilayah kabupaten yakni Konawe Selatan, Konawe, Kolaka dan Bombana merupakan kebijakan strategis terhadap perlindungan kawasan beserta potensinya. Karena kawasan ini memiliki fungsi perlindungan sistim penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati.
Kawasan ini memiliki manfaat dan tujuan yang sangat penting untuk penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Selain itu, kawasan TNRAW memiliki peranan antara lain perikanan, tata air pertanian, dan bahkan dukungan terhadap suplay kebutuhan air minum sampai ke kota Kendari yang memiliki hulu air di rawa Aopa serta hutan Mangrove sepanjang kurang lebih 24 km sebagai habitat jenis kepiting, udang dan lai-lain.
“Kita berharap Unhalu dan semua pihak yang peduli dengan lingkungan dapat memberikan masukan kepada kami demi keberlangsungan TNRAW,” katanya.
Menurut Sri Winenang, keberadaan Unhalu sebagai lembaga pendidikan di Sultra sangat penting terutama dalam menjembantangi, memberikan pencerahan dan pertimbangan lingkungan dalam rencana pembangunan daerah ke depan.
Pihak Unhalu yang dihadiri sejumlah akademisinya antara lain Ir. Sapril, ketua jurusan Kehutanan dan DR. Marsuki Iswandi, dosen Pertanian Unhalu, menyatakan dukungan dan komitmennya membantu Balai TNRAW, terutama memberikan kajian-kajian saintik. Unhalu yang selama ini telah memanfaatkan kawasan TNRAW sebagai pusat penelitian mahasiswa Biologi sangat penting untuk dipertahankan.
Namun beberapa masukan kepada pihak Balai TNRAW yang selama ini menjadi kelemahan adalah data base. Pihak akademisi Unhalu dan LSM Lepmil menyarankan perlunya data base terbaru untuk mengetahui seberapa besar potensi yang dimilki TNRAW.
“Kita belum bisa berargumentasi apakah kawasan TNRAW perlu dipertahankan atau tidak, kalau data base kita saja tidak ada. Jangan sampai kita mati-matian mempertahankan status kawasan sementara potensinya sudah tidak ada,” kata Harun, dari Lepmil Kendari.
Otoda Gagal Pilkada Sebaiknya Dibubarkan
Oleh, Rustam
Pakar Tata Negara dan pengagas Otonomi Daerah Prof. M. Ryaas Rasyid dalam kunjungannya di kota Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra) Rabu (28/1) menilai pelaksanaan otonomi daerah yang sudah berjalan kurang lebih lima tahun gagal akibat kurangnya suvervisi atau pengawasan dari pemerintah pusat. Dia pun meminta Pilkada secara langsung yang juga merupakan bagian dari penerapan otonomi daerah sebaiknya dibubarkan dan kembali ke sistim dahulu.
Pernyataan tersebut disampaikan Ryaas Rasyid kepada sejumlah wartawan sesaat sebelum acara temu kader di gedung Grand Awani. Menurutnya, pemerintah pusat terlalu tergopoh-gopoh untuk melaksanakan Pilkada langsung disaat masyarakat belum memiliki pemahaman yang baik soal demokrasi.
Dia menyarankan pemerintah pusat mengevaluasi pelaksanaan Pilkada dan kultur masyarakat sehingga tidak menimbulkan kerugian yang lebih besar. Sebab Pilkada langsung tidak dapat dilaksanakan ketika bersamaan pengangguran dan kemiskinan meluas.
“Masyarakat yang memilih itu harus cerdas. Coba anda lihat, apakah masyarakat sudah cukup cerdas untuk memilih gubernur, bupati dan walikota berdasarkan kemampuan mereka untuk mengurus rakyat, itu kan tidak. Kebanyakan orang memilih berdasarkan popularitas,” katanya.
Ryaas Rasyid menyarankan ada persyaratan bagi daerah-daerah yang ingin melaksanaan Pilkada, misalnya memiliki PAD lima kali lipat yang dipergunakan untuk pelaksanaan Pilkada, penduduk yang tamat sekolah dasar minimal 50 persen. Kurang dari itu tidak boleh melaksanakan Pilkada.
“Selanjutnya kinerja KPUD juga harus dievaluasi karena telah banyak mencederai kedaulatan rakyat. Banyak orang-orang yang berhak memilih tidak bisa memilih. Karena itu harus selektif, tidak semua harus menggelar Pilkada,” tukasnya.
Selama ini otonomi daerah diasalah artikan. Pemerintah pusat melepas otonomi daerah tetapi tidak dibaringi pengawasan yang ketat. Akibatnya banyak para gubernur, walikota dan bupati yang terjerat kasus hukum seperti korupsi.
“Sekarang apa yang dilakukan orang-orang pusat, tidak ada kan. Sekarang presiden mengeluarkan izin pemeriksaan 127 kepala daerah yang bermasalah, itu bukan sebuah prestasi, tapi akibat pengawasan yang ketat tidak ada, sehingga inilah indikator kegagalan itu. Otonomi daerah bisa dikatakan berhasil apabila semakin sedikit kepala daerah yang terjerat kasus hukum,” tukasnya
Pakar Tata Negara dan pengagas Otonomi Daerah Prof. M. Ryaas Rasyid dalam kunjungannya di kota Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra) Rabu (28/1) menilai pelaksanaan otonomi daerah yang sudah berjalan kurang lebih lima tahun gagal akibat kurangnya suvervisi atau pengawasan dari pemerintah pusat. Dia pun meminta Pilkada secara langsung yang juga merupakan bagian dari penerapan otonomi daerah sebaiknya dibubarkan dan kembali ke sistim dahulu.
Pernyataan tersebut disampaikan Ryaas Rasyid kepada sejumlah wartawan sesaat sebelum acara temu kader di gedung Grand Awani. Menurutnya, pemerintah pusat terlalu tergopoh-gopoh untuk melaksanakan Pilkada langsung disaat masyarakat belum memiliki pemahaman yang baik soal demokrasi.
Dia menyarankan pemerintah pusat mengevaluasi pelaksanaan Pilkada dan kultur masyarakat sehingga tidak menimbulkan kerugian yang lebih besar. Sebab Pilkada langsung tidak dapat dilaksanakan ketika bersamaan pengangguran dan kemiskinan meluas.
“Masyarakat yang memilih itu harus cerdas. Coba anda lihat, apakah masyarakat sudah cukup cerdas untuk memilih gubernur, bupati dan walikota berdasarkan kemampuan mereka untuk mengurus rakyat, itu kan tidak. Kebanyakan orang memilih berdasarkan popularitas,” katanya.
Ryaas Rasyid menyarankan ada persyaratan bagi daerah-daerah yang ingin melaksanaan Pilkada, misalnya memiliki PAD lima kali lipat yang dipergunakan untuk pelaksanaan Pilkada, penduduk yang tamat sekolah dasar minimal 50 persen. Kurang dari itu tidak boleh melaksanakan Pilkada.
“Selanjutnya kinerja KPUD juga harus dievaluasi karena telah banyak mencederai kedaulatan rakyat. Banyak orang-orang yang berhak memilih tidak bisa memilih. Karena itu harus selektif, tidak semua harus menggelar Pilkada,” tukasnya.
Selama ini otonomi daerah diasalah artikan. Pemerintah pusat melepas otonomi daerah tetapi tidak dibaringi pengawasan yang ketat. Akibatnya banyak para gubernur, walikota dan bupati yang terjerat kasus hukum seperti korupsi.
“Sekarang apa yang dilakukan orang-orang pusat, tidak ada kan. Sekarang presiden mengeluarkan izin pemeriksaan 127 kepala daerah yang bermasalah, itu bukan sebuah prestasi, tapi akibat pengawasan yang ketat tidak ada, sehingga inilah indikator kegagalan itu. Otonomi daerah bisa dikatakan berhasil apabila semakin sedikit kepala daerah yang terjerat kasus hukum,” tukasnya
Ryaas Rasyid : Tidak Capai 2,5 Persen PDK Dibubarkan
Oleh, Rustam
Kader dan calon anggota legislatif (caleg) Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK) harus bekerja keras untuk mencapai empat juta pemilih atau 2,5 persen sebagai syarat lolos Parlementary Treshold (PT). Jika tidak mencapai target, PDK sebaiknya membubarkan diri.
“Kalau tidak dapat suara signifikan bikin ngapain kita. Saya tidak mau seperti partai-partai lain yang berulang-ulang ikut pemilu tapi tidak dapat-dapat dan angga malu-malunya ikut terus pemilu,” kata Presiden PDK Ryaas Rasyid kepada wartawan di Kendari saat menghadiri temu kader dan para caleg, Rabu (28/1).
Menurut Ryaas Rasyid, berdasarkan hasil pengamatannya di 22 daerah yang telah dikunjunginya, target lolos PT dapat tercapai bahkan lebih. Untuk mengait dukungan masyarakat, PDK memiliki program unggulan yang akan ditawarkan kepada rakyat Indonesia yaitu pemberdayaan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja yang bertumpu pada enam bidang prioritas yakni pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, pertukangan dan pariwisata.
“Nah, kalau enam bidang ini bisa kita alokasikan anggaran yang cukup dan kita kelola programnya dengan baik, insya Allah bisa menciptakan puluhan juta lapangan kerja dalam waktu yang singkat. Salah satu impelementasi program itu adalah pembangunan Indonesia dari desa,” katanya.
Ditanya apakah dirinya akan mencalonkan sebagai calon presiden (Capres) nanti, pakar Tata Negara dan pengagas otonomi daerah itu menyatakan untuk sementara tidak akan ikut-ikutan mencalonkan diri.
“Ini pemilu belum selesai sudah pada kegenitan. Orang-orang mau jadi capres sementara partainya tidak ada. Kalaupun ada juga belum jelas perolehan suaranya. Menurut saya ada gangguan sedikitlah,” ujarnya.
Sementara itu ketua umum DPP PDK Sultra H. Abdullah Bafadal menyatakan pada pemilu nanti, partainya menargetkan meraih minimal satu kursi di setiap daerah pemilihan DPRD Provinsi dan kabupaten serta satu kursi di DPR-RI. Khusus kabupaten Buton, Kolaka, Konawe Selatan dan Konawe ditargetkan dapat meraih satu fraksi.
“Untuk apa kita urus partai kalau tidak ada kemajuan. Olehnya itu saya sampaikan kepada seluruh caleg dan pengurus partai harus bekerja keras untuk meraih suara sebanyak-banyaknya. Kita sudah pernah ikut pemilu lalu nanti tiba-tiba menghilang, kan malu kita,” katanya.
Acara temu kader yang berlangsung sehari itu dihadiri seluruh caleg Provinsi, Kabupaten/kota, DPR-RI, pengurus serta para simpatisan PDK se-Sultra.
Kader dan calon anggota legislatif (caleg) Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK) harus bekerja keras untuk mencapai empat juta pemilih atau 2,5 persen sebagai syarat lolos Parlementary Treshold (PT). Jika tidak mencapai target, PDK sebaiknya membubarkan diri.
“Kalau tidak dapat suara signifikan bikin ngapain kita. Saya tidak mau seperti partai-partai lain yang berulang-ulang ikut pemilu tapi tidak dapat-dapat dan angga malu-malunya ikut terus pemilu,” kata Presiden PDK Ryaas Rasyid kepada wartawan di Kendari saat menghadiri temu kader dan para caleg, Rabu (28/1).
Menurut Ryaas Rasyid, berdasarkan hasil pengamatannya di 22 daerah yang telah dikunjunginya, target lolos PT dapat tercapai bahkan lebih. Untuk mengait dukungan masyarakat, PDK memiliki program unggulan yang akan ditawarkan kepada rakyat Indonesia yaitu pemberdayaan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja yang bertumpu pada enam bidang prioritas yakni pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, pertukangan dan pariwisata.
“Nah, kalau enam bidang ini bisa kita alokasikan anggaran yang cukup dan kita kelola programnya dengan baik, insya Allah bisa menciptakan puluhan juta lapangan kerja dalam waktu yang singkat. Salah satu impelementasi program itu adalah pembangunan Indonesia dari desa,” katanya.
Ditanya apakah dirinya akan mencalonkan sebagai calon presiden (Capres) nanti, pakar Tata Negara dan pengagas otonomi daerah itu menyatakan untuk sementara tidak akan ikut-ikutan mencalonkan diri.
“Ini pemilu belum selesai sudah pada kegenitan. Orang-orang mau jadi capres sementara partainya tidak ada. Kalaupun ada juga belum jelas perolehan suaranya. Menurut saya ada gangguan sedikitlah,” ujarnya.
Sementara itu ketua umum DPP PDK Sultra H. Abdullah Bafadal menyatakan pada pemilu nanti, partainya menargetkan meraih minimal satu kursi di setiap daerah pemilihan DPRD Provinsi dan kabupaten serta satu kursi di DPR-RI. Khusus kabupaten Buton, Kolaka, Konawe Selatan dan Konawe ditargetkan dapat meraih satu fraksi.
“Untuk apa kita urus partai kalau tidak ada kemajuan. Olehnya itu saya sampaikan kepada seluruh caleg dan pengurus partai harus bekerja keras untuk meraih suara sebanyak-banyaknya. Kita sudah pernah ikut pemilu lalu nanti tiba-tiba menghilang, kan malu kita,” katanya.
Acara temu kader yang berlangsung sehari itu dihadiri seluruh caleg Provinsi, Kabupaten/kota, DPR-RI, pengurus serta para simpatisan PDK se-Sultra.
Langganan:
Postingan (Atom)