Tak banyak yang berubah setelah kurang lebih dua tahun aktivitas pertambangan emas di kabupaten Bombana berlangsung. Nyaris tak ada perubahan nasib masyarakat setempat. Sebaliknya yang terjadi secara signifikan adalah perubahan bentang alam, konflik tanah, kriminal, merebaknya penyakit kulit dan tingginya biaya hidup yang harus dipikul oleh masyarakat.
Bahkan dampak penambangan emas kini mulai menggeser mata pencaharian tetap warga setempat. Aktivitas pertambangan emas yang memerlukan suplai air dalam jumlah besar, saat ini telah mengorbankan sumber-sumber pendapatan dan mata pencaharian masyarakat seperti pertanian, usaha tambak ikan bandeng, kepiting dan udang.
Krisis air akibat keringnya sungai Langkowala yang menjadi sumber air irigasi sudah tidak mampu mengairi 511 hektar sawah yang berada di dua kecamatan yakni kecamatan Lantari Jaya dan Rarowatu Utara membuat masyarakat resah. Belum lagi pencemaran air akibat penggunaan cairan merkuri. Kekeringan terjadi akibat penyumbatan aliran sungai oleh salah satu Kuasa Pertambangan (KP).
Dahulu sebelum adanya aktivitas pertambangan, petani didua kecamatan tersebut bisa menghasilkan produksi beras di areal 11 ribu hektar sawah sebanyak 3-4 ton gabah kering giling. Pertanian Bombana yang dulu sempat menjadi lumbung padi dan daerah pengembangan ternak sapi di Sultra, saat ini tak bisa diharapkan lagi.
Pada tahun 2008, Bombana mengalami surplus beras sebanyak 500 ton,sedangkan pada tahun 2009 ini dipastikan menurun drastis akibat suplai produksi di dua kecamatan tersebut gagal panen, bahkan sama sekali tidak ada produksi beras.
Kurman, salah seorang anggota kelompok tani di Desa Lantari menuturkan, pada tahun 2007 lalu ia dan 14 kelompok tani lainnya, perhektarnya bisa menghasilkan 95 hingga 250 kwintal gabah kering giling.
“Biasanya, 5 sampai 6 hektar sawah bisa menghasilkan 250 karung atau setara dengan 40 juta per satu kali panen. Namun sejak bulan November 2008 lalu tidak ada lagi produksi yang dikarenakan irigasi dari bendungan Langkowala sudah tidak berfungsi lagi,” katanya.
Hal tersebut dibenarkan oleh kepala Dinas Pertanian Bombana, Sirajuddin. Ia mengakui pada tahun ini target partanian Bombana turun 30 persen dari yang ditargetkan.
Selain untuk pertanian aliran irigasi bendungan langkowala mengaliri juga usaha pertambakan ikan bandeng dan udang yang diusahakan oleh masayarakat yang berada di kecamatan Lantari Jaya seperti di desa Anugerah, Rarepua, dan Rarongkeu dengan luas arel tambak 700 hektar lebih. Usaha tambak cukup menjanjikan, dalam empat hektar tambak bisa menghasilkan 2.000 hingga 5.000 ekor ikan bandeng yang jika dirupiahkan menjadi Rp.3 juta.
Tapi, para pengusaha tambak kini mulai resah setelah ditemukannya kandungan merkuri pada sisa air di sungai Langkowala oleh hasil uji laboratorium Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Unhalu, beberapa waktu lalu.
Minim Hasil
Sekretaris Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Bombana Hernawaty mengatakan, pendapatan asli daerah ( PAD) yang berasal dari sektor pertambangan hingga September 2009 baru mencapai 1,5 % atau 923 juta, dari Rp.62 miliar yang ditargetkan. Khusus hasil tambang emas baru mencapai Rp.522 juta.
Hasil yang mengecewakan jika dibandingkan dengan banyaknya sektor lain yang dirugikan oleh adanya aktivitas pertambangan. Banyaknya sawah yang kering, petani kehilangan mata pencariannya, dan ancaman banjir bercampur air yang sudah tercemar mercury mengancam petani dan usaha tambak yang berada di sekitar aliran sungai Langkowala dan Wumbubangka.
Izin Kuasa Pertambangan (KP) emas dengan mudah diterbitkan oleh pemerintah Kabupaten Bombana tanpa harus melalui kajian yang mendalam dan memikirkan dampaknya. Begitu pula warga dengan leluasa berebut lahan galian emas tanpa memperdulikan pemilik tanah dan kerusakan lingkungan.
Menurut aktivis WWF – Kendari, Hasrul Kokoh, dalam kegiatan pemurnian emasnya diperlukan setidaknya 100 liter air untuk 1 gram emas. Dengan kandungan emas yang diperkirakan oleh pemerintah sebanyak satu juta ton, bisa dibayangkan berapa miliar liter air yang diperlukan untuk emas sebanyak itu, dan yang menjadi pertanyaannya dari mana sumber air itu akan diperoleh, sedangkan untuk saat ini dampak lingkungan yang ditimbulkan sudah sedemikian besarnya.
“Kita bisa membandingkan nilai ekonomis yang didapatkan jikalau keberadaan sumber air tetap terjaga keberadaannya. Mengambil contoh pemanfaatan sumber air yang ada di kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW), berdasarkan hasil penelitian Indra Putri dkk pada tahun 2005 nilai ekonomis untuk pemanfaatan air di TNRAW mencapai Rp.363.994.765/ tahun,” ujarnya.
Dan khusus sebagai penyedia air TNRAW juga menjadi sumber air dari PDAM didesa Atari Pinganggosi Kolaka.
Menanggapi kerusakan ini, pihak DPRD Bombana telah melakukan rapat dengar pendapat dengan sejumlah SKPD yang berada di lingkup pemkab Bombana sekaligus untuk melihat langsung hasil pengujian FPIK Unhalu tentang pencemaran mercuri.
Dalam hearing ini, Dinas Pertambangan Bombana yang diwakilkan oleh kasi pertambangan umum, Rajman mengatakan selama ini dinas pertambangan dibiarkan berjalan sendiri untuk mengambil tanggung jawab sendiri, sementara dampak yang ditimbulkan adalah tanggung jawab semua pihak.
Namun anggota dewan dari Partai Gerindra Laode Usman Sandiri mengatakan, semestinya sebelum mengeluarkan izin KP, pihak Dinas pertambangan Bombana sudah harus melakukan pengawasn dan penelitian dalam pengeluaran izin pertambangan agar hal hal yang terkait dengan kerusakan lingkungan sudah bisa diantisipasi.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kebersihan, Pertamanan dan Pemakaman Kabupaten Bombana, Laode Muh.Rusdin, setiap 6 bulan tim dari Dinas KLH Bombana melakukan pemantauan wajib di areal tambang. Terkait kerusakan lingkungan yang terjadi, KLH akan melakukan penelitian kembali AMDAL yang diterbitkan oleh pemegang izin KP, termasuk perbaikan alur sungai, perbaikan vegetasi, dan pengontrolan AMDAL yang lebih ketat.
Dalam hearing ini disepakati pembentukan tim penelitian lanjutan yang melibatkan segenap stakeholder lintas sektoral agar hasilnya lebih valid dan dapat dipertanggungjawabkan, diperlukan pembentukan badan khusus untuk berbicara tentang moratorium pertambangan emas, audit lingkungan, penegakan hukum yang terkait kepemilikan lahan dan melakukan penataan lingkungan yang lebih baik.
Jika pengelolaan tambang emas Bombana terus dilakukan secara eksploitatif maka Bombana akan dihadapkan pada banyak permasalahan seperti krisis air, krisis pangan, krisis sosial, krisis agraria, rendahnya kualitas kesehatan sera ancaman penyakit terkait dengan pencemaran mercuri bagi masyarakat sekitar kawasan tambang khususnya dan masyarakat Sultra pada umumnya. (Merlyn & Rustam)
Sabtu, 19 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar