Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Nur Alam sangat berobesi ingin menjadikan Sultra sebagai pusat pertambangan nasional. Tak tanggung-taggung, kawasan hutan lindung pun masuk dalam target pengelolaan tambang. Saat ini Pemprov Sultra tengah memohonkan 21 ribu hektare hutan lindung ke pemerintah pusat untuk diturunkan statusnya menjadi hutan produksi.
Guna mewujudkan ambisi besar itu, Pemprov Sultra juga menyertakan desain rencana revisi tata ruang wilayah Provinsi. Namun rencana tersebut langsung menuai protes oleh para penggiat lingkungan di daerah ini. Mereka menilai revisi tata ruang adalah upaya pemerintah untuk mengakomodir kepentingan investor dan mengabaikan nasib masyarakat serta mengesampingkan aspek lingkungan.
“Sebenarnya rencana rivisi tata ruang ini akan menjadi pintu bagi perusakan hutan dengan dalih investasi,” kata Hartono, Direktur Eksekutif Daerah Walhi Sultra dalam sebuah diskusi dengan penggiat lingkungan lainnya, pekan lalu
Inisiatif gubernur Sultra untuk melakukan rencana revisi tata ruang wilayah tak lepas dari arahan dan saran Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudoyono (SBY) saat kampanye Pilpres Agustus 2009 di gedung Koni Kendari. Saat itu SBY berpesan kepada kepala daerah di Indonesia (termasuk Sultra) agar memanfaatkan potensi Sumber Daya Alam (SDA) dengan mengandeng investor. Pengelolaan SDM ini dharapkan dapat mengangkat kesejahteraan masyarakat. Namun SBY juga berpesan agar dalam proses ini, Pemerintah daerah harus melibatkan masyarakat di dalamnya.
“Jangan sampai justru masyarakat lokal hanya jadi penonton di negeri sendiri, perusahaan wajib mengakomodir mereka sebagai tenaga kerja,” kata SBY waktu itu. SBY berpesan agar lingkungan tetap diperhatikan. “Kalau perusahaan itu hanya mau datang mengeruk hasil bumi tapi tidak melakukan perbaikan lingkungan, maka itu harus ditindak tegas,” ujarnya.
Sebelumnya, Nur Alam pada suatu acara di arena eks MTQ Kendari 25 September 2008, yang dihadiri SBY, meminta kebijakan khusus mengnai percepatan pembangunan daerahnya dengan memanfaatkan potensi Sumber Daya Alam. Secara spontan SBY dalam sambutannya menginstruksikan Nur Alam segera menyusun konsep percepatan pembangunan dimaksud untuk dibahas di Jakarta.
Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Nur Alam. Pemprov Sultra bergerak cepat menyusun konsep itu dan membawahnya ke Pusat untuk dibahas. Departemen Kehutanan juga telah menurunkan tim terpadu 27 Desember 2009 lalu untuk mengevaluasi rencana revisi tata ruang wilayah kawasan hutan di Sulawesi Tenggara (Sultra). Sejak itu protes dari berbagai kalangan NGO Lingkungan di Sultra mulai bermunculan.
Kerusakan Ekologi
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sultra menyimpulkan bahwa, usulan revisi yang rencananya akan berlanjut pada penetapan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan menimbulkan ancaman terhadap keberlanjutan kawasan ekologi genting. Sebab, sejumlah kawasan yang diusulan untuk kedalam revisi tata ruang merupakan Kawasan Ekologi Genting (KEG), yakni areal hutan yang kaya keaneka ragaman hayati yang berfungsi sebagai penyangga kehidupan secara ekologi, ekonomis, sosiokultural di darat maupun di wilayah pesisir laut.
Ciri-ciri kawasan Ekologi Genting (KEG) yang berfungsi sebagai penyangga kehidupan antara lain; merupakan wilayah resapan air yang berfungsi hidrologis, penahan air, penyedia unsur hara, rumah bagi keragaman hayatai, dan keseimbangan suhu, merupakan penjamin sumber pangan, air bersih, maupun energi bagi masyarakat secara berkelanjutan, merupakan ruang hidup bagi komunitas-komunitas yang berinteraksi dengan basis nilai-nilai kearifan lokal yang terikat dalam kawasan tersebut.
Tono, sapaan akrab Hartono, menilai semangat pemerintah daerah untuk merevisi tata ruang lebih berorientasi terhadap kepentingan investasi tambang dan perkebunan. “Terbukti dari hasil data dan analisis bahwa sejumlah kawasan yang akan direvisi merupakan bagian dari rencana peta investasi pertambangan dan perkebunan kelapa sawit,” katanya.
Dia mencontohkan praktek investasi PT. Damai Jaya Lestari, (Perkebunan Kelapa Sawit) di hutan produksi wilahyah Kabupaten Konawe Utara mengajukan pelepasan kawasan kepada mentri kehutanan namun ditolak. Selain itu, masih ada praktek investasi PT. Sultra Prima Lestari, yang bergerak pada usaha perkebunan kelapa sawit dalam hutan produksi, di wilayah Kabupaten Konawe Utara. Perusahaan ini juga mengajukan permohonan pelepasan kawasan kepada Menteri Kehutanan, namun juga ditolak.
Selanjutnya, Kuasa Pertambangan milik Perusahaan Daerah Sultra Utama yang mendapatkan izin Ekplorasi dari gubernur Sultra. Perusahan ini memiliki izin konsensi dalam wilayah Kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai seluas 107 Ha. Ada juga PT. Ganesa Delta Pratama dengan izin eksplorasi di pada kawasan yang sama seluas 856 Ha.
Contoh lainnya adalah pembukaan jalan yang membelah kawasan Suaka Marga Satwa Tanjung Peropa sepanjang 21 Km di Kabupaten Konawe Selatan, adalah salah contoh nyata dari bentuk penghancuran lingkungan yang dilakukan pemerintah daerah.
Menurut Tono, praktek kejahatan lingkungan dengan menggunakan revisi tata ruang wilayah untuk memutihkan beberapa pelanggaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam kawasan hutan konservasi.
Walhi Sultra mendesak Menteri Kehutanan agar menolak usulan revisi rencana Tata ruang Wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara Subtansi Kehutanan.. Selain itu, WALHI juga meminta Polda Sultra untuk melakukan penyelidikan terhadap gubernur dan bupati yang memberikan Izin terhadap perusahaan pertambangan dan perkebunan baik eksplrorasi maupun eksploitasi di dalam kawasan hutan negara tanpa melalui mekanisme perundang – undangan yang ada.
Nur Alam berdalih, hutan lindung di Sultra terlalu luas jika dibandingkan hutan yang dapat dimanfatkan untuk dikelola. Ia memandang perlunya pengurangan hutan lindung. Terlebih lagi hutan lindung dan kawasan hutan konservasi banyak mengandung depost nikel dan emas, sehingga perlu digarap (eksploitasi).
“Hutan kita terlalu luas, kita mau mengurangi hanya sebagian kecil saja, ini kan juga untuk kepentingan masyarakat Sultra,” kata Nur Alam dalam setiap kesempatannya. (Rustam)
Rabu, 27 Januari 2010
Sabtu, 19 Desember 2009
Kami tidak Mau Mosolo Seperti Pulau Gebe
Pertambangan
Penggalan kalimat itu diucapkan Lampio (60 thn), salah seorang tokoh masyarakat desa Mosolo, Kecamatan Wawonii Tenggara, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara (Sultra). Penuturan Lampio itu spontan diucapkannya ketika ditanya wartawan Media Sultra, kalau seandainya tanah desa Mosolo dieksploitasi oleh kaum berduit untuk kepentingan bisnis nikel.
Mosolo,adalah sebuah desa kecil yang terisolir dengan jumlah penduduk sekitar 270 KK. Sebuah daerah yang bisa dikatakan masih tertinggal dengan segenap keterbatasan. Warga di sini sehari-harinya mengandalkan penerangan tenaga surya yang hanya bisa dimanfaatkan pada tiga buah bola mata lampu. Untuk mencapai desa itu hanya bisa dilewati melalui jalur laut dengan menggunakan perahu kantinting atau speed boat carteran. Itupun pada bulan Mei sampai Agustus (Musim Timur). Gelombang cukup tinggi dan berbahaya karena berada pada lutan lepas, laut Banda.
Desa ini pernah menjadi desa percontohan tingkat nasional pada tahun 1992 untuk ketegori lomba kebersihan dan pembangunan. Desa Mosolo memiliki tanah yang subur. Hampir seluruh warga di desa ini menjadi petani. Hasil perkebunan yang paling menonjol dan hasilnya cukup melimpah adalah Cengkeh, Jamu Mete dan Kelapa. Satu pohon Cengkeh bisa menghasilkan 10 hingga 20 kilogram cengkeh kering jenis super.
“Dalam satu kali panen bisa menghasilkan sampai Rp.50 juta, tergantung harga cengkeh dipasaran, belum lagi untuk jambu mete ataupun kelapa,” kata La Ode Abdi, mantan kepala desa Mosolo.
Bandingkan dengan penghasilan warga yang bekerja pada perusahaan tambang yang hanya memperoleh gaji Rp.1,2 juta per bulan. Jauh lebih kecil jika dibandingkan hasil perkebunan mereka. Warga Mosolo khawatir jika tambang beraktivitas produksi tanaman perkebunan mereka menurun bahkan mati. Sementara tambang hanya sementara dan jangka waktunya juga singkat.
Belajar dari Pengalaman
Kekhawatiran masyarakat desa Mosolo terhadap tambang karena beberapa warganya yang pernah merantau punya pengalaman dan catatan buruk soal aktivitas pertambangan di pulau Gebe, Maluku Utara.
Pulau Gebe adalah sebuah pulau yang hancur akibat pengelohan tambang nikel yang tidak ramah lingkungan. Itu sebabnya Lampio bersama ratusan warga lainnya di desa Mosolo menentang dan menolak kehadiran investor tambang karena takut kalau wilayah kelola pertanian mereka tergusur oleh perusahaan. Selain itu, ketersediaan air bersih dan pangan bakal mengancam kehidupan mereka.
“Kami tidak mau Mosolo menjadi seperti pulau Gebe yang sampai air lautnya menjadi merah dan tanahnya sudah tidak bisa ditanami apapun. Mau jadi apa kita ini, jika Mosolo sudah seperti itu,sedangkan kami semuanya hanya petani yang menggantungkan diri dari berkebun, “ ujar Lampio dengan suara lantang.
Kalimat menentang itu dilontarkan Lampio karena desa mereka kini terancam tergusur akibat kegiatan eksplorasi nikel oleh PT.Bumi Konawe Mining. Perusahaan itu memiliki wilayah konsesi seluas 7 ribu hektar, yang sebagian besar masuk dalam wilayah desa Mosolo. Padahal 50 persen desa Mosolo adalah lahan produkti untuk tanaman pertanian dan perkebunan seperti Jagung, Kacang Kedelai, Ubi Kayu, Jagung palawija, Cengkeh, jambu Mete dan kelapa.
Selain hilangnya sebagian wilayah kelola masyarakat, ketersediaan air bersih dan banjir akibat kerusakan pada daerah resapan air kini menjadi ancaman yang menakutkan bagi warga Mosolo.
La Ode Abdi mengatakan, warga Mosolo menolak kehadiran investor tambang karena secara ekonomi tidak mengutungkan buat warga. Pada umumnya warga tak bisa bekerja pada perusahaan karena sulit menyesuaikan pada pekerjaan tambang yang menurut mereka adala pekerjaan baru yang sulit untuk dilakukan.
“Kami menolak tambang karena khawatir jikalau kelak sumber mata air mati. Lalu bagaimana dengan kebun kami. Karena kami tahu semakin banyak menanam maka semakin banyak rejeki. Kebanyakan masyarakat Mosolo yang tidak mengerti dengan pertambangan pada akhirnya hanya sebagai buruh pabrik, yang kalau dihitung-hitung hasilnya tidak sebanding dengan hasil dari perkebunan kami sendiri,” kata La Ode Abdi yang 18 tahun menjadi kepala desa Mosolo.
Penolakan warga atas kehadiran investor tambang dilakukan dengan aksi demontrasi. Bahkan aksi demo penolakan ini telah dilakukan warga Mosolo sejak Agustus 2008. Tapi warga dalam posisi sulit karena Pemkab Konawe sudah terlanjur memberikan izin KP kepada investor tanpa ada pemberitahuan atau sosialisasi lebih awal kepada warga.
“Posisi kami sulit karena investor itu membawa surat izin resmi tembusan dari bupati Konawe, namun saya selaku pemerintah desa harus mementingkan kepentingan dan aspirasi masyarakat. Karena dampak yang ditimbulkan akan dirasakan oleh warga termasuk saya sendiri, “ ujar Sahyuddin, sekretaris desa Mosolo.
Sosialisas baru dilakukan ketika warga sudah ribut memprotes eksplorasi karena dilakukan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Eksplorasi dilakukan pada areal hutan yang berjarak 3 kilometer dari desa Mosolo sejak Januari hingga Juli 2009, dengan jarak titik eksplorasi berdiameter 100 sampai 200 meter. Untuk penggalian lubang sebagai bahan penyelidikan, warga digaji Rp.50 ribu per matabor. Hal itu dikatakan Basri, warga Mosolo yang diangkat menjadi Humas PT.Bumi Konawe Mining.
“Pengeboran dilakukan berdiameter 8X8 meter dan kami menghindari jangan sampai merusak tanaman warga, kalaupun ada walau hanya lecet pasti kami lakukan ganti rugi,” ujar Basri yang mengaku menerima upah Rp.1,2 dari perusahaan.
Sikap penolakan warga Mosolo sebaiknya menjadi contoh bagi warga lainnya di wilayah konsesi pertambangan. Pemerintah harus jeli memberikan izin kepada investor dan melibatkan warga setempat. Meski dengan tingkat pendidikan yang rendah, namun mereka cukup paham dampak yang ditimbulkan dari aktivitas pertambangan, seperti rusaknya bentangan alam yang akan dirasakan selamanya, padahal mereka semua bergantung pada kebaikan alam.
Bagi Sahyuddin, ancaman banjir dan longsor hanya sebagian kecil dari dampak kerusakan lingkungan yang akan terjadi. “Cukup pulau Gebe saja yang menjadi rusak, jangan sampai hal yang sama terjadi di Mosolo. Harus dipahami lebih mendalam manfaat dan mudaratnya itu sendiri,” (Oleh Merlyn-Rustam)
Penggalan kalimat itu diucapkan Lampio (60 thn), salah seorang tokoh masyarakat desa Mosolo, Kecamatan Wawonii Tenggara, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara (Sultra). Penuturan Lampio itu spontan diucapkannya ketika ditanya wartawan Media Sultra, kalau seandainya tanah desa Mosolo dieksploitasi oleh kaum berduit untuk kepentingan bisnis nikel.
Mosolo,adalah sebuah desa kecil yang terisolir dengan jumlah penduduk sekitar 270 KK. Sebuah daerah yang bisa dikatakan masih tertinggal dengan segenap keterbatasan. Warga di sini sehari-harinya mengandalkan penerangan tenaga surya yang hanya bisa dimanfaatkan pada tiga buah bola mata lampu. Untuk mencapai desa itu hanya bisa dilewati melalui jalur laut dengan menggunakan perahu kantinting atau speed boat carteran. Itupun pada bulan Mei sampai Agustus (Musim Timur). Gelombang cukup tinggi dan berbahaya karena berada pada lutan lepas, laut Banda.
Desa ini pernah menjadi desa percontohan tingkat nasional pada tahun 1992 untuk ketegori lomba kebersihan dan pembangunan. Desa Mosolo memiliki tanah yang subur. Hampir seluruh warga di desa ini menjadi petani. Hasil perkebunan yang paling menonjol dan hasilnya cukup melimpah adalah Cengkeh, Jamu Mete dan Kelapa. Satu pohon Cengkeh bisa menghasilkan 10 hingga 20 kilogram cengkeh kering jenis super.
“Dalam satu kali panen bisa menghasilkan sampai Rp.50 juta, tergantung harga cengkeh dipasaran, belum lagi untuk jambu mete ataupun kelapa,” kata La Ode Abdi, mantan kepala desa Mosolo.
Bandingkan dengan penghasilan warga yang bekerja pada perusahaan tambang yang hanya memperoleh gaji Rp.1,2 juta per bulan. Jauh lebih kecil jika dibandingkan hasil perkebunan mereka. Warga Mosolo khawatir jika tambang beraktivitas produksi tanaman perkebunan mereka menurun bahkan mati. Sementara tambang hanya sementara dan jangka waktunya juga singkat.
Belajar dari Pengalaman
Kekhawatiran masyarakat desa Mosolo terhadap tambang karena beberapa warganya yang pernah merantau punya pengalaman dan catatan buruk soal aktivitas pertambangan di pulau Gebe, Maluku Utara.
Pulau Gebe adalah sebuah pulau yang hancur akibat pengelohan tambang nikel yang tidak ramah lingkungan. Itu sebabnya Lampio bersama ratusan warga lainnya di desa Mosolo menentang dan menolak kehadiran investor tambang karena takut kalau wilayah kelola pertanian mereka tergusur oleh perusahaan. Selain itu, ketersediaan air bersih dan pangan bakal mengancam kehidupan mereka.
“Kami tidak mau Mosolo menjadi seperti pulau Gebe yang sampai air lautnya menjadi merah dan tanahnya sudah tidak bisa ditanami apapun. Mau jadi apa kita ini, jika Mosolo sudah seperti itu,sedangkan kami semuanya hanya petani yang menggantungkan diri dari berkebun, “ ujar Lampio dengan suara lantang.
Kalimat menentang itu dilontarkan Lampio karena desa mereka kini terancam tergusur akibat kegiatan eksplorasi nikel oleh PT.Bumi Konawe Mining. Perusahaan itu memiliki wilayah konsesi seluas 7 ribu hektar, yang sebagian besar masuk dalam wilayah desa Mosolo. Padahal 50 persen desa Mosolo adalah lahan produkti untuk tanaman pertanian dan perkebunan seperti Jagung, Kacang Kedelai, Ubi Kayu, Jagung palawija, Cengkeh, jambu Mete dan kelapa.
Selain hilangnya sebagian wilayah kelola masyarakat, ketersediaan air bersih dan banjir akibat kerusakan pada daerah resapan air kini menjadi ancaman yang menakutkan bagi warga Mosolo.
La Ode Abdi mengatakan, warga Mosolo menolak kehadiran investor tambang karena secara ekonomi tidak mengutungkan buat warga. Pada umumnya warga tak bisa bekerja pada perusahaan karena sulit menyesuaikan pada pekerjaan tambang yang menurut mereka adala pekerjaan baru yang sulit untuk dilakukan.
“Kami menolak tambang karena khawatir jikalau kelak sumber mata air mati. Lalu bagaimana dengan kebun kami. Karena kami tahu semakin banyak menanam maka semakin banyak rejeki. Kebanyakan masyarakat Mosolo yang tidak mengerti dengan pertambangan pada akhirnya hanya sebagai buruh pabrik, yang kalau dihitung-hitung hasilnya tidak sebanding dengan hasil dari perkebunan kami sendiri,” kata La Ode Abdi yang 18 tahun menjadi kepala desa Mosolo.
Penolakan warga atas kehadiran investor tambang dilakukan dengan aksi demontrasi. Bahkan aksi demo penolakan ini telah dilakukan warga Mosolo sejak Agustus 2008. Tapi warga dalam posisi sulit karena Pemkab Konawe sudah terlanjur memberikan izin KP kepada investor tanpa ada pemberitahuan atau sosialisasi lebih awal kepada warga.
“Posisi kami sulit karena investor itu membawa surat izin resmi tembusan dari bupati Konawe, namun saya selaku pemerintah desa harus mementingkan kepentingan dan aspirasi masyarakat. Karena dampak yang ditimbulkan akan dirasakan oleh warga termasuk saya sendiri, “ ujar Sahyuddin, sekretaris desa Mosolo.
Sosialisas baru dilakukan ketika warga sudah ribut memprotes eksplorasi karena dilakukan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Eksplorasi dilakukan pada areal hutan yang berjarak 3 kilometer dari desa Mosolo sejak Januari hingga Juli 2009, dengan jarak titik eksplorasi berdiameter 100 sampai 200 meter. Untuk penggalian lubang sebagai bahan penyelidikan, warga digaji Rp.50 ribu per matabor. Hal itu dikatakan Basri, warga Mosolo yang diangkat menjadi Humas PT.Bumi Konawe Mining.
“Pengeboran dilakukan berdiameter 8X8 meter dan kami menghindari jangan sampai merusak tanaman warga, kalaupun ada walau hanya lecet pasti kami lakukan ganti rugi,” ujar Basri yang mengaku menerima upah Rp.1,2 dari perusahaan.
Sikap penolakan warga Mosolo sebaiknya menjadi contoh bagi warga lainnya di wilayah konsesi pertambangan. Pemerintah harus jeli memberikan izin kepada investor dan melibatkan warga setempat. Meski dengan tingkat pendidikan yang rendah, namun mereka cukup paham dampak yang ditimbulkan dari aktivitas pertambangan, seperti rusaknya bentangan alam yang akan dirasakan selamanya, padahal mereka semua bergantung pada kebaikan alam.
Bagi Sahyuddin, ancaman banjir dan longsor hanya sebagian kecil dari dampak kerusakan lingkungan yang akan terjadi. “Cukup pulau Gebe saja yang menjadi rusak, jangan sampai hal yang sama terjadi di Mosolo. Harus dipahami lebih mendalam manfaat dan mudaratnya itu sendiri,” (Oleh Merlyn-Rustam)
Antara Kesejahteraan dan Penderitaan
Tak banyak yang berubah setelah kurang lebih dua tahun aktivitas pertambangan emas di kabupaten Bombana berlangsung. Nyaris tak ada perubahan nasib masyarakat setempat. Sebaliknya yang terjadi secara signifikan adalah perubahan bentang alam, konflik tanah, kriminal, merebaknya penyakit kulit dan tingginya biaya hidup yang harus dipikul oleh masyarakat.
Bahkan dampak penambangan emas kini mulai menggeser mata pencaharian tetap warga setempat. Aktivitas pertambangan emas yang memerlukan suplai air dalam jumlah besar, saat ini telah mengorbankan sumber-sumber pendapatan dan mata pencaharian masyarakat seperti pertanian, usaha tambak ikan bandeng, kepiting dan udang.
Krisis air akibat keringnya sungai Langkowala yang menjadi sumber air irigasi sudah tidak mampu mengairi 511 hektar sawah yang berada di dua kecamatan yakni kecamatan Lantari Jaya dan Rarowatu Utara membuat masyarakat resah. Belum lagi pencemaran air akibat penggunaan cairan merkuri. Kekeringan terjadi akibat penyumbatan aliran sungai oleh salah satu Kuasa Pertambangan (KP).
Dahulu sebelum adanya aktivitas pertambangan, petani didua kecamatan tersebut bisa menghasilkan produksi beras di areal 11 ribu hektar sawah sebanyak 3-4 ton gabah kering giling. Pertanian Bombana yang dulu sempat menjadi lumbung padi dan daerah pengembangan ternak sapi di Sultra, saat ini tak bisa diharapkan lagi.
Pada tahun 2008, Bombana mengalami surplus beras sebanyak 500 ton,sedangkan pada tahun 2009 ini dipastikan menurun drastis akibat suplai produksi di dua kecamatan tersebut gagal panen, bahkan sama sekali tidak ada produksi beras.
Kurman, salah seorang anggota kelompok tani di Desa Lantari menuturkan, pada tahun 2007 lalu ia dan 14 kelompok tani lainnya, perhektarnya bisa menghasilkan 95 hingga 250 kwintal gabah kering giling.
“Biasanya, 5 sampai 6 hektar sawah bisa menghasilkan 250 karung atau setara dengan 40 juta per satu kali panen. Namun sejak bulan November 2008 lalu tidak ada lagi produksi yang dikarenakan irigasi dari bendungan Langkowala sudah tidak berfungsi lagi,” katanya.
Hal tersebut dibenarkan oleh kepala Dinas Pertanian Bombana, Sirajuddin. Ia mengakui pada tahun ini target partanian Bombana turun 30 persen dari yang ditargetkan.
Selain untuk pertanian aliran irigasi bendungan langkowala mengaliri juga usaha pertambakan ikan bandeng dan udang yang diusahakan oleh masayarakat yang berada di kecamatan Lantari Jaya seperti di desa Anugerah, Rarepua, dan Rarongkeu dengan luas arel tambak 700 hektar lebih. Usaha tambak cukup menjanjikan, dalam empat hektar tambak bisa menghasilkan 2.000 hingga 5.000 ekor ikan bandeng yang jika dirupiahkan menjadi Rp.3 juta.
Tapi, para pengusaha tambak kini mulai resah setelah ditemukannya kandungan merkuri pada sisa air di sungai Langkowala oleh hasil uji laboratorium Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Unhalu, beberapa waktu lalu.
Minim Hasil
Sekretaris Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Bombana Hernawaty mengatakan, pendapatan asli daerah ( PAD) yang berasal dari sektor pertambangan hingga September 2009 baru mencapai 1,5 % atau 923 juta, dari Rp.62 miliar yang ditargetkan. Khusus hasil tambang emas baru mencapai Rp.522 juta.
Hasil yang mengecewakan jika dibandingkan dengan banyaknya sektor lain yang dirugikan oleh adanya aktivitas pertambangan. Banyaknya sawah yang kering, petani kehilangan mata pencariannya, dan ancaman banjir bercampur air yang sudah tercemar mercury mengancam petani dan usaha tambak yang berada di sekitar aliran sungai Langkowala dan Wumbubangka.
Izin Kuasa Pertambangan (KP) emas dengan mudah diterbitkan oleh pemerintah Kabupaten Bombana tanpa harus melalui kajian yang mendalam dan memikirkan dampaknya. Begitu pula warga dengan leluasa berebut lahan galian emas tanpa memperdulikan pemilik tanah dan kerusakan lingkungan.
Menurut aktivis WWF – Kendari, Hasrul Kokoh, dalam kegiatan pemurnian emasnya diperlukan setidaknya 100 liter air untuk 1 gram emas. Dengan kandungan emas yang diperkirakan oleh pemerintah sebanyak satu juta ton, bisa dibayangkan berapa miliar liter air yang diperlukan untuk emas sebanyak itu, dan yang menjadi pertanyaannya dari mana sumber air itu akan diperoleh, sedangkan untuk saat ini dampak lingkungan yang ditimbulkan sudah sedemikian besarnya.
“Kita bisa membandingkan nilai ekonomis yang didapatkan jikalau keberadaan sumber air tetap terjaga keberadaannya. Mengambil contoh pemanfaatan sumber air yang ada di kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW), berdasarkan hasil penelitian Indra Putri dkk pada tahun 2005 nilai ekonomis untuk pemanfaatan air di TNRAW mencapai Rp.363.994.765/ tahun,” ujarnya.
Dan khusus sebagai penyedia air TNRAW juga menjadi sumber air dari PDAM didesa Atari Pinganggosi Kolaka.
Menanggapi kerusakan ini, pihak DPRD Bombana telah melakukan rapat dengar pendapat dengan sejumlah SKPD yang berada di lingkup pemkab Bombana sekaligus untuk melihat langsung hasil pengujian FPIK Unhalu tentang pencemaran mercuri.
Dalam hearing ini, Dinas Pertambangan Bombana yang diwakilkan oleh kasi pertambangan umum, Rajman mengatakan selama ini dinas pertambangan dibiarkan berjalan sendiri untuk mengambil tanggung jawab sendiri, sementara dampak yang ditimbulkan adalah tanggung jawab semua pihak.
Namun anggota dewan dari Partai Gerindra Laode Usman Sandiri mengatakan, semestinya sebelum mengeluarkan izin KP, pihak Dinas pertambangan Bombana sudah harus melakukan pengawasn dan penelitian dalam pengeluaran izin pertambangan agar hal hal yang terkait dengan kerusakan lingkungan sudah bisa diantisipasi.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kebersihan, Pertamanan dan Pemakaman Kabupaten Bombana, Laode Muh.Rusdin, setiap 6 bulan tim dari Dinas KLH Bombana melakukan pemantauan wajib di areal tambang. Terkait kerusakan lingkungan yang terjadi, KLH akan melakukan penelitian kembali AMDAL yang diterbitkan oleh pemegang izin KP, termasuk perbaikan alur sungai, perbaikan vegetasi, dan pengontrolan AMDAL yang lebih ketat.
Dalam hearing ini disepakati pembentukan tim penelitian lanjutan yang melibatkan segenap stakeholder lintas sektoral agar hasilnya lebih valid dan dapat dipertanggungjawabkan, diperlukan pembentukan badan khusus untuk berbicara tentang moratorium pertambangan emas, audit lingkungan, penegakan hukum yang terkait kepemilikan lahan dan melakukan penataan lingkungan yang lebih baik.
Jika pengelolaan tambang emas Bombana terus dilakukan secara eksploitatif maka Bombana akan dihadapkan pada banyak permasalahan seperti krisis air, krisis pangan, krisis sosial, krisis agraria, rendahnya kualitas kesehatan sera ancaman penyakit terkait dengan pencemaran mercuri bagi masyarakat sekitar kawasan tambang khususnya dan masyarakat Sultra pada umumnya. (Merlyn & Rustam)
Bahkan dampak penambangan emas kini mulai menggeser mata pencaharian tetap warga setempat. Aktivitas pertambangan emas yang memerlukan suplai air dalam jumlah besar, saat ini telah mengorbankan sumber-sumber pendapatan dan mata pencaharian masyarakat seperti pertanian, usaha tambak ikan bandeng, kepiting dan udang.
Krisis air akibat keringnya sungai Langkowala yang menjadi sumber air irigasi sudah tidak mampu mengairi 511 hektar sawah yang berada di dua kecamatan yakni kecamatan Lantari Jaya dan Rarowatu Utara membuat masyarakat resah. Belum lagi pencemaran air akibat penggunaan cairan merkuri. Kekeringan terjadi akibat penyumbatan aliran sungai oleh salah satu Kuasa Pertambangan (KP).
Dahulu sebelum adanya aktivitas pertambangan, petani didua kecamatan tersebut bisa menghasilkan produksi beras di areal 11 ribu hektar sawah sebanyak 3-4 ton gabah kering giling. Pertanian Bombana yang dulu sempat menjadi lumbung padi dan daerah pengembangan ternak sapi di Sultra, saat ini tak bisa diharapkan lagi.
Pada tahun 2008, Bombana mengalami surplus beras sebanyak 500 ton,sedangkan pada tahun 2009 ini dipastikan menurun drastis akibat suplai produksi di dua kecamatan tersebut gagal panen, bahkan sama sekali tidak ada produksi beras.
Kurman, salah seorang anggota kelompok tani di Desa Lantari menuturkan, pada tahun 2007 lalu ia dan 14 kelompok tani lainnya, perhektarnya bisa menghasilkan 95 hingga 250 kwintal gabah kering giling.
“Biasanya, 5 sampai 6 hektar sawah bisa menghasilkan 250 karung atau setara dengan 40 juta per satu kali panen. Namun sejak bulan November 2008 lalu tidak ada lagi produksi yang dikarenakan irigasi dari bendungan Langkowala sudah tidak berfungsi lagi,” katanya.
Hal tersebut dibenarkan oleh kepala Dinas Pertanian Bombana, Sirajuddin. Ia mengakui pada tahun ini target partanian Bombana turun 30 persen dari yang ditargetkan.
Selain untuk pertanian aliran irigasi bendungan langkowala mengaliri juga usaha pertambakan ikan bandeng dan udang yang diusahakan oleh masayarakat yang berada di kecamatan Lantari Jaya seperti di desa Anugerah, Rarepua, dan Rarongkeu dengan luas arel tambak 700 hektar lebih. Usaha tambak cukup menjanjikan, dalam empat hektar tambak bisa menghasilkan 2.000 hingga 5.000 ekor ikan bandeng yang jika dirupiahkan menjadi Rp.3 juta.
Tapi, para pengusaha tambak kini mulai resah setelah ditemukannya kandungan merkuri pada sisa air di sungai Langkowala oleh hasil uji laboratorium Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Unhalu, beberapa waktu lalu.
Minim Hasil
Sekretaris Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Bombana Hernawaty mengatakan, pendapatan asli daerah ( PAD) yang berasal dari sektor pertambangan hingga September 2009 baru mencapai 1,5 % atau 923 juta, dari Rp.62 miliar yang ditargetkan. Khusus hasil tambang emas baru mencapai Rp.522 juta.
Hasil yang mengecewakan jika dibandingkan dengan banyaknya sektor lain yang dirugikan oleh adanya aktivitas pertambangan. Banyaknya sawah yang kering, petani kehilangan mata pencariannya, dan ancaman banjir bercampur air yang sudah tercemar mercury mengancam petani dan usaha tambak yang berada di sekitar aliran sungai Langkowala dan Wumbubangka.
Izin Kuasa Pertambangan (KP) emas dengan mudah diterbitkan oleh pemerintah Kabupaten Bombana tanpa harus melalui kajian yang mendalam dan memikirkan dampaknya. Begitu pula warga dengan leluasa berebut lahan galian emas tanpa memperdulikan pemilik tanah dan kerusakan lingkungan.
Menurut aktivis WWF – Kendari, Hasrul Kokoh, dalam kegiatan pemurnian emasnya diperlukan setidaknya 100 liter air untuk 1 gram emas. Dengan kandungan emas yang diperkirakan oleh pemerintah sebanyak satu juta ton, bisa dibayangkan berapa miliar liter air yang diperlukan untuk emas sebanyak itu, dan yang menjadi pertanyaannya dari mana sumber air itu akan diperoleh, sedangkan untuk saat ini dampak lingkungan yang ditimbulkan sudah sedemikian besarnya.
“Kita bisa membandingkan nilai ekonomis yang didapatkan jikalau keberadaan sumber air tetap terjaga keberadaannya. Mengambil contoh pemanfaatan sumber air yang ada di kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW), berdasarkan hasil penelitian Indra Putri dkk pada tahun 2005 nilai ekonomis untuk pemanfaatan air di TNRAW mencapai Rp.363.994.765/ tahun,” ujarnya.
Dan khusus sebagai penyedia air TNRAW juga menjadi sumber air dari PDAM didesa Atari Pinganggosi Kolaka.
Menanggapi kerusakan ini, pihak DPRD Bombana telah melakukan rapat dengar pendapat dengan sejumlah SKPD yang berada di lingkup pemkab Bombana sekaligus untuk melihat langsung hasil pengujian FPIK Unhalu tentang pencemaran mercuri.
Dalam hearing ini, Dinas Pertambangan Bombana yang diwakilkan oleh kasi pertambangan umum, Rajman mengatakan selama ini dinas pertambangan dibiarkan berjalan sendiri untuk mengambil tanggung jawab sendiri, sementara dampak yang ditimbulkan adalah tanggung jawab semua pihak.
Namun anggota dewan dari Partai Gerindra Laode Usman Sandiri mengatakan, semestinya sebelum mengeluarkan izin KP, pihak Dinas pertambangan Bombana sudah harus melakukan pengawasn dan penelitian dalam pengeluaran izin pertambangan agar hal hal yang terkait dengan kerusakan lingkungan sudah bisa diantisipasi.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kebersihan, Pertamanan dan Pemakaman Kabupaten Bombana, Laode Muh.Rusdin, setiap 6 bulan tim dari Dinas KLH Bombana melakukan pemantauan wajib di areal tambang. Terkait kerusakan lingkungan yang terjadi, KLH akan melakukan penelitian kembali AMDAL yang diterbitkan oleh pemegang izin KP, termasuk perbaikan alur sungai, perbaikan vegetasi, dan pengontrolan AMDAL yang lebih ketat.
Dalam hearing ini disepakati pembentukan tim penelitian lanjutan yang melibatkan segenap stakeholder lintas sektoral agar hasilnya lebih valid dan dapat dipertanggungjawabkan, diperlukan pembentukan badan khusus untuk berbicara tentang moratorium pertambangan emas, audit lingkungan, penegakan hukum yang terkait kepemilikan lahan dan melakukan penataan lingkungan yang lebih baik.
Jika pengelolaan tambang emas Bombana terus dilakukan secara eksploitatif maka Bombana akan dihadapkan pada banyak permasalahan seperti krisis air, krisis pangan, krisis sosial, krisis agraria, rendahnya kualitas kesehatan sera ancaman penyakit terkait dengan pencemaran mercuri bagi masyarakat sekitar kawasan tambang khususnya dan masyarakat Sultra pada umumnya. (Merlyn & Rustam)
Selasa, 08 Desember 2009
Penyakit Kulit pun Merebak
Oleh Rustam dan Merlyn
Kerusakan lingkungan yang cukup parah akibat akitvitas pertambangan emas di kabupaten Bombana yang tak terkendali, kini telah berdampak luas pada kesehatan masyarakat di sekitar wilayah pertambangan. Seiring dimulainya aktivitas pertambangan 2008 lalu, penyakit pun mulai merebak yang menjangkiti warga terutama pendulang tradisional.
Kondisi ini semakin diperparah dengan adanya penguanaan logam berat merkury oleh sejumlah pendulang tradional. Pengunaan mercury yang jikalau kemudian terjadi akumulasi pada air dan seterusnya digunakan oleh masyarakat pada kurun waktu tertentu dampaknya sangat berbahaya. Hypertensi, kanker kulit, kanker darah yang dapat ditularkan pada generasi selanjutnya merupakan salah satu dari sekian banyak bahaya yang ditimbulkannya.
Gejala tertularnya warga dari cairan merkuri, kini mulai terlihat pada sejumlah warga yang berada di sekitar bendungan Langkowala. Sebagian besar kulit warga di sini terlihat berbintik-bintik kemerahan akibat menggunakan sisa air di bendungan Langkowala untuk kebutuhan mandi dan mencuci.
Hasil penelitian Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Unhalu beberapa waktu lalu, ditemukan kandungan mercuri pada bendungan Langkowala dan daerah sekitarnya hingga 0,9 Mg/ ltr. Hasil ini menunjukkan tingginya kader merkuri hingga melebih ambang batas normal yang dapat ditolerir.
Muhiddin (31), warga sekaligus pendulang menuturkan saat ini ia dan sekitar 100 orang warga lainnya tidak bisa berlama-lama mandi di bendungan Lankowala karena bisa menimbulkan gatal dan kulit memerah. Sebagai orang awam, Muhidin tak banyak tahu soal penyakit. Tapi ia tahu kalau menggunakan merkuri dapat menimbulkan alergi kulit.
”Mercuri itu kalau dipakai harus berhati-hati karena jika terjadi kontak langsung bisa menimbulkan gatal-gatal dan kemerahan dikulit. Saya pernah mengalaminya, tapi cukup minum obat seperti Ampisilin dan Tetra biasanya alerginya sembuh, ” ujar Muhiddin.
Tapi tak ada pilihan lain untuk mendapatkan air bersih. Ia pun hanya bisa pasrah dengan kondisi ini. ”Harus bagaimana lagi, hanya itulah satu-satunya air yan bisa digunakan saat ini,” katanya.
Penyakit Tren
Penyakit alergi kulit ternyata sudah menjadi tren dan masuk dalam 10 penyakit berbahaya sejak 2008. Pada umumnya, warga yang terkena penyakit kulit berada pada sekitar areal pertambangan di kecamaatan Lantari Jaya dan Rarowatu Utara.
Hal itu bisa dilihat dari melonjaknya angka penderita alergi yang terdata di UPTD Puskesmas Lomba Kasih kecamatan Lantari Jaya. Berdasarkan data dari Puskesmas setempat, pada tahun 2008 lalu warga yang datang berobat karena alergi penyakit kulit 316 orang. Padahal ditahun 2007 hanya berkisar 50 kasus saja.
Untuk 2009, Pusekesmas setempat belum merekap seluruh data. Namun kepala Pusekesma Lomba Kasih Abdul Wahap memastikan terjadi peningkatan kasus penyakit kulit. Ia memperkirakan sekitar 400 lebih. Peningkatan ini seiring kondisi lingkungan yang kian parah.
”Dulu kami pernah membuka posko kesehatan di sekitar lokasi penambangan, tapi untuk sekarang sudah tidak bisa dilanjutkan lagi, mengingat tingkat keselamatan dan keamanan dari tim medis terancaman akibat banyaknya lubang-lubang tikus yang ditinggalkan oleh para pendulang,” katanya.
Tak hanya penyakit kulit, Pusekesmas setempat juga menemukan penyakit hipertensi, Inspeksi Saluran Pernapasa Atas (ISPA), Diare dan kerusakan pada sistim otot dan jaringan yang cukup tinggi. Pada tahun 2008, tercatat ada 290 kasus untuk penderita penyakit Hypertensi, penyakit pada sistem otot dan jaringan pengikat sebanyak 732 kasus, ISPA 711 kasus dan Diare 357 kasus.
Khusus untuk penyakit Diare, kata Abdul Wahab, tingkat kesehatan masyarakat yang ada di areal pertambangan sudah sangat memprihatinkan akibat komsumsi air yang tidak memenuhi standar kesehatan.
”Stok air bersih yang biasanya diambil dari sumur bor bekas lubang tikus yang ditinggalkan, sudah tidak layak untuk digunakan. Air yang dikatakan bersih itu tidak lebih dari genangan air yang sudah bercampur aduk dengan kotoran dan sampah,” tandasnya.
Pada awal dibukanya pertambangan emas, tim dari Dinas Kesehatan Provinsi rutin melakukan penyuluhan dan pemeriksaan kesehatan terhadap warga, tapi sepanjang tahun 2009 ini, sudah tidak pernah dilakukan lagi.
Namun lonjakan dari penyakit alergi yang terjadi saat ini abdul wahab mengatakan untuk sementara dia belum bisa menghubungkan dampak dari mercury dengan penyakit alergi karena saat ini mereka belum ada kapasitas dan kemampuan untuk menentukan hubungannya. Namun ia mengakui bahwa segala sesuatu yang berlebihan pasti mempunyai pengaruh kepada manusia.
Mensikapi masalah tersebut, anggota dewan dari partai Gerindra Laode Usman Sandiri mengatakan, bahwa ancaman dari penggunaan mercuri adalah salah satu bukti bahwa lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Pertambangan Bombana di areal pertambangan.
”Semestinya yang harus disalahkan bukan penambang liar ataupun para investor yang datang mencari uang di Bombana, melainkan pemerintah daerah yang sejak awal tidak melakukan pengawasan secara lebih baik dan ketat kepada para pendulang ataupun perusahaan pertambangan,” katanya.
Menurut dia, penggunaan merkuri harus dihentikan karena dapat membahayakan bagi kesehatan masyarakat. Ia menilai, Pemda telah ceroboh dengan membiarkan penggunaan merkuri dan pengerusakan lingkungan. Kondisi ini akan mempengaruhi kehidupan bagi generasi selanjutnya.
La Ode Usman Sandiri meminta kepada Pemda dapat mempertanggung jawabkan kinerjanya atas berbagai kasus sosial dan lingkungan yang terjadi. Pemda tak boleh membela diri dan menyatakan tidak salah. ”Bayangkan saja jikalau anak keturunan menderita penyakit merkuri, bagaimana masa depan mereka kelak,” ujar Usman. (***)
Kerusakan lingkungan yang cukup parah akibat akitvitas pertambangan emas di kabupaten Bombana yang tak terkendali, kini telah berdampak luas pada kesehatan masyarakat di sekitar wilayah pertambangan. Seiring dimulainya aktivitas pertambangan 2008 lalu, penyakit pun mulai merebak yang menjangkiti warga terutama pendulang tradisional.
Kondisi ini semakin diperparah dengan adanya penguanaan logam berat merkury oleh sejumlah pendulang tradional. Pengunaan mercury yang jikalau kemudian terjadi akumulasi pada air dan seterusnya digunakan oleh masyarakat pada kurun waktu tertentu dampaknya sangat berbahaya. Hypertensi, kanker kulit, kanker darah yang dapat ditularkan pada generasi selanjutnya merupakan salah satu dari sekian banyak bahaya yang ditimbulkannya.
Gejala tertularnya warga dari cairan merkuri, kini mulai terlihat pada sejumlah warga yang berada di sekitar bendungan Langkowala. Sebagian besar kulit warga di sini terlihat berbintik-bintik kemerahan akibat menggunakan sisa air di bendungan Langkowala untuk kebutuhan mandi dan mencuci.
Hasil penelitian Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Unhalu beberapa waktu lalu, ditemukan kandungan mercuri pada bendungan Langkowala dan daerah sekitarnya hingga 0,9 Mg/ ltr. Hasil ini menunjukkan tingginya kader merkuri hingga melebih ambang batas normal yang dapat ditolerir.
Muhiddin (31), warga sekaligus pendulang menuturkan saat ini ia dan sekitar 100 orang warga lainnya tidak bisa berlama-lama mandi di bendungan Lankowala karena bisa menimbulkan gatal dan kulit memerah. Sebagai orang awam, Muhidin tak banyak tahu soal penyakit. Tapi ia tahu kalau menggunakan merkuri dapat menimbulkan alergi kulit.
”Mercuri itu kalau dipakai harus berhati-hati karena jika terjadi kontak langsung bisa menimbulkan gatal-gatal dan kemerahan dikulit. Saya pernah mengalaminya, tapi cukup minum obat seperti Ampisilin dan Tetra biasanya alerginya sembuh, ” ujar Muhiddin.
Tapi tak ada pilihan lain untuk mendapatkan air bersih. Ia pun hanya bisa pasrah dengan kondisi ini. ”Harus bagaimana lagi, hanya itulah satu-satunya air yan bisa digunakan saat ini,” katanya.
Penyakit Tren
Penyakit alergi kulit ternyata sudah menjadi tren dan masuk dalam 10 penyakit berbahaya sejak 2008. Pada umumnya, warga yang terkena penyakit kulit berada pada sekitar areal pertambangan di kecamaatan Lantari Jaya dan Rarowatu Utara.
Hal itu bisa dilihat dari melonjaknya angka penderita alergi yang terdata di UPTD Puskesmas Lomba Kasih kecamatan Lantari Jaya. Berdasarkan data dari Puskesmas setempat, pada tahun 2008 lalu warga yang datang berobat karena alergi penyakit kulit 316 orang. Padahal ditahun 2007 hanya berkisar 50 kasus saja.
Untuk 2009, Pusekesmas setempat belum merekap seluruh data. Namun kepala Pusekesma Lomba Kasih Abdul Wahap memastikan terjadi peningkatan kasus penyakit kulit. Ia memperkirakan sekitar 400 lebih. Peningkatan ini seiring kondisi lingkungan yang kian parah.
”Dulu kami pernah membuka posko kesehatan di sekitar lokasi penambangan, tapi untuk sekarang sudah tidak bisa dilanjutkan lagi, mengingat tingkat keselamatan dan keamanan dari tim medis terancaman akibat banyaknya lubang-lubang tikus yang ditinggalkan oleh para pendulang,” katanya.
Tak hanya penyakit kulit, Pusekesmas setempat juga menemukan penyakit hipertensi, Inspeksi Saluran Pernapasa Atas (ISPA), Diare dan kerusakan pada sistim otot dan jaringan yang cukup tinggi. Pada tahun 2008, tercatat ada 290 kasus untuk penderita penyakit Hypertensi, penyakit pada sistem otot dan jaringan pengikat sebanyak 732 kasus, ISPA 711 kasus dan Diare 357 kasus.
Khusus untuk penyakit Diare, kata Abdul Wahab, tingkat kesehatan masyarakat yang ada di areal pertambangan sudah sangat memprihatinkan akibat komsumsi air yang tidak memenuhi standar kesehatan.
”Stok air bersih yang biasanya diambil dari sumur bor bekas lubang tikus yang ditinggalkan, sudah tidak layak untuk digunakan. Air yang dikatakan bersih itu tidak lebih dari genangan air yang sudah bercampur aduk dengan kotoran dan sampah,” tandasnya.
Pada awal dibukanya pertambangan emas, tim dari Dinas Kesehatan Provinsi rutin melakukan penyuluhan dan pemeriksaan kesehatan terhadap warga, tapi sepanjang tahun 2009 ini, sudah tidak pernah dilakukan lagi.
Namun lonjakan dari penyakit alergi yang terjadi saat ini abdul wahab mengatakan untuk sementara dia belum bisa menghubungkan dampak dari mercury dengan penyakit alergi karena saat ini mereka belum ada kapasitas dan kemampuan untuk menentukan hubungannya. Namun ia mengakui bahwa segala sesuatu yang berlebihan pasti mempunyai pengaruh kepada manusia.
Mensikapi masalah tersebut, anggota dewan dari partai Gerindra Laode Usman Sandiri mengatakan, bahwa ancaman dari penggunaan mercuri adalah salah satu bukti bahwa lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Pertambangan Bombana di areal pertambangan.
”Semestinya yang harus disalahkan bukan penambang liar ataupun para investor yang datang mencari uang di Bombana, melainkan pemerintah daerah yang sejak awal tidak melakukan pengawasan secara lebih baik dan ketat kepada para pendulang ataupun perusahaan pertambangan,” katanya.
Menurut dia, penggunaan merkuri harus dihentikan karena dapat membahayakan bagi kesehatan masyarakat. Ia menilai, Pemda telah ceroboh dengan membiarkan penggunaan merkuri dan pengerusakan lingkungan. Kondisi ini akan mempengaruhi kehidupan bagi generasi selanjutnya.
La Ode Usman Sandiri meminta kepada Pemda dapat mempertanggung jawabkan kinerjanya atas berbagai kasus sosial dan lingkungan yang terjadi. Pemda tak boleh membela diri dan menyatakan tidak salah. ”Bayangkan saja jikalau anak keturunan menderita penyakit merkuri, bagaimana masa depan mereka kelak,” ujar Usman. (***)
KPUD Konsel Butuh Rp 15 Milyar Selenggarakan Pilkada
Rustam
Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kabupaten Konawe Selatan mengajukan anggaran Pilkada 2010 sebesar Rp.15 Milyar. Ketua KPUD Konsel, Ahmadi, di Andoolo,Senin(8/12) mengatakan, membengkaknya jumlah anggaran penyelenggaraan Pilkada kali ini dikarenakan bertambahnya jumlah desa dan Kecamatan di Konsel.
“Kalau bertambah jumlah desa dan kecamatan kan otomatis petugas penyelenggara juga pasti bertambah. Dan yang paling banyak memakan anggaran itu adalah pembayaran honor penyelenggara” kata Ahmadi.
Dari Rp.15 Milyar, menurut Ahmadi kurang lebih 55 persennya diperuntukkan membayar honor petugas. Dan 30 persennya dialokasikan untuk logistik. Itupun diakuinya, jika terjadi pemilihan dua putaran maka diprediksi kebutuhan anggaran kurang lebih Rp.25 Milyar.
“Yah ini juga kan kita masih belum pasti disetujui. Tapi kita tetap bertahan harus Rp.15 Milyar karena hitungan kami ini sudah dipres,” kata Ahmadi lagi.
Sebagaimana yang diketahui, penyelenggaraan Pilkada lima tahun yang lalu KPUD hanya menghabiskan biaya kurang lebih Rp.7 Milyar.
“Itukan dulu, jumlah desa dulu masih sekitar dua ratusan. Sekarang ini setelah pemekaran jumlah desanya sudah 366 dan 22 Kecamatan,” lanjut Ahmadi. (***)
Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kabupaten Konawe Selatan mengajukan anggaran Pilkada 2010 sebesar Rp.15 Milyar. Ketua KPUD Konsel, Ahmadi, di Andoolo,Senin(8/12) mengatakan, membengkaknya jumlah anggaran penyelenggaraan Pilkada kali ini dikarenakan bertambahnya jumlah desa dan Kecamatan di Konsel.
“Kalau bertambah jumlah desa dan kecamatan kan otomatis petugas penyelenggara juga pasti bertambah. Dan yang paling banyak memakan anggaran itu adalah pembayaran honor penyelenggara” kata Ahmadi.
Dari Rp.15 Milyar, menurut Ahmadi kurang lebih 55 persennya diperuntukkan membayar honor petugas. Dan 30 persennya dialokasikan untuk logistik. Itupun diakuinya, jika terjadi pemilihan dua putaran maka diprediksi kebutuhan anggaran kurang lebih Rp.25 Milyar.
“Yah ini juga kan kita masih belum pasti disetujui. Tapi kita tetap bertahan harus Rp.15 Milyar karena hitungan kami ini sudah dipres,” kata Ahmadi lagi.
Sebagaimana yang diketahui, penyelenggaraan Pilkada lima tahun yang lalu KPUD hanya menghabiskan biaya kurang lebih Rp.7 Milyar.
“Itukan dulu, jumlah desa dulu masih sekitar dua ratusan. Sekarang ini setelah pemekaran jumlah desanya sudah 366 dan 22 Kecamatan,” lanjut Ahmadi. (***)
Langganan:
Postingan (Atom)