Rabu, 27 Januari 2010

Upaya Pemrintah Akomodir Kepentingan Investor

Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Nur Alam sangat berobesi ingin menjadikan Sultra sebagai pusat pertambangan nasional. Tak tanggung-taggung, kawasan hutan lindung pun masuk dalam target pengelolaan tambang. Saat ini Pemprov Sultra tengah memohonkan 21 ribu hektare hutan lindung ke pemerintah pusat untuk diturunkan statusnya menjadi hutan produksi.

Guna mewujudkan ambisi besar itu, Pemprov Sultra juga menyertakan desain rencana revisi tata ruang wilayah Provinsi. Namun rencana tersebut langsung menuai protes oleh para penggiat lingkungan di daerah ini. Mereka menilai revisi tata ruang adalah upaya pemerintah untuk mengakomodir kepentingan investor dan mengabaikan nasib masyarakat serta mengesampingkan aspek lingkungan.

“Sebenarnya rencana rivisi tata ruang ini akan menjadi pintu bagi perusakan hutan dengan dalih investasi,” kata Hartono, Direktur Eksekutif Daerah Walhi Sultra dalam sebuah diskusi dengan penggiat lingkungan lainnya, pekan lalu

Inisiatif gubernur Sultra untuk melakukan rencana revisi tata ruang wilayah tak lepas dari arahan dan saran Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudoyono (SBY) saat kampanye Pilpres Agustus 2009 di gedung Koni Kendari. Saat itu SBY berpesan kepada kepala daerah di Indonesia (termasuk Sultra) agar memanfaatkan potensi Sumber Daya Alam (SDA) dengan mengandeng investor. Pengelolaan SDM ini dharapkan dapat mengangkat kesejahteraan masyarakat. Namun SBY juga berpesan agar dalam proses ini, Pemerintah daerah harus melibatkan masyarakat di dalamnya.

“Jangan sampai justru masyarakat lokal hanya jadi penonton di negeri sendiri, perusahaan wajib mengakomodir mereka sebagai tenaga kerja,” kata SBY waktu itu. SBY berpesan agar lingkungan tetap diperhatikan. “Kalau perusahaan itu hanya mau datang mengeruk hasil bumi tapi tidak melakukan perbaikan lingkungan, maka itu harus ditindak tegas,” ujarnya.

Sebelumnya, Nur Alam pada suatu acara di arena eks MTQ Kendari 25 September 2008, yang dihadiri SBY, meminta kebijakan khusus mengnai percepatan pembangunan daerahnya dengan memanfaatkan potensi Sumber Daya Alam. Secara spontan SBY dalam sambutannya menginstruksikan Nur Alam segera menyusun konsep percepatan pembangunan dimaksud untuk dibahas di Jakarta.

Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Nur Alam. Pemprov Sultra bergerak cepat menyusun konsep itu dan membawahnya ke Pusat untuk dibahas. Departemen Kehutanan juga telah menurunkan tim terpadu 27 Desember 2009 lalu untuk mengevaluasi rencana revisi tata ruang wilayah kawasan hutan di Sulawesi Tenggara (Sultra). Sejak itu protes dari berbagai kalangan NGO Lingkungan di Sultra mulai bermunculan.

Kerusakan Ekologi
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sultra menyimpulkan bahwa, usulan revisi yang rencananya akan berlanjut pada penetapan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan menimbulkan ancaman terhadap keberlanjutan kawasan ekologi genting. Sebab, sejumlah kawasan yang diusulan untuk kedalam revisi tata ruang merupakan Kawasan Ekologi Genting (KEG), yakni areal hutan yang kaya keaneka ragaman hayati yang berfungsi sebagai penyangga kehidupan secara ekologi, ekonomis, sosiokultural di darat maupun di wilayah pesisir laut.

Ciri-ciri kawasan Ekologi Genting (KEG) yang berfungsi sebagai penyangga kehidupan antara lain; merupakan wilayah resapan air yang berfungsi hidrologis, penahan air, penyedia unsur hara, rumah bagi keragaman hayatai, dan keseimbangan suhu, merupakan penjamin sumber pangan, air bersih, maupun energi bagi masyarakat secara berkelanjutan, merupakan ruang hidup bagi komunitas-komunitas yang berinteraksi dengan basis nilai-nilai kearifan lokal yang terikat dalam kawasan tersebut.

Tono, sapaan akrab Hartono, menilai semangat pemerintah daerah untuk merevisi tata ruang lebih berorientasi terhadap kepentingan investasi tambang dan perkebunan. “Terbukti dari hasil data dan analisis bahwa sejumlah kawasan yang akan direvisi merupakan bagian dari rencana peta investasi pertambangan dan perkebunan kelapa sawit,” katanya.

Dia mencontohkan praktek investasi PT. Damai Jaya Lestari, (Perkebunan Kelapa Sawit) di hutan produksi wilahyah Kabupaten Konawe Utara mengajukan pelepasan kawasan kepada mentri kehutanan namun ditolak. Selain itu, masih ada praktek investasi PT. Sultra Prima Lestari, yang bergerak pada usaha perkebunan kelapa sawit dalam hutan produksi, di wilayah Kabupaten Konawe Utara. Perusahaan ini juga mengajukan permohonan pelepasan kawasan kepada Menteri Kehutanan, namun juga ditolak.

Selanjutnya, Kuasa Pertambangan milik Perusahaan Daerah Sultra Utama yang mendapatkan izin Ekplorasi dari gubernur Sultra. Perusahan ini memiliki izin konsensi dalam wilayah Kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai seluas 107 Ha. Ada juga PT. Ganesa Delta Pratama dengan izin eksplorasi di pada kawasan yang sama seluas 856 Ha.

Contoh lainnya adalah pembukaan jalan yang membelah kawasan Suaka Marga Satwa Tanjung Peropa sepanjang 21 Km di Kabupaten Konawe Selatan, adalah salah contoh nyata dari bentuk penghancuran lingkungan yang dilakukan pemerintah daerah.

Menurut Tono, praktek kejahatan lingkungan dengan menggunakan revisi tata ruang wilayah untuk memutihkan beberapa pelanggaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam kawasan hutan konservasi.

Walhi Sultra mendesak Menteri Kehutanan agar menolak usulan revisi rencana Tata ruang Wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara Subtansi Kehutanan.. Selain itu, WALHI juga meminta Polda Sultra untuk melakukan penyelidikan terhadap gubernur dan bupati yang memberikan Izin terhadap perusahaan pertambangan dan perkebunan baik eksplrorasi maupun eksploitasi di dalam kawasan hutan negara tanpa melalui mekanisme perundang – undangan yang ada.

Nur Alam berdalih, hutan lindung di Sultra terlalu luas jika dibandingkan hutan yang dapat dimanfatkan untuk dikelola. Ia memandang perlunya pengurangan hutan lindung. Terlebih lagi hutan lindung dan kawasan hutan konservasi banyak mengandung depost nikel dan emas, sehingga perlu digarap (eksploitasi).

“Hutan kita terlalu luas, kita mau mengurangi hanya sebagian kecil saja, ini kan juga untuk kepentingan masyarakat Sultra,” kata Nur Alam dalam setiap kesempatannya. (Rustam)