Akibat musim panas yang berkepanjangan, seluruh wilayah di Sulawesi Tenggara (Sultra) mengalami kekeringan dan krisis air bersih. Dampak yang paling terasa adalah pada sektor pertanian pangan khususnya tanaman padi dan jagung.
Data Dinas Pertanian Provinsi dan sejumlah kabupaten di Sultra menyebutkan, jumlah sawah yang mengalami kekeringan hingga Oktober, khususnya pada sentra produksi beras yaitu Konawe, Kolaka, Konawe Selatan, Bombana dan Baubau sudah mencapai 17.040 ha. Wilayah yang mengalami kekeringan terparah terjadi di kabupaten Bombana. Dari 7.000 ha sawah di kecamatan Lantari Jaya dan Rarowatu Utara, sekitar 5.000 ha kering.
Sementara kabupaten Buton dan Konawe Utara dan Muna, hingga saat ini belum melaporkan jumlah sawah yang mengalami kekeringan. Areal persawahan yang kering diperkirakan mencapai puluhan ribu ha.
Akibat kekeringan ini, Sultra terancam mengimpor beras dari luar daerah dalam jumlah yang cukup besar. Dinas Pertanian Provinsi Sultra memperkirakan produksi padi tahun ini hanya berkisar 376.580 ton atau turun hingga 6 persen dibandingkan hasil prduksi 2008 yang mencapai 405.256 ton.Sedangkan tanaman jagung, diperkirakan menurun menjadi 69 ribu ton dari 93.064 ton, yang diramalkan Dinas Pertanian.
“Penurunan produksi padi banyak juga yang diakibatkan karena ada kurang lebih 2.008 hektar sawah yang puso , “ kata Akbar, Kabid Tanaman Pangan Dinas Pertanian Sultra, Selasa (27.10). Dari 2.008 sawah puso, terluas terjadi Konawe 1.151 ha, Kolaka 427 hektar, Konawe 425 hektar dan kota Kendari seluas 5 ha.
Krisis Air
Kekeringan juga berdampak pada ketersediaan air bersih. Hampir seluruh wilayah di Sultra mengalami krisis air bersih, seperti di kecamatan Soropia, Konawe, Poasia, kota Kendari, sebagian besar wilayah Bombana khususnya di kecamatan Lantari Jaya dan Rarowatu Utara. Akibat krisis ini, warga kesulitan memperoleh air bersih untuk kebutuhan air minum dan memasak. Kalaupun ada, warga harus rela menempuh 1 km untuk memperolehnya.
Hal ini dialami oleh sebagian besar warga di Soropia, “Kami terpaksa mengangkat air meskipun jauh dari rumah. Air dari pipa kadang mengalir tetapi sedikit airnya, itupun nanti mengalir pada saat tengah malam. Tapi juga tidak banyak dan sebgain tidak kebagian,” tutur Jannah, salah satu warga desa Sawapudu, Soropia.
Ada juga yang menggunakan air galon untuk minum dan memasak. Seperti yang dialami Haris, warga kelurahan Tobuuha, Kendari. Ia terpaksa menggunakan air gallon Karena sumur milikinya sudah lama kering. Untuk kebutuhan mandi dan mencuci, Haris dan warga lainnya masih menggunakan sisa-sisa air sumur yang airnya berwarna kekuning-kuningan.
Penurunan debit air yang cukup drastis di kota Kendari dan sekitarnya diakui oleh Kepala Seksi Air Tanah, Dinas Energi dan Sumber Daya Miniral Provinsi Sultra, Zulkarnaen. Menurut dia, penurunan debit air salah satunya dikarenakan kemarau panjang. Tetapi penyebab utamanya adalah akibat aktivitas penebangan hutan di sekitar hulu dan hilir sungai yang selama ini menjadi daerah penyangga atau resapan air. Akibatnya tanah tidak berfungsi lagi sebagai penyimpan dan penyerap air.
“Termasuk juga penambangan serta banyaknya sumur bor yang tidak beraturan. Semestinya jarak sumur diaatur, tapi ini tidak dilakukan,” katanya.
Sementara itu kepala Badan Metereologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Kendari, Addi Setiadi, memperkirakan sebagian besar wilayah Sultra akan terus mengalami kekeringan hingga Maret 2009. Jika ramalan cuaca itu tepat, jumlah sawah yang kering akan lebih besar. Begitu pula krisis air akan semakin parah. (Rustam)
Jumat, 30 Oktober 2009
Jumat, 23 Oktober 2009
Krisis Air di Tengah Mengkilapnya Emas Bombana
Ditemukannya emas Bombana pada pertengahan tahun 2008 telah membawah berkah bagi banyak orang. Tapi di tengah mengkilapnya emas yang konon kabarnya memiliki kadar 90 persen lebih, kedua tertinggi di dunia setelah Negara di Timur Tengah, timbulah kehancuran lingkungan, kriminal, penyakit dan tingginya biaya hidup yang harus dipikul oleh sebagian besar masyarakat Bombana.
Oleh Merlyn dan Rustam
Perjalanan dimulai, kami disambut dengan kondisi jalan yang rusak dan berdebu. Sepanjang mata memandang yang ada hanyalah sawah yang menguning, tanah kering dan ternak sapi yang mencari makan. Masyarakat lebih banyak berada di dalam rumah, karena hampir kami tidak melihat aktivitas pertanian seperti menggarap sawah yang dilakukan oleh warga.
Pasca penemuan logam mulia kurang lebih satu tahun itu, lubang-lubang mengaga dengan diameter yang cukup lebar dan dalam dapat dijumpai sepanjang areal pendulangan. Ada pula lubang kecil yang biasa disebut “lubang tikus”. Lubang kecil ini telah merenggut banyak nyawa pendulang.
Hadirnya sejumlah Kuasa Pertambangan (KP) semakin memperparah lingkungan. krisis air pun kini melanda sejumlah daerah di Bombana, seperti di kecamatan Lantari Jaya dan Rarowatu Utara. Ribuan hektar sawah di sini kering. Sumur bor yang selama ini dijadikan cadangan sumber air pada musim kemarau untuk mengairi sawah ataupun untuk kebutuhan sehari-hari, kini terancam kering.
Rusaknya sejumlah sungai di daerah itu, seperti yang terlihat di aliran sungai Langkowala, yang alirannya berbatasan langsung dengan daerah konservasi Tanam Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW), mungkin saat ini sudah tidak tepat lagi disebut sebagai sungai karena hampir tidak ada air lagi yang mengalir. Kalaupun ada, hanya sedikit sekali dibanding satu atau dua tahun terakhir. Sisa-sisa berwarna hijau bercampur lumpur.
Anna, salah seorang warga menuturkan, kali Langkowala sudah tujuh bulan terakhir ini tidak berair lagi, bahkan sumur bor yang sejak lima tahun lalu kerap dipakai sehari-hari saat ini airnya sudah kering. Untuk keperluan sehari-hari seperti mandi dan air minum, mereka terpksa membuat sumur bor baru yang letaknya disamping kali. Namun saat ini debit airnya semakin menipis.
Hal senada juga dikatakan warga Rarowatu Utara, Bachtiar. Ia mengaku telah tinggal selama 10 tahun di daerah itu. Kini Bachtiar memanfaatkan kali Langkowala untuk mengumpulkan kerikil untuk bangunan rumah. Ia menuturkan, sejak ada aktivitas penambangan di muara sungai ditambah lagi musim kemarau, sungai menjadi kering dan ratusan sawah beralih menjadi sawah tadah hujan.
Andi Thamrin, warga desa Rarongkewu, kecamatan Rarowatu Utara mengatakan sekitar 5.000 ha sawah gagal panen dikarenakan tidak ada air, dan ketika masalah ini dilaporkan kepada pemerintah setempat mulai dari kepala desa maupun camat tidak mendapatkan respon seperti yang diharapkan.
Hal yang ditakutkan oleh thamrin dan warga lainnya adalah jikalau musim hujan nanti tiba akan terjadi banjir karena banyak pohon yang ada dihulu sungai yang telah ditebang oleh para pendulang emas. “Bagaimana kami bisa mengairi sawah, sementara sungai Langkowala sudah ditangkal oleh perusahaan tambang,” ujarnya.
Bendungan Langkowala kini benar-benar kritis. Bendungan yang sebelumnya dimanfaatkan tiga desa di sekitarnya dan mengairi sekitar 7.000 ha areal persawahan, saat ini nyaris tidak memiliki air lagi. Yang ada hanya potongan-potongan cetakan tanah yang mirip kue lapis akibat kekeringan.
Mantan kepala Resort Langkowa TNRAW, Nasrun, yang telah bertugas selama 13 tahun di tempat ini mengatakan bendungan Langkowala dulu walaupun dilanda musim kemarau yang panjang seperti saat ini masih memiliki air yang banyak.
Akibat krisis air ini, banyak petani yang beralih profesi menjadi penjual disekitar areal pertambangan. Atni, seorang petani yang kini telah menjadi pedagang sembako, menurutkan semua para tani yang ada di sekitar SP 3 sudah meninggalkan sawahnya. “Kami terpaksa meninggalkan sawah karena tidak ada air untuk mengairi sawah kami,” katanya.
Abas Sedah dan mertuanya, Nurmiteh, warga transmigrasi yang asal Nusa Tenggara Barat, yang tinggal di SP 2 desa Langkoawala sejak 1982, menuturkan sebagian besar penduduk desa Langkowala sudah tidak lagi menjadi petani pengarap sawah. Untuk dapat bertahan hidup, ia dan mertuanya menjadi penggembala ternak dan berjualan arang.
“Kami punya sawah 2 ha, tapi karena air tidak ada terpaksa tidak bisa digarap. Sebenarnya kalau dulu bisa kita memanfaatkan sumur bor, tapi sekarang sudah susah dapat airnya, walaupun sudah digali 32 meter tetap saja sulit diteumkan mata air,” tuturnya.
Menurut dia, krisis air yang terjadi saat ini disebabkan aktivitas penambangn yang berada di sekitar muara sungai Langkowalah oleh PT. Panca Logam, salah perusahaan pemegang izin KP. Perusahaan tambang itu menangkal sungai dan menampung airnya untuk proses penjernihan emas. “Itu baru satu perusahaan, bagimana kalau masuk 13 perusahaan yang rencananya akan beroperasi di di atas, lama-lama seperti Mekkah kedua, panas terus, “ ujar Abas dengan nada tinggi.
Akibat krisis air, sempat menimbulkan pertengkaran dikalangan para tetani di desa Langkowala. Mereka meributkan untuk mendapatkan jatah air irigasi yang dilakukan secara bergilir. Tak hanya sawah, tanaman palawija di ladang pun kini terancam mati. “Terutama SP 2 yang paling gawat, kalau tidak diperhatikan mati saja kami di desa ini,” ujar Nurmiteh dengan rawut wajah sedih.
Nasib serupa juga dialami para pemilik tambak di desa Tunas Baru, Kecamatan Rarowatu Utara. Menurut kepala desa Baharuddin Tola, desanya yang hanya mengandalkan usaha tambak ikan bandeng sangat khawatir jika datangnya musim hujan kelak, disebabkan desanya yang berada di daerah dataran rendah akan menjadi limpahan air yang berasal dari sekitar areal pertambangan.
“Kalau banjir dating, maka kayu-kayu-an dan material lumpur bercampur kimia bisa menggagalkan panen ikan bandeng di desa kami,” katanya.
Barulah di desa Anugerah, kami menemukan petani yang sedang bersawah. Subiarti dan anaknya Yoyo Triantono mengatakan, padi yang sedang dikerjakannya saat ini bukanlah padi hasil dari tanah pertanian di desanya, melainkan dari tempat lain yang kebetulan cadangan air tanahnya masih ada.
Sama dengan dengan warga lainnya, Subiarti juga mengeluhkan aktivitas pertambangan setahun terakhir. Subiarti, mempunyai areal persawahaan 5 -6 ha bisa menghasilakan 250 karung atau setara dengan 40 juta sekali panen “Ini semua penyebabnya dari aktivitas pertambangan yang dilakukan perusahan. Mereka menangkal air sehingga kami tidak mendapatkan lagi aliran air dari sungai,” katanya.
“Dulu sebelum ada emas, air dari SP 9 ( sungai Langkowala) bisa mengalir sampai SP 1 atau SP 2, namun sejak ada panca Logam yang membendung sungai, air tidak sampai mengalir di sini, “ ujar Subiarti dengan rasa gundah.
Krisis air yang melanda di dua kecamatan yakni Lantari Jaya dan Rarowatu Utara membuat hasil pertanian di Bombana untuk tahun ini otomatis menurun drastic. Sebelum krisis air, hasil pertanian bisa mencapai 4 ton per ha. Pada tahun ini, di daerah ini terdapat 511 ha, dan yang terancam kekeringan ada seluas 475 ha.
Kadis pertanian Bombana Sirajuddin M, mengatakan selain musim kemarau, tidak berfungsinya bendungan Langkowala dikarena tidak ada air menjadi penyebab utama kekeringan. Ha ini bisa terjadi karena daerah tangkapan air bendungan langkowala berada di daerah pertambangan seperti SP-8 dan SP-9, tapi karena alur dari sungai Langkowala sudah dibelokan ke daerah pertambangan akhirnya alur air ini tidak berfungsi sehingga sentra-sentra pertanian menjadi kekeringan seperti sekarang.
“Kalau sudah seperti ini keadaannya, kedepannya terpaksa daerah pertanian di daerah Lantari Jaya dan Rarowatu Utara beralih menjadi pertanian tadah hujan,” ujarnya. (***)
Oleh Merlyn dan Rustam
Perjalanan dimulai, kami disambut dengan kondisi jalan yang rusak dan berdebu. Sepanjang mata memandang yang ada hanyalah sawah yang menguning, tanah kering dan ternak sapi yang mencari makan. Masyarakat lebih banyak berada di dalam rumah, karena hampir kami tidak melihat aktivitas pertanian seperti menggarap sawah yang dilakukan oleh warga.
Pasca penemuan logam mulia kurang lebih satu tahun itu, lubang-lubang mengaga dengan diameter yang cukup lebar dan dalam dapat dijumpai sepanjang areal pendulangan. Ada pula lubang kecil yang biasa disebut “lubang tikus”. Lubang kecil ini telah merenggut banyak nyawa pendulang.
Hadirnya sejumlah Kuasa Pertambangan (KP) semakin memperparah lingkungan. krisis air pun kini melanda sejumlah daerah di Bombana, seperti di kecamatan Lantari Jaya dan Rarowatu Utara. Ribuan hektar sawah di sini kering. Sumur bor yang selama ini dijadikan cadangan sumber air pada musim kemarau untuk mengairi sawah ataupun untuk kebutuhan sehari-hari, kini terancam kering.
Rusaknya sejumlah sungai di daerah itu, seperti yang terlihat di aliran sungai Langkowala, yang alirannya berbatasan langsung dengan daerah konservasi Tanam Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW), mungkin saat ini sudah tidak tepat lagi disebut sebagai sungai karena hampir tidak ada air lagi yang mengalir. Kalaupun ada, hanya sedikit sekali dibanding satu atau dua tahun terakhir. Sisa-sisa berwarna hijau bercampur lumpur.
Anna, salah seorang warga menuturkan, kali Langkowala sudah tujuh bulan terakhir ini tidak berair lagi, bahkan sumur bor yang sejak lima tahun lalu kerap dipakai sehari-hari saat ini airnya sudah kering. Untuk keperluan sehari-hari seperti mandi dan air minum, mereka terpksa membuat sumur bor baru yang letaknya disamping kali. Namun saat ini debit airnya semakin menipis.
Hal senada juga dikatakan warga Rarowatu Utara, Bachtiar. Ia mengaku telah tinggal selama 10 tahun di daerah itu. Kini Bachtiar memanfaatkan kali Langkowala untuk mengumpulkan kerikil untuk bangunan rumah. Ia menuturkan, sejak ada aktivitas penambangan di muara sungai ditambah lagi musim kemarau, sungai menjadi kering dan ratusan sawah beralih menjadi sawah tadah hujan.
Andi Thamrin, warga desa Rarongkewu, kecamatan Rarowatu Utara mengatakan sekitar 5.000 ha sawah gagal panen dikarenakan tidak ada air, dan ketika masalah ini dilaporkan kepada pemerintah setempat mulai dari kepala desa maupun camat tidak mendapatkan respon seperti yang diharapkan.
Hal yang ditakutkan oleh thamrin dan warga lainnya adalah jikalau musim hujan nanti tiba akan terjadi banjir karena banyak pohon yang ada dihulu sungai yang telah ditebang oleh para pendulang emas. “Bagaimana kami bisa mengairi sawah, sementara sungai Langkowala sudah ditangkal oleh perusahaan tambang,” ujarnya.
Bendungan Langkowala kini benar-benar kritis. Bendungan yang sebelumnya dimanfaatkan tiga desa di sekitarnya dan mengairi sekitar 7.000 ha areal persawahan, saat ini nyaris tidak memiliki air lagi. Yang ada hanya potongan-potongan cetakan tanah yang mirip kue lapis akibat kekeringan.
Mantan kepala Resort Langkowa TNRAW, Nasrun, yang telah bertugas selama 13 tahun di tempat ini mengatakan bendungan Langkowala dulu walaupun dilanda musim kemarau yang panjang seperti saat ini masih memiliki air yang banyak.
Akibat krisis air ini, banyak petani yang beralih profesi menjadi penjual disekitar areal pertambangan. Atni, seorang petani yang kini telah menjadi pedagang sembako, menurutkan semua para tani yang ada di sekitar SP 3 sudah meninggalkan sawahnya. “Kami terpaksa meninggalkan sawah karena tidak ada air untuk mengairi sawah kami,” katanya.
Abas Sedah dan mertuanya, Nurmiteh, warga transmigrasi yang asal Nusa Tenggara Barat, yang tinggal di SP 2 desa Langkoawala sejak 1982, menuturkan sebagian besar penduduk desa Langkowala sudah tidak lagi menjadi petani pengarap sawah. Untuk dapat bertahan hidup, ia dan mertuanya menjadi penggembala ternak dan berjualan arang.
“Kami punya sawah 2 ha, tapi karena air tidak ada terpaksa tidak bisa digarap. Sebenarnya kalau dulu bisa kita memanfaatkan sumur bor, tapi sekarang sudah susah dapat airnya, walaupun sudah digali 32 meter tetap saja sulit diteumkan mata air,” tuturnya.
Menurut dia, krisis air yang terjadi saat ini disebabkan aktivitas penambangn yang berada di sekitar muara sungai Langkowalah oleh PT. Panca Logam, salah perusahaan pemegang izin KP. Perusahaan tambang itu menangkal sungai dan menampung airnya untuk proses penjernihan emas. “Itu baru satu perusahaan, bagimana kalau masuk 13 perusahaan yang rencananya akan beroperasi di di atas, lama-lama seperti Mekkah kedua, panas terus, “ ujar Abas dengan nada tinggi.
Akibat krisis air, sempat menimbulkan pertengkaran dikalangan para tetani di desa Langkowala. Mereka meributkan untuk mendapatkan jatah air irigasi yang dilakukan secara bergilir. Tak hanya sawah, tanaman palawija di ladang pun kini terancam mati. “Terutama SP 2 yang paling gawat, kalau tidak diperhatikan mati saja kami di desa ini,” ujar Nurmiteh dengan rawut wajah sedih.
Nasib serupa juga dialami para pemilik tambak di desa Tunas Baru, Kecamatan Rarowatu Utara. Menurut kepala desa Baharuddin Tola, desanya yang hanya mengandalkan usaha tambak ikan bandeng sangat khawatir jika datangnya musim hujan kelak, disebabkan desanya yang berada di daerah dataran rendah akan menjadi limpahan air yang berasal dari sekitar areal pertambangan.
“Kalau banjir dating, maka kayu-kayu-an dan material lumpur bercampur kimia bisa menggagalkan panen ikan bandeng di desa kami,” katanya.
Barulah di desa Anugerah, kami menemukan petani yang sedang bersawah. Subiarti dan anaknya Yoyo Triantono mengatakan, padi yang sedang dikerjakannya saat ini bukanlah padi hasil dari tanah pertanian di desanya, melainkan dari tempat lain yang kebetulan cadangan air tanahnya masih ada.
Sama dengan dengan warga lainnya, Subiarti juga mengeluhkan aktivitas pertambangan setahun terakhir. Subiarti, mempunyai areal persawahaan 5 -6 ha bisa menghasilakan 250 karung atau setara dengan 40 juta sekali panen “Ini semua penyebabnya dari aktivitas pertambangan yang dilakukan perusahan. Mereka menangkal air sehingga kami tidak mendapatkan lagi aliran air dari sungai,” katanya.
“Dulu sebelum ada emas, air dari SP 9 ( sungai Langkowala) bisa mengalir sampai SP 1 atau SP 2, namun sejak ada panca Logam yang membendung sungai, air tidak sampai mengalir di sini, “ ujar Subiarti dengan rasa gundah.
Krisis air yang melanda di dua kecamatan yakni Lantari Jaya dan Rarowatu Utara membuat hasil pertanian di Bombana untuk tahun ini otomatis menurun drastic. Sebelum krisis air, hasil pertanian bisa mencapai 4 ton per ha. Pada tahun ini, di daerah ini terdapat 511 ha, dan yang terancam kekeringan ada seluas 475 ha.
Kadis pertanian Bombana Sirajuddin M, mengatakan selain musim kemarau, tidak berfungsinya bendungan Langkowala dikarena tidak ada air menjadi penyebab utama kekeringan. Ha ini bisa terjadi karena daerah tangkapan air bendungan langkowala berada di daerah pertambangan seperti SP-8 dan SP-9, tapi karena alur dari sungai Langkowala sudah dibelokan ke daerah pertambangan akhirnya alur air ini tidak berfungsi sehingga sentra-sentra pertanian menjadi kekeringan seperti sekarang.
“Kalau sudah seperti ini keadaannya, kedepannya terpaksa daerah pertanian di daerah Lantari Jaya dan Rarowatu Utara beralih menjadi pertanian tadah hujan,” ujarnya. (***)
Langganan:
Postingan (Atom)