Oleh Rustam
Cukong kayu rupanya tak puas mengarap habis hutan Sulawesi Tenggara. Sejumlah kawasan konservasi dan hutang lindung yang banyak menyimpan keanekaragaman hayati dan fauna yang bernilai ekonomi tinggi pun dibabat habis. Hutan gundul, tanah tandus dan sumber air mengering adalah dampak yang dihasilkan dari keserakahan itu.
Sulawesi Tenggara merupakan salah satu daerah trpois di Indonesia yang memiliki kawasan hutan yang cukup luas yakni 2.600.137 hekatare atau 68,20% di luar kawasan laut seluas 1.507.000 hekatare. Dari luasan hutan tersebut, 281.302 hektare atau 7,36 % berada pada kawasan konservasi yaitu Taman Swaka Marga Satwa Batikolo, Amolengo dan Tanjung Peropa, di luar Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW) yang memiliki luas 105.194 ha.
Selebihnya berada pada kawasan hutan lindung 1.061,270 ha (27,75%), hutan produksi terbatas seluas 417,701 ha (10,92%), hutan produksi 627,741 ha (16,42%),dan untuk hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 212,123 ha atau 5,55%.
Namun keberadaan kawasan hutan konservasi itu kini semakin terancam dan perlahan menyusut akibat ulah masyarakat yang mengambil dan menebang pohon secara tidak terkendali. Mereka menjadi kaki tangan yang dijadikan sapi perah para cukong kayu yang ada di daerah ini. Warga dengan leluasa menjarah kawasan hutan di bawah pengawasan aparat kehutanan dan instansi terkait lainnya.
Lihat saja TN Rawa Aopa dan Tanjung Peropah, kedua kawasan konservasi yang amat penting itu, merupakan sumber penyangga kehidupan bagi masyarakat di sekitarnya, yang kini sebagian hutan perawannya hilang termasuk aneka satwa dan keanekaragaman hayati bernilai tinggi lenyap seketika. Ironisnya, TN Rawa Aopa yang memiliki kekuatan hukum UU dan diakui oleh dunia Internasional melalui Konvensi Ramsar atau Ramsar Convention, kini sebagian wilayahnya dicaplok warga dan membentuk unit pemukiman dan meluas menjadi desa.
Pemerintah Kabupaten Konawe Selatan pun justru melegitimasi pembentukan desa pemekaran di dalam kawasan TN Rawa Aopa melalui rancangan peraturan daerah (Perda) tentang pembentukan/pemekaran desa.
TN Rawa Aopa tersebar di empat kabupaten yaitu Bombana 43.35 % yang meliputi daerah Lantari, Aneka Marga, Mataosu, Konawe Selatan 45.35 % meliputi Angata, Benua,Kalembuu, Tinanggea, Kolaka 12.19 % meliputi Tirawuta, Loes, Ladongi, Lambandia,Tangketada dan Watubangga, serta Konawe 5.93 % meliputi Lambuya dan Puriala.105.194 ha.
Tak hanya itu, kota Kendari juga mengambil jasa ekonomi TN Rawa Aopa dengan memanfaatkan air sungai Pohara yang sebagian sumber PDAM kota Kendari yang mengalir dari genangan air Rawa Aopa.
Penjarahan
Hasil monitoring selama 2009 oleh Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Sultra, mencatat telah terjadi penjarahan pada tiga kawasan konservasi Taman Suaka Alam, diantanya, Suaka Marga Satwa Batikolo, Amolengo dan Tanjung Peropa.
Hal itu disebabkan akibat pemberian izin pemanfaatan kayu yang berdekatan dengan Taman Konservasi, yang mengakibatkan penjarahan melebar masuk dalam kawasan konservasi. Akibatnya, ratusan pohon yang dilindungi nyaris tak terlihat lagi.
Kepala Seksi Konservasi Wilayah II BKSDA Sultra, Sakrianto Djawie, mengatakan, pemberian izin yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan (Dishut) setempat kepada pemegang Izin tidak melibatkan BKSDA Sultra, terutama dalam melakukan Cruizing pohon sehingga para pemegang izin dalam melakukan penebangan pohon yang telah dicruizing masuk dalam kawasan konservasi.
“Dinas Kehutanan setempat mestinya melibatkan kami dalam melakukan crusing, agar para pemegang izin penebangan atau pemanfaatan kayu tidak masuk dalam kawasan konservasi. Karena kita ketahui bersama, hutan yang bisa dimanfaatkan kayunya saat ini tidak sebanyak seperti yang ada di kawasan konservasi,” katanya.
Menurut Sakrianto, kawasan konservasi hanya 10 persen dari total hutan di Sultra, sehingga kawasan konservasi tersebut sangat penting untuk dipertahankan. Kawasan konservasi memiliki fungsi sebagai tempat perlindungan satwa, sebagai reservoir atau daerah resapan, termasuk benteng terakhir suatu kawasan hutan untuk kelangsungan kehidupan yang lebih panjang.
Jika dibiarkan hal ini terjadi, akan berakibat buruk terhadap satwa yang ada didalamnya maupun masyarakat yang berada disekitarnya. Pasalnya hutan penyangga akan hilang dan akhirnya mengalami degradasi potesnsi maupun kawasannya.
”Yang 10 persen saja yang kita pertahakan, yang lainnya biarlah dijadikan hutan produksi atau dimanfaatkan. Karena kalau semuanya dimanfaatkan kita tinggal tunggu bencana yang akan datang,” ujarnya.
Tapi Pemda tak perlu menunggu lama, dua izin Kuasa Pertambangan (KP) yakni PT. Ganesa Delta Permata dan PT. Sultra Utama Nikel, telah dikeluarkan oleh pemerintah Bombana. Kedua perusahaan itu mengantongi izin eksplorasi emas, yang sebagian wilayah konsesinya masuk di kawasan TN Rawa Aopa.
PT. Ganesa Delta Permata memiliki luas konsesi 8.227 Ha yang terletak di kecamatan Rarowatu Utara blok hutan Labubu, dan bendungan Langkowala dsk Resort Langkowala, Bombana, sedang PT. Sultra Utama Nikel memiliki luas konsesi 2.344 Ha yang terletak di Rarowatu Utara blok hutan Morengke, Lasada, Tiabite dsk Resort Poleang Laea, Bombana.
Kepala TN Rawa Aopa Khalik mengakui kedua perusahaan itu masuk tanpa sepengetahuan mereka. Ia memkinta pemerintah daerah dapat meninjau kembali wilayah konsesi kedua perusahan tersebut.
“Terus terang saja kami tidak pernah diberitahu. Semestinya kalau sudah masuk dalam wilayah Balai Taman Nasional harusnya dikoordinasikan kepada kami,” ujarnya.
Ancaman
Tak hanya penjarahan hasil hutan dan pencaplokan kawasan konservasi, ancaman yang paling mengerikan saat ini adalah tambang. Program Pemerintah Provinsi Sultra yang ingin menjadikan daerah ini sebagai pusat pertambangan nasional, telah mengancam keberadaan sejumlah kawasan konservasi dan hutan lindung di Sultra.
Guna mendukung program itu, gubernur Sultra Nur Alam telah mengajukan pengusulan penurunan status sejumlah kawasan hutan lindung menjadi hutan produksi seluas 21 ribu ha lebih kepada pemerintah pusat. Nur Alam menilai, kawasan hutan lindung dan konservasi banyak menyimpan deposit nikel, sehingga perlu dieksploitasi.
“Hutan kita terlalu luas. Kita mau mengurangi hanya sebagian kecil saja, ini kan juga untuk kepentingan mensejahterakan masyarakat Sultra,” kata Nur Alam dalam setiap kesempatannya.
Namun rencana penurunan status hutan lindung itu, menuai protes oleh sejumlah aktivitas dan akademisi.Direkrut Eksekutif Walhi Sultra Hartono menilai penurunan status sejumlah kawasan hutan lindung merupakan keserakahan pemerintah. Pemerintah harus memperhatikan resiko lingkungan dan ekologi, sosial dan budaya masyarakat.
“Apakah tidak cukup wilayah pertambangan yang saat ini telah diolah oleh pemerintah yang diberikan kepada para investor tambang. Kalau katanya untuk kesejahteraan masyarakat, mana buktinya, masyarakat jutsru tak pernah merasakan bahkan hanya menjadi obyek penderita dari kebijakan pemerintah yang tidak populis,” kata Hartono.
Hartono meminta kepada pemerintah pusat agar tidak menyetujui usulan tersebut. Pemerintah pusat harus jeli melihat kondisi rill yang akan terjadi nanti.
Rektor Unhalu Usman Rianse pada penandanganan MoU dengan pihak TN Rawa Aopa pada Februari lalu, mengatakan keberadaan TNRAW perlu disikapi dengan netral. Menurutnya, secara ekonomi ataupun kekayaan alam seperti tambang, hasil hutan yang ada di dalam taman nasional seharusnya diberi nilai nol. Sebab nilai nol ini merupakan strategi pengembangan taman nasional berbasis sosial budaya.
"Dalam Taman Nasional bersimbiosis-mutualisme. Apabila kayu di dalam Taman Nasional hilang, maka seluruh hasil alam yang berada di dalamnya akan lenyap juga. Mempertahankan Taman Nasional bukan berarti mempertahankan uang, melainkan untuk masa depan. Sebab kesalahan sekarang bisa jadi bahaya masa datang, sehingga jangan menyederhanakan masalah yang ada didepan kita," tukasnya.
Unhalu sepakat menjadikan TN Rawa Aopa sebagai “laboratorium” penelitian bagi mahasiswa dan dosen Fakultas MIPA dan jurusan ilmu kehutanan Unhalu. (***)
Rabu, 18 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar