Kamis, 05 November 2009

Primadona Tapi tidak Mensejahterakan

Oleh Rustam


Peruk bumi Sultra kaya akan kandungan tambang seperti nikel, emas, aspal, mangan dan bauksit. Pemerintah Provinsi Sultra memperkirakan nilai ekonomi potensi sumberdaya tambang Sultra seperti nikel dalam bentuk ore deposit sebanyak 97,4 miliar ton, aspal curah deposist 3,8 miliar dan emas diperkirakan mencapai 1,125 juta ton. Jika dirupiahkan melebihi Rp.300 trilun lebih.

Potensi tersebut tersebar pada kawasan hutan seluas 481.741,61 ha yang tersebar di seluruh wilayah kabupaten kota minus Wakatobi dan kota Kendari. Itulah sebabnyak Sultra menjadi incaran bagi banyak perusahan tambang, mulai kelas kakap hingga sekelas ‘ikan teri’. Dengan hitungan perkiraan tersebut, pemerintah melalui gagasan gubernur Nur Alam berkeinginan kuat menjadikan daerah bumi Anoa, julukan daerah Sultra sebagai pusat pertambangan nasional.

Upaya mencapai cita-cita itu, Pemprov Sultra akan melakukan revisi terhadap tata ruang. Dalam rencana tata ruang itu, Pemprov Sultra akan mengusulkan penurunan atau rasionalisasi sejumlah kawasan hutan lindung termasuk hutan koservasi ke pusat. “Hutan kita terlalu luas. Sementara yang kita manfaatkan sedikit sekali,” kata Nur Alam dalam setiap kesempatan ketika berbicara soal tambang.

Menurut Nur Alam, jika potensi tersebut digarap secara maksimal maka akan menurunkan angka kemiskinan dan tercapainya masyarakat yang sejahtera. Keiiginan Nur Alam tersebut sebagai salah satu upaya meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) pada sektor ini. Namun keinginan itu belum terwujud. Dari 10 kabupaten/kota yang memiliki kawasan pertambangan, tak satupun daerah yang mencapai target pendapatan, bahkan jauh dari yang diharapkan.

Pemerintah berdalih, tidak tercapainya target pada sektor pertambangan disebabkan anjloknya harga nikel di pasaran dunia. Selain itu, masih banyak Kuasa Pertambangan (KP) yang belum beroperasi.

Bahkan pendapatan pada sektor ini masih sangat kecil. Kalah dengan hasil dan kontribusi sektor pertanian dan perkebunan yang selama ini menjadi pekerjaan sebagian besar masyarakat Sultra. Tak ada angka pasti kontribusi kedua sektor tersebut yang selama ini menjadi andalan, namun hasil kajian ekonomi Sultra pada triwulan II yang dilakukan Kantor Bank Indonesia (KBI) Kendari beberapa waktu lalu, pertanian, perdagangan adalah pembentuk Pendapatan Demestik Ragional Bruto (PDRB) ekonomi Sultra saat ini.

Ditentang
Tapi upaya pemerintah menurunkan status sejumlah kawasan hutan lindung mendapat reaksi dan protes dari sejumlah aktivis lingkungan dan akademisi. Mereka menganggap penurunan status hutan lindung akan mengancam keberlangsungan ekosistem.

Direktur Eksekutif Walhi Sultra, Hartono, mengatakan dengan merusak ekossitem akan banyak aspek yang berubah seperti aspek social, akan banyak warga yang kehilangan pekerjaan dan beralih menjadi buruh akibat wilayah kelola masyarakat semakin berkurang.

Dari sisi lingkungan, semakin berkurangnya atau bahkan tidak ada lagi daerah penyangga air untuk mencegah kekeringan atau cadangan sumber air untuk jangka panjang. Kondisi terburuk adalah terjadinya banjir dan naiknya suhu akibat hilangka funsi hutan.

“Kami mengingatkan kepada pemerintah daerah agar tidak melakukan penurunan status pada kawasan hutan lindung. Jangan sampai alasan untuk mensejahterakan masyarakat tapi sebaliknya kemiskinan yang diperoleh,” katanya.

Ir. Utama Pangeran, pembantu dekan FPIK Unhalu dalam pandangannya mengatakan, kebijakan pemerintah daerah untuk mengelola sumber daya alam sebaiknya perpatokan pada pendekatan ekologi, jangan hanya mengedepankan pendekatan ekonomi.

“Saya melihat pemerintah hanya menghitung nilai ekonomi pada sumber daya alam yang akan dieksploitasi, tapi tidak menghitung secara keseluruh apa yang ada disekelilingnya, seperti jasa lingkungan, nilai sosial dan budaya dan beberapa nilai ekonomi lainnya,” ujarnya.

Kemiskinan

Tapi apa yang terjadi. Ditengah maraknya aktivitas tambang, gundulnya kawasan hutan, justru mendatangkan kemiskinan bagi warga terutama di sekitar wilayah pertambangan. Desa Tambea, kecamatan Kolaka adalah satu dari sekian banyak desa yang kini warganya hidup dengan kemiskinan. Padahal mereka tinggal tak jauh dari pabrik PT. Antam Tbk, kira-kira 3 kilo meter dari lokasi pabrik pemurnian nikel.

Kemiskinan itu harus dipikul oleh ribuan warga desa Tambea dan sekitarnya akibat pendapatan mereka dari hasil tangkapan ikan, budidaya teripang dan rumput laut menurun bahkan hilang akibat tercemarnya laut di sekitar mereka. Pencemaran itu berusumber dari cekdam Antam yang bobol pada beberapa tahun silam.

Ancaman kemiskinan kini juga menghantui masyarakat kelurahan Lambela, Donggala, kecamatan Kabaena Timur. Mayoritas nelayan dan petani rumput laut mulai meributkan kehadiran Kuasa Pertambangan PT. Billy, yang mulai melakukan eksploitasi pada 2008 lalu. Akibat aktivitas di atas pemukiman warga, pantai dan anak-anak sungai tercemar akibat lumpur berwarna kemerahan yang merebes.

Akibatnya warga protes berunjuk rasa di kantor PT. Billy. Kasus itu terjadi pada 2008. Yang tak kalah menderitanya saat ini adalah warga kecamatan Lantari Jaya dan Rarowatu Utara. Akibat akitvitas pertambangan emas sejak 2008 lalu, warga harus menanggung beban hidup yang cukup tinggi. Para petani di sini juga tak bisa menggarap sawahnya air bendungan dari Langkowala tehenti akibat dibendung oleh salah satu perusahaan tambang. (***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar