Sabtu, 19 Desember 2009

Kami tidak Mau Mosolo Seperti Pulau Gebe

Pertambangan

Penggalan kalimat itu diucapkan Lampio (60 thn), salah seorang tokoh masyarakat desa Mosolo, Kecamatan Wawonii Tenggara, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara (Sultra). Penuturan Lampio itu spontan diucapkannya ketika ditanya wartawan Media Sultra, kalau seandainya tanah desa Mosolo dieksploitasi oleh kaum berduit untuk kepentingan bisnis nikel.

Mosolo,adalah sebuah desa kecil yang terisolir dengan jumlah penduduk sekitar 270 KK. Sebuah daerah yang bisa dikatakan masih tertinggal dengan segenap keterbatasan. Warga di sini sehari-harinya mengandalkan penerangan tenaga surya yang hanya bisa dimanfaatkan pada tiga buah bola mata lampu. Untuk mencapai desa itu hanya bisa dilewati melalui jalur laut dengan menggunakan perahu kantinting atau speed boat carteran. Itupun pada bulan Mei sampai Agustus (Musim Timur). Gelombang cukup tinggi dan berbahaya karena berada pada lutan lepas, laut Banda.

Desa ini pernah menjadi desa percontohan tingkat nasional pada tahun 1992 untuk ketegori lomba kebersihan dan pembangunan. Desa Mosolo memiliki tanah yang subur. Hampir seluruh warga di desa ini menjadi petani. Hasil perkebunan yang paling menonjol dan hasilnya cukup melimpah adalah Cengkeh, Jamu Mete dan Kelapa. Satu pohon Cengkeh bisa menghasilkan 10 hingga 20 kilogram cengkeh kering jenis super.

“Dalam satu kali panen bisa menghasilkan sampai Rp.50 juta, tergantung harga cengkeh dipasaran, belum lagi untuk jambu mete ataupun kelapa,” kata La Ode Abdi, mantan kepala desa Mosolo.

Bandingkan dengan penghasilan warga yang bekerja pada perusahaan tambang yang hanya memperoleh gaji Rp.1,2 juta per bulan. Jauh lebih kecil jika dibandingkan hasil perkebunan mereka. Warga Mosolo khawatir jika tambang beraktivitas produksi tanaman perkebunan mereka menurun bahkan mati. Sementara tambang hanya sementara dan jangka waktunya juga singkat.

Belajar dari Pengalaman
Kekhawatiran masyarakat desa Mosolo terhadap tambang karena beberapa warganya yang pernah merantau punya pengalaman dan catatan buruk soal aktivitas pertambangan di pulau Gebe, Maluku Utara.

Pulau Gebe adalah sebuah pulau yang hancur akibat pengelohan tambang nikel yang tidak ramah lingkungan. Itu sebabnya Lampio bersama ratusan warga lainnya di desa Mosolo menentang dan menolak kehadiran investor tambang karena takut kalau wilayah kelola pertanian mereka tergusur oleh perusahaan. Selain itu, ketersediaan air bersih dan pangan bakal mengancam kehidupan mereka.

“Kami tidak mau Mosolo menjadi seperti pulau Gebe yang sampai air lautnya menjadi merah dan tanahnya sudah tidak bisa ditanami apapun. Mau jadi apa kita ini, jika Mosolo sudah seperti itu,sedangkan kami semuanya hanya petani yang menggantungkan diri dari berkebun, “ ujar Lampio dengan suara lantang.

Kalimat menentang itu dilontarkan Lampio karena desa mereka kini terancam tergusur akibat kegiatan eksplorasi nikel oleh PT.Bumi Konawe Mining. Perusahaan itu memiliki wilayah konsesi seluas 7 ribu hektar, yang sebagian besar masuk dalam wilayah desa Mosolo. Padahal 50 persen desa Mosolo adalah lahan produkti untuk tanaman pertanian dan perkebunan seperti Jagung, Kacang Kedelai, Ubi Kayu, Jagung palawija, Cengkeh, jambu Mete dan kelapa.

Selain hilangnya sebagian wilayah kelola masyarakat, ketersediaan air bersih dan banjir akibat kerusakan pada daerah resapan air kini menjadi ancaman yang menakutkan bagi warga Mosolo.

La Ode Abdi mengatakan, warga Mosolo menolak kehadiran investor tambang karena secara ekonomi tidak mengutungkan buat warga. Pada umumnya warga tak bisa bekerja pada perusahaan karena sulit menyesuaikan pada pekerjaan tambang yang menurut mereka adala pekerjaan baru yang sulit untuk dilakukan.

“Kami menolak tambang karena khawatir jikalau kelak sumber mata air mati. Lalu bagaimana dengan kebun kami. Karena kami tahu semakin banyak menanam maka semakin banyak rejeki. Kebanyakan masyarakat Mosolo yang tidak mengerti dengan pertambangan pada akhirnya hanya sebagai buruh pabrik, yang kalau dihitung-hitung hasilnya tidak sebanding dengan hasil dari perkebunan kami sendiri,” kata La Ode Abdi yang 18 tahun menjadi kepala desa Mosolo.

Penolakan warga atas kehadiran investor tambang dilakukan dengan aksi demontrasi. Bahkan aksi demo penolakan ini telah dilakukan warga Mosolo sejak Agustus 2008. Tapi warga dalam posisi sulit karena Pemkab Konawe sudah terlanjur memberikan izin KP kepada investor tanpa ada pemberitahuan atau sosialisasi lebih awal kepada warga.

“Posisi kami sulit karena investor itu membawa surat izin resmi tembusan dari bupati Konawe, namun saya selaku pemerintah desa harus mementingkan kepentingan dan aspirasi masyarakat. Karena dampak yang ditimbulkan akan dirasakan oleh warga termasuk saya sendiri, “ ujar Sahyuddin, sekretaris desa Mosolo.

Sosialisas baru dilakukan ketika warga sudah ribut memprotes eksplorasi karena dilakukan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Eksplorasi dilakukan pada areal hutan yang berjarak 3 kilometer dari desa Mosolo sejak Januari hingga Juli 2009, dengan jarak titik eksplorasi berdiameter 100 sampai 200 meter. Untuk penggalian lubang sebagai bahan penyelidikan, warga digaji Rp.50 ribu per matabor. Hal itu dikatakan Basri, warga Mosolo yang diangkat menjadi Humas PT.Bumi Konawe Mining.

“Pengeboran dilakukan berdiameter 8X8 meter dan kami menghindari jangan sampai merusak tanaman warga, kalaupun ada walau hanya lecet pasti kami lakukan ganti rugi,” ujar Basri yang mengaku menerima upah Rp.1,2 dari perusahaan.

Sikap penolakan warga Mosolo sebaiknya menjadi contoh bagi warga lainnya di wilayah konsesi pertambangan. Pemerintah harus jeli memberikan izin kepada investor dan melibatkan warga setempat. Meski dengan tingkat pendidikan yang rendah, namun mereka cukup paham dampak yang ditimbulkan dari aktivitas pertambangan, seperti rusaknya bentangan alam yang akan dirasakan selamanya, padahal mereka semua bergantung pada kebaikan alam.

Bagi Sahyuddin, ancaman banjir dan longsor hanya sebagian kecil dari dampak kerusakan lingkungan yang akan terjadi. “Cukup pulau Gebe saja yang menjadi rusak, jangan sampai hal yang sama terjadi di Mosolo. Harus dipahami lebih mendalam manfaat dan mudaratnya itu sendiri,” (Oleh Merlyn-Rustam)

1 komentar: